tag:blogger.com,1999:blog-23197010632906636902024-02-07T05:54:23.378-08:00Rumah Katadunia dalam kata hafi zhaHafi Zhahttp://www.blogger.com/profile/07804664741974156028noreply@blogger.comBlogger12125tag:blogger.com,1999:blog-2319701063290663690.post-80678728930248299782012-02-20T23:33:00.001-08:002012-02-20T23:38:38.343-08:00Aku dan FLP: Kado Terindah<a href="http://idaraihan.files.wordpress.com/2012/02/logoflp-flp2.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 214.5px; height: 156px;" src="http://idaraihan.files.wordpress.com/2012/02/logoflp-flp2.jpg" border="0" alt="" /></a><div><span style="font-family: Georgia, serif; "><b>Esai Hafi Zha </b></span></div><div><span ><br />Hidup adalah sebuah kado yang hanya dapat diberikan oleh Allah Swt. Dalam kehidupan yang telah dihadiahkan kepada kita ini, Allah senantiasa memberi kejutan-kejutan. Coba renungkan kembali perjalanan kita dari dulu hingga saat ini. Siapa tahu Anda menemukan potret-potret kehidupan yang usang dihias debu. Atau justru potret itu terpajang indah di hati Anda. Ya, kejutan memang tak selalu membahagiakan. Adakalanya duka menghiasinya. Tapi tetap saja saya menganggapnya sebagai sebuah kejutan. Menang lomba. Buku berhasil terbit. Dapat royalti besar. Buku ternyata tak laku di pasaran. Jatuh dari motor. Terpaksa dirawat di rumah sakit. Menikah tahun ini. Dikaruniai anak laki-laki atau perempuan. Atau punya anak kembar. Dan sebagainya. Semua itu kejutan, bukan? Seperti sebuah kado dalam kehidupan kita.</span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Tak terkecuali dalam kehidupan saya. Dari kecil hingga kini telah menjadi ibu dari dua balita. Menjadi ibu merupakan kado terindah dan terbesar dalam hidup saya. Namun, jauh sebelum menerima kado itu, Allah telah lebih dulu memberikan sebuah kado kepada saya. Sebuah kado yang menjadi awal dari perjalanan rumah tangga saya.</span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Mungkin bukan saya satu-satunya orang di dunia ini yang pernah mendapat kejutan seperti ini. Sebuah kejutan yang saya sadari kemudian adalah perwujudan dari doa dan harapan saya. Ya … Allah mengabulkan harapan saya. Saya pernah memimpikan memiliki pendamping hidup seorang penulis. Semula saya membayangkan dipinang oleh wartawan yang penanya selalu menghiasi lembar surat kabar. Namun, Allah lebih tahu yang dibutuhkan hamba-Nya. Saya memang tidak menikah dengan wartawan, tetapi dengan seorang penulis cerpen. Seorang cerpenis yang berasal dari komunitas yang sama dengan saya, Forum Lingkar Pena (FLP).</span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Ya, berawal dari sebuah buku. Ketika Helvy Tiana Rosa yang merupakan salah seorang pendiri FLP serta dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berkunjung ke Universitas Negeri Malang (UM) untuk studi banding. Dalam kegiatan itu, ia membahas sebuah buku yang memuat cerpen-cerpen nominator sebuah sayembara yang diadakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. </span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Seusai mengikuti acara itu, saya kemudian tertarik untuk meminjam buku itu. Sayang, Rista, teman saya sudah lebih dulu meminjam buku yang cuma ada satu di perpustakaan jurusan itu. Saya harus menunggu giliran meminjam dari teman saya. Bagi saya, membaca buku itu membuka pikiran saya untuk lebih giat menulis. Membuka mata saya bahwa banyak peluang yang bisa dicoba untuk meraih kesuksesan melalui jalan menulis.</span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Usai menamatkan buku itu, saya tertarik untuk menghubungi para penulisnya. Saya ingin sekali belajar banyak dari mereka. Saya ingin bisa seperti mereka. Sungguh senang dan bangganya saat beberapa penulis membalas maksud kami. Dengan sabar mereka membalas SMS atau email yang saya kirimkan, memberikan pelajaran yang sungguh berharga. </span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Seiring dengan waktu dan berbagai kesibukan masing-masing, komunikasi via email ataupun via handphone mulai jarang. Bahkan terputus sama sekali. Saya kembali takproduktif. Hanya saja ada satu nama masih terus berinteraksi. Saya yang saat itu menjadi salah satu pengurus FLP kampus merasa sangat terbantu berkomunikasi dengan penulis cerpen “Seribu Masjid yang Kudirikan” itu. Banyak ide dan masukan yang saya peroleh untuk mengembangkan kegiatan FLP di kampus. Teman-teman pun merasa senang dan berandai-andai menjadikannya pembicara jika ada kegiatan besar FLP kampus.</span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Ternyata keinginan teman-teman FLP di kampus terwujud setelah saya dan dia menikah. Menikah? Ya, taklama kami berinteraksi melalui SMS, ia menawarkan sebuah pernikahan kepada saya. Tentu saja saya terkejut. Usianya memang sudah layak untuk memiliki pasangan hidup. Saya sendiri memang menginginkan menikah di usia muda. Untuk menguji kesungguhannya, saya minta dia langsung datang menemui orang tua saya. Di luar dugaan, ia tak berkeberatan. Dari sana saya menemukan kesungguhan dan tanggung jawab dari dirinya. </span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Entah mengapa, sejak kedatangannya itu, saya percaya bahwa dia pria yang dari tulang rusuknyalah Allah menciptakan saya. Saya melihat sosok abah saya dalam dirinya. Teguh dan bertanggung jawab. Hanya saja kami tak lantas bisa mewujudkan keinginan kami untuk segera menikah. Orang tua tak cukup berani melepas saya menikah sebelum menyelsaikan kuliah. Apalagi saat itu, ia hanya seorang penulis lepas dan Mama menginginkan saya menikah dengan lelaki pilihannya yang tentu saja masih berasal dari Banjar. Ditambah lagi, kakak pertama saya yang terpaut sembilan tahun usianya dengan saya belum menemukan jodohnya. Sepertinya, mimpi saya untuk segera menikah takakan segera terlaksana. </span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Namun, ketika seorang keluarga dari pihak Mama datang meminta saya untuk anaknya, Mama memberikan pilihan, apakah saya ingin menerimanya atau masih mengharapkan cerpenis yang sudah lebih dulu meminta saya. Barangkali jawaban dari shalat Istikharah, barangkali juga karena keinginan saya memiliki suami seorang penulis, saya memutuskan menolak pinangan famili Mama saya. Lagipula, bukankah dalam Islam haram hukumnya meminang di atas pinangan orang lain? Biar bagaimana pun, keluarga saya takpernah menolak pinangan cerpenis itu. </span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Ketika untuk kedua kalinya saya menanyakan kesungguhannya menikahi saya, betapa terkejutnya saya mendengar dia telah bekerja di sebuah penerbitan yang memiliki catatan sejarah penting di dunia sastra Indonesia. Dia telah bekerja di Balai Pustaka! Dan kembali … kejutan dari Allah Swt. ini didapat melalui FLP. Melalui Mbak Asma Nadia, salah seorang pendiri FLP, dia memperoleh informasi lowongan kerja di Balai Pustaka. Barangkali karena aktivitasnya di Rumah Cahaya, perpustakaan yang didirikan oleh FLP, membuat Mbak Asma Nadia memilih untuk memberikan informasi itu kepadanya. Ia mencoba memasukkan lamaran. Dan diterima setelah diwawancarai langsung oleh direktur penerbitan tersebut. Saya bahagia dan bersyukur.</span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Setelah tiga kali kedatangan, maka pertemuan keempat adalah acara ijab kabul kami berdua. Alhamdulillah … satu persatu mimpi saya terwujud. Saya bisa menikah muda dengan seorang penulis. Kemudian, saya pun ikut bermukim di Depok. Saya sangat merasa kehilangan teman-teman saya semasa kuliah. Merasa tak punya siapa-siapa di tempat baru ini. Beruntung, teman-teman suami saya di FLP Depok dengan terbuka menerima saya. Perlahan-lahan saya merasa tak kesepian lagi. Saya menemukan keluarga baru di Depok. Keluarga FLP Depok yang bergiat di Rumah Cahaya FLP. Bahkan suami saya melibatkan saya dalam aktivitasnya di Rumah Cahaya.</span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Dalam mengarungi sampan rumah tangga, terkadang kami mengalami masa sulit. Terutama saat tengah bulan uang yang dipegang mulai menipis. Entahlah … uang itu memang cepat mengalirnya. Walau sudah diatur sedemikian rupa. Tapi berkah Allah selalu ada dalam pernikahan kami. Allah telah menjamin rezeki setiap manusia. Asal manusia itu berusaha dan berdoa. Rezeki tak terduga selalu datang dari mana saja. Salah satunya melalui FLP. Lagi … lagi … dan lagi …. Suami diundang jadi pembicara FLP. Jadi juri lomba mewakili nama FLP. Cerpen saya masuk sebagai juara harapan di lomba majalah Ummi yang berafiliasi dengan FLP. Dan lain-lain.</span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Semua kado kejutan itu saya syukuri. Saya nikmati yang telah Allah Swt. berikan kepada saya dan keluarga kecil kami. Saya menganggap FLP menjadi keluarga kedua saya di mana pun saya berada. Entah saya di Depok, di Malang, di Jombang, atau di Bogor kota tempat tinggal kami saat ini.</span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Hampir genap empat tahun pernikahan saya dengan cerpenis itu, Allah telah mengaruniakan kepada kami dua balita lucu, Tebing dan Rayya. Di usia FLP yang sebentar lagi genap 15 tahun ini, kira-kira kado apalagi yang akan Allah berikan melalui FLP? Apa pun kado yang akan diberikan Allah, semoga menjadi jalan bagi keberkahan keluarga kami dan FLP. Amin.</span></div><div><span ><br /></span></div><div><span >Bantarkemang Bogor, Februari 2012</span></div><div style="font-family: Georgia, serif; font-size: 100%; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal; "><br /></div>Hafi Zhahttp://www.blogger.com/profile/07804664741974156028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2319701063290663690.post-2500934372309707612012-02-14T22:49:00.000-08:002012-02-14T22:55:44.155-08:00Dicari: H.B. Jassin untuk Forum Lingkar Pena<div><span><b>Esai Hafi Zha</b></span></div><div><span><br /></span></div><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 291px; height: 375px;" src="http://www.jakarta.go.id/web/system/jakarta2011/public/images/encyclopedia/d93567eb19b0381eff40157d4069dd6f.jpg" border="0" alt="" /><div><span>Seandainya saja H.B. Jassin dihidupkan kembali, pasti dia akan memilih untuk mati lagi. Melihat begitu bertebarannya karya sastra baik di media cetak, maupun di media internet, H.B. Jassin pasti akan segera mengatakan “Kuburkan aku kembali.”</span></div><div><span><br /></span></div><div><span>Teeuw pernah menyebut H.B. Jassin sebagai penjaga sastra Indonesia. Siapa yang berani meragukan sumbangsih sang Paus Sastra itu? Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin adalah warisan takterbantahkan bagi dunia sastra Indonesia. Siapa yang mampu menggantikannya saat ini? </span></div><div><span><br /></span></div><div><span> Di masa sekarang perkembangan dunia tulis menulis sangatlah pesat. Sarana publikasi, baik media cetak maupun internet bisa dimanfaatkan untuk mempublikasi karya. Maka tidak heran jika banyak penulis-penulis baru lahir tanpa bisa dibendung. Mereka membawa berbagai macam cerita dengan bermacam aliran. Semuanya memberi warna dalam perjalanan dunia tulis menulis sastra kita. </span></div><div><span><br /></span></div><div><span>Geliat para penulis ini pun diikuti dengan tumbuhnya komunitas-komunitas penulis. Menulis tak lagi sekadar mencurahkan isi hati dan pikiran atau memberikan hiburan. Akan tetapi lebih dari itu, mencoba mengusik pembacanya untuk bercermin diri. Merasakan dan menghayati. Sebuah perkumpulan menjadi sebuah wadah untuk berbagi ilmu, bertukar pikiran, dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan satu idealisme.</span></div><div><span><br /></span></div><div><span>Forum Lingkar Pena (FLP) merupakan salah satu komunitas penulis yang terbesar di negeri ini. Memiliki banyak anggota yang tersebar di berbagai negara. FLP seperti oase di tengah gersangnya bacaan yang humanis dan agamis. Dalam hitungan waktu yang singkat, FLP mampu menelurkan banyak penulis. Karya-karya para penulisnya tersebar di berbagai media.</span></div><div><span><br /></span></div><div><span>Namun, sangat disayangkan karena kelahiran penulis FLP tak diikuti dengan lahirnya seorang H.B. Jassin. Karya-karya yang ditelurkan menguap entah ke mana. Dengan kata lain, tak ada apresiasi atau kritik terhadap karya-karya tersebut. Padahal, jika saja sebuah karya dikupas tuntas, diapresiasi, ataupun dikritik, tentu akan sangat membantu penulisnya untuk berkembang. Dan secara tidak langsung akan mendorong penulis yang lain untuk berkarya lebih baik lagi. Menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi seorang penulis bila karyanya diapresiasi oleh seorang ahli sastra.</span></div><div><span><br /></span></div><div><span>Ketiadaan seorang yang mengambil peran sebagai kritikus dalam organisasi, membuat FLP berjalan di tempat. Tidak bisa disebut mengalami kemunduran. Tapi juga tidak bisa dibilang mengalami kemajuan. Anggotanya tetap ada, dan mungkin terus bertambah. Para penulisnya masih berkarya, walau kadang orang luar hanya mengetahui nama-nama penulis yang “itu-itu” lagi. </span></div><div><span><br /></span></div><div><span>FLP bukan tidak memiliki orang-orang sekualitas H.B. Jassin. Helvy Tiana Rosa dan M. Irfan Hidayatullah hanyalah salahdua dari orang-orang itu. Selain sebagai dosen sastra, mereka juga tercatat sebagai kandidat doktor di perguruan tinggi negeri terkemuka. Andai saja keduanya mau mengambil peran yang dahulu dimainkan oleh H.B. Jassin, tentu saja FLP akan menjadi organisasi yang terkemuka. Dunia apresiasi di FLP akan hidup. Upaya itu memang sudah mulai dirintis oleh Wildan Nugraha dan diharapkan diikuti oleh para akademisi yang tentunya suara mereka dibutuhkan untuk mengadvokasi karya para anggota, seperti yang dulu pernah dilakukan H.B. Jassin terhadap karya-karya Chairil Anwar.</span></div><div><span><br /></span></div><div><span>Dunia sastra saat ini memang berbeda dengan zaman H.B. Jassin. Oleh sebab itu, tugas kritik sastra yang dahulu banyak dimainkan Jassin, bisa mulai dilakukan di komunitas-komunitas. Selain itu, usaha pendokumentasian karya-karya anggota FLP perlu dilakukan sebagai upaya menegakkan benang merah sejarah. Seandainya upaya ini dilakukan dengan sangat serius, bukan takmungkin, gaung FLP tidak hanya terdengar di dalam negeri, tetapi juga di mancanegara. Saya percaya.</span></div><div style="font-family: Georgia, serif; font-size: 100%; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal; "><br /></div>Hafi Zhahttp://www.blogger.com/profile/07804664741974156028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2319701063290663690.post-8237560088300481692010-08-17T23:26:00.000-07:002010-08-17T23:35:03.913-07:00Upaya Konversi Uang untuk Anjal<span style="font-weight: bold;">Oleh Hafi Zha</span><br /><br /><div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://smppgri1bdl.files.wordpress.com/2009/03/anjal.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 215px; height: 300px;" src="http://smppgri1bdl.files.wordpress.com/2009/03/anjal.jpg" alt="" border="0" /></a><span style="font-style: italic;">Anak jalanan kumbang metropolitan/ Selalu ramai dalam kesepian/</span> <span style="font-style: italic;">Anak jalanan korban kemunafikan/ Selalu kesepian di keramaian/</span> <span style="font-style: italic;">Tiada tempat untuk mengadu/ Tempat mencurahkan isi kalbu/…</span><br /></div><br />Petikan dari lagu The Rollies di atas boleh jadi merupakan gambaran kondisi saat ini. Anak jalanan (anjal) menjadi kumbang yang terbang ke sana kemari di tengah kota besar. Mulai dari mengamen, menjual koran hingga mengemis mereka lakukan demi mencari sesuap nasi. Keluarga yang seharusnya sebagai tempat untuk mengadu dan mencurahkan perasaannya tidak pernah mereka dapatkan walaupun mereka masih mempunyai orang tua yang masih lengkap. Sumber dari munculnya masalah anak jalanan adalah ekonomi yang melanda keluarga mereka.<br /><br />Indonesia yang mengalami pascakrisis ekonomi menyebabkan hampir setengah dari penduduk di Indonesia tergolong ke dalam kelompok miskin. Sebab kemiskinan ekonomi akan berdampak pada kualitas kesehatan, kecerdasan, dan tingkat pendidikan. Secara tidak langsung hal ini mengenai anak-anak yang berasal dari keluarga miskin untuk menjadi anjal secara terpaksa (dipaksa).<br /><br />Dewasa ini jumlah anjal kian membludak. Dari data Dinas Sosial jumlah anjal pada 2003 sebesar 2.310 anak dan pada 2005 sebesar 2.477 anak. Hal ini tidak dibarengi dengan upaya penanganan terhadap anjal. Upaya penanganan terhadap masalah ini hingga kini masih sangat terbatas. Padahal secara konseptual, penanganan masalah anjal dijamin oleh peraturan-peraturan yang ada. Survei terhadap 100 anjal yang dilakukan Data Informasi Anak / YKAI menunjukkan hanya 10% anjal yang pernah terjangkau oleh program penanganan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat. Lalu adakah cara lain untuk mengatasi masalah ini?<br /><br />***<br /><br />Faktor ekonomi memang mendominasi munculnya masalah anjal sehingga pemerintah dan lembaga sosial dituntut untuk memberdayakan ekonomi keluarga(khususnya keluarga miskin) secara intensif dan menyeluruh. Namun ternyata program-program bantuan hanya bersifat seremonial saja, sama sekali tidak menyentuh lansung anjal. Hal ini disebabkan tidak ada kekonsekuenan dan ketidaktegasan pemerintah menjalankannya.<br /><br />Cara lain yang sekarang ini kian menjamur adalah adanya rumah singgah. Di rumah singgah ini mereka diberikan bimbingan pendidikan, keterampilan, dan pemberian kesempatan kerja. Ironisnya, mereka bertahan hanya beberapa bulan lalu kembali ke jalan. Beberapa anak disekolahkan dan ditanggung biaya hidupnya pun kembali ke jalan. Hal ini diakibatkan mereka lebih mudah memperoleh uang di jalan daripada bekerja atau kembali ke sekolah.<br /><br />Menurut teori reinforcement: “sesuatu yang menyenangkan akan sealu diulang, sesuatu yang tidak menyenangkan akan dihindari”. Mereka (anjal) menganggap sekolah adalah sesuatu yang tidak menyenangkan (punishment) dan dengan mengamen atau meminta-minta di jalan adalah sesuatu yang menyenangkan (reward) karena akan mendapatkan banyak uang untuk bersenang-senang.<br /><br />Anjal tidak juga berkurang jumlahnya dengan kedua solusi di atas karena ternyata diri kita pun turut andil dalam menyuburkan masalah ini. Sadar atau tidak, rasa kasihan kita menjadi senjata bagi anjal untuk memperoleh uang akibatnya mereka lebih memilih kembali ke jalan daripada bersekolah atau bekerja. Uang yang kita beri kepada mereka menimbulkan kemalasan, kebodohan, tingkat kriminalitas serta masa depan yang suram bagi mereka secara tidak langsung.<br /><br />Kita bisa tetap memberikan uang kepada mereka dengan upaya konversi terhadap uang yang kita berikan. Ada lima upaya konversi yang bisa dilakukan. Pertama, uang dapat kita konversi dengan bantuan pangan dengan mengadakan bazar sembako murah (tidak secara gratis). Hal ini disebabkan rakyat marginal tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena tingginya harga sembako. Kedua, dengan latar belakang pendidikan yang rendah serta lingkungan yang tidak sehat mengakibatkan anjal rentan dengan penyakit. Kesadaran mereka terhadap kesehatan masih sangat rendah. Uang dapat dirubah menjadi penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan untuk awareness, subsidi obat-obatan serta subsidi perawatan kesehatan.<br /><br />Ketiga, pendampingan terhadap anjal untuk memulihkan percaya diri mereka. Uang dapat dialihkan dengan waktu yang kita berikan untuk mendampingi mereka. Keempat, uang dapat kita konversi menjadi “beasiswa” atau membantu mereka dalam pendampingan bimbingan belajar, memberikan kesempatan mereka untuk sekolah lagi. Dan terakhir adalah penyediaan lapangan pekerjaan. Sebagai contoh yang baik, Carrefour melakukan terobosan yang sangat bagus dengan menerima 4 anjal yang cukup umur untuk bekerja di perusahaannya. Bayangkan jika terdapat “Carrefour” yang laiinnya, mungkin jalanan akan sepi dengan anjal. Kepedulian terhadap anjal adalah baik adanya, namun jika dilakukan dengan kurang tepat terkadang bukan sedang menolong mereka melainkan membunuh secara perlahan masa depan mereka. Dengan adanya upaya konversi terhadap “uang” yang diberikan, diharapkan dapat meningkatkan minat anjal untuk keluar dari jalanan kembali ke dalan kehidupan normal.Hafi Zhahttp://www.blogger.com/profile/07804664741974156028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2319701063290663690.post-88299432024617760632010-08-12T19:04:00.000-07:002010-08-12T19:08:57.793-07:00Shilah bin Asyam Al-‘Adawy: Silembut yang Bijak<span style="font-weight: bold;">Oleh Hafi Zha</span><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://belantaraimajinasi.files.wordpress.com/2010/02/akhwat.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 332px; height: 307px;" src="http://belantaraimajinasi.files.wordpress.com/2010/02/akhwat.jpg" alt="" border="0" /></a>Shilah bin Asyam termasuk salah seorang ‘abid (ahli ibadah) di waktu malam dan pendekar di waktu siang. Apabila malam telah menyelimuti alam semesta dan orang telah lelap dalam mimpi indahnya, ia bangun lalu berwudhu dengan sempurna kemudian masuk ke mihrab dan shalat dengan penuh rasa cita kepada Tuhannya. Oleh sebab itulah, cahaya ilahi memancar menerangi mata hatinya sehingga ia dapat melihat tanda-tanda kekuasaan Allah di semesta ini.<br /><br />Di samping itu, ia pun gemar membaca Al-Quran di waktu fajar. Apabila malam tinggal sepertiganya, ia membungkukkan tubuhnya menghadap Al-Quran lalu mulai membaca ayat-ayat Allah dengan tartil dan suara merdu. Terkadang ia merasa betapa manisnya ayat-ayat Allah tersebut merasuk ke lubuk hatinya dan menimbulkan pengaruh rasa takut kepada Allah dalam pikirannya. Ada kalanya ia merasakan Al-Quran itu mempunyai daya kekuatan yang mampu membelah hatinya.<br /><br />Belum pernah sekalipun Shilah bin Asyam meninggalkan ibadahnya, baik di waktu mukim maupun di dalam perjalanan; baik di kala sibuk maupun di kala senggang. Ja’far bin Zaid menceritakan:<br /><br />“Aku berangkat bersama balatentara muslimin dalam suatu peperangan menuju kota Kabul dengan harapan dapat menaklukannya. Di antara pasukan dalam peperangan tersebut ada Shilah bin Asyam.<br /><br />Ketika malam telah tiba, kami menghentikan perjalanan untuk makan malam dan menunaikan shalat isya kemudian masing-masing masuk ke kendaraannya untuk beristirahat. Aku melihat Shilah pun pergi ke kendaraannya dan membaringkan tubuhnya sebagaimana dilakukan oleh yang lain. Aku berkata dalam hati, mana yang diceritakan orang tentang shalat dan ibadah orang ini—yang digembor-gemborkan orang hingga kakinya bengkak! Demi Allah, akan kuperhatikan dia malam ini hingga aku tahu apa yang dilakukannya.<br /><br />Setelah semua serdadu tertidur lelap, aku melihat Shilah bangun dari tempat tidurnya lalu menjauhkan diri dari pasukan sambil mengendap-ngendap. Dia masuk ke dalam hutan yang lebat—yang tampaknya belum pernah dimasuki orang sebelumnya. Aku mengikutinya secara sembunyi-sembunyi.<br /><br />Setelah sampai di tempat yang lapang, ia mencari arah kiblat lalu menghadapkan dirinya ke sana. Kemudian, ia mengucapkan takbir untuk shalat dan tenggelam dalam shalatnya. Aku memperhatikannya dari jauh. Wajahnya tampak bersinar, anggota tubuhnya tak bergerak, dan jiwanya tenang. Seakan-akan di tempat sunyi itu ia mendapatkan ketentraman, di tempat yang jauh ia mendapatkan kerabat, dan di dalam gelap ia mendapatkan cahaya yang benderang.<br /><br />Di luar dugaan muncul seekor singa dari arah timur hutan. Setelah aku yakin benar bahwa itu seekor singa, hatiku menjadi takut lalu aku memanjat ke atas sebuah pohonyang tinggi untuk menyelamatkan diriku. Singa itu mendekati Shilah sedikit demi sedikit sehingga jaraknya tidak begitu jauh. Demi Allah, dia sama sekali tidak menoleh dan tidak menaruh perhatian sedikit pun kepada singa itu. Ketika dia bangkit dari sujudnya lalu duduk, singa itu berdiri di hadapannya seolah-olah memperhatikannya. Setelah memberi salam, Shilah memandang singa itu dengan tenang lalu menggerakkan kedua bibirnya—mengatakan sesuatu yang tidak dapat kudengar. Tiba-tiba singa itu pergi ke tempatnya semula.<br /><br />Setelah fajar menyingsing, ia bangkit lalu melaksanakan shalat subuh. Kemudian mengucapkan puji-pujian kepada Allah Azza wa Jalla dengan puji-pujian yang belum pernah kudengar sebelumnya. Kemudian ia berdoa, ”Ya Allah aku mohon kepada-Mu agar Engkau lepaskan diriku dari api neraka. Dan apakah pantas seorang hamba yang banyak dosa seperti aku ini pantas memohono surga kepada-Mu?”<br /><br />Doa tersebut diulang-ulanginya hingga akhirnya ia menangis dan aku pun ikut menangis. Kemudian ia kembali ke pasukan tanpa seorang pun mengetahui apa yang telah dilakukannya dan dialaminya malam itu—kecuali Allah.”<br /><br />Shilah tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memberikan petuah, menyeru ke jalan Allah dengan bijaksana dan nasihat yang baik. Di antaranya adalah pada suatu hari ia keluar ke tanah lapang yang luas di kota Bashrah untuk ber-khalwat dan beribadah. Lalu lewatlah di hadapannya anak-anak muda yang sedang bermain dan bersenda gurau, bercanda dan bersuka ria. Ia memberi salam kepada mereka dengan ramah dan mengajak mereka berbicara dengan lemah lembut.<br /><br />”Bagaimana pendapat kalian terhadap suatu kaum yang hendak melakukan suatu perjalanan panjang yang sangat penting namun di waktu siang mereka menyimpang dari jalan yang dituju untuk bercanda dan bermain, sedangkan di waktu malam mereka beristirahat. Kapankah kiranya mereka akan berangkat dan sampai di tujuan?” tanyanya kepada anak-anak muda tersebut.<br /><br />Ia mengulang kata-katanya itu berkali-kali hingga salah seorang anak muda itu sadar bahwa ucapan Shilah itu ditujukan kepada mereka. Lalu anak muda ini memisahkan diri dari kawan-kawannya dan sejak saat itu dia mengikuti Shilah hingga akhir hayatnya.<br /><br />Pada kesempatan lain, seorang pemuda datang kepada Shilah dan memintanya mengajarkan ilmu yang telah diajarkan Allah kepadanya.<br /><br />”Jadikanlah Al-Quran sebagai perisai dirimu dan penghibur hatimu serta ambillah petuah darinya. Lalu berikanlah petuah tersebut kepada kaum Muslimin dan perbanyaklah membaca doa kepada Allah sekuat kemampuanmu,” jawab Shilah. Jawaban itu pulalah yang diterimanya dulu ketika ia mendatangi para sahabat Rasulullah saw untuk maksud yang sama.<br /><br />Kemudian pemuda itu berkata, ”Doakanlah aku, semoga Tuan dibalas dengan kebaikan.”<br /><br />Shilah mendoakan, ”Semoga Allah Ta’ala membuatmu gemar pada segala yang abadi dan membuatmu benci kepada yang fana; memberikan keyakinan kepadamu sehingga jiwamu tenang karenanya.”<br /><br />Pada tahun 78 Hijri, Shilah bin Asyam berangkat perang bersama sepasukan kaum Muslimin menuju ke Turkistan. Anaknya pun ikut serta.<br /><br />Ketika kedua belah pihak telah saling berhadapan, Shilah berkata kepada anaknya, ”Wahai anakku, majulah dan berjuanglah memerangi musuh-musuh Allah sampai titik darah penghabisan!” Lalu si anak menyerbu ke tengah-tengah barisan musuh ibarat panah lepas dari busurnya. Dengan gagah berani ia menyerang ke kiri dan ke kanan hingga akhirnya ia gugur sebagai syuhada. Tidak lama kemudian ayahnya pun menyusulnya, gugur sebagai syuhada di sampingnya. Semoga Allah memasukkannya dalam golongan hamba-hamba-Nya yang bertakwa.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Disarikan dari buku ”Kisah Para Tabiin 2” karya </span> <span style="font-style: italic;">Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya</span>Hafi Zhahttp://www.blogger.com/profile/07804664741974156028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2319701063290663690.post-59141374196812621412010-08-04T01:15:00.000-07:002010-08-09T17:08:26.150-07:00Fiksionalisasi Sejarah Pieter Erberveld<span style="font-weight: bold;">Esai Hafi Zha</span><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.kompas.com/data/photo/2009/06/14/3369681p.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 315px; height: 315px;" src="http://www.kompas.com/data/photo/2009/06/14/3369681p.jpg" alt="" border="0" /></a>Historisisme Baru dipercaya sebagai pendekatan yang menganggap bahwa sastra dan sejarah saling berkaitan erat karena dibangun dari suatu peristiwa. Ia juga menganggap bahwa karya sastra sebenarnya tidak terlepas dari teks sastra atau nonsastra lain yang lahir sebelumnya. Di situlah dokumen atau catatan sejarah menjadi bagian penting dari suatu karya sastra yang mengangkat fakta sejarah. Dengan demikian, menarik untuk mengupas suatu karya sastra yang di dalamnya memuat fakta dan fiksi.<br /><br />Cerita pendek <a href="http://dennyprabowo.blogspot.com/2002/08/pieter-akan-mati-hari-ini.html">“Pieter Akan Mati Hari Ini”</a> karya Denny Prabowo (Kompas, Minggu 14 Juni 2009) sesungguhnya merupakan karya sastra yang mengangkat fakta sejarah masyarakat Betawi. Di dalam cerpen itu dikisahkan tentang seorang Indo-Eropa, Pieter Erberveld, yang mewarisi bisnis <span style="font-style: italic;">leelooierij</span> (penyamakan kulit) ayahnya di Jacatraweg. Bisnisnya berkenbang pesat dan Pieter menjadi semakin kaya. Hal ini menimbulkan kecemburuan dalam hati Reijkert Heere yang memiliki perasaan tidak suka terhadap orang Indo-Eropa. Reijkert lalu memanfaatkan kesempatan emasnya sebagai bawahan Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon yang berambisi memperluas tanahnya di Batavia, termasuk di Jacatraweg. Reijkert menyebarkan isu bahwa Pieter akan melakukan pemberontakan dan menguasai ilmu hitam. Gubernur Jenderal Zwaardecroon termakan isu tersebut. Atas dasar itulah, Pieter bersama delapan belas orang inlander pengikutnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sejarah dan Sastra</span><br /><br /> Setiap sesuatu tentunya mempunyai sejarah. Sejarah merupakan peristiwa atau pengalaman masa lalu yang sudah terjadi. Peristiwa atau pengalaman yang kita alami beberapa tahun, bulan, minggu, atau hari bahkan beberapa jam yang lalu juga telah menjadi sejarah dalam kehidupan kita. Entah itu pengalaman atau peristiwa yang berkesan menyenangkan atau mengharukan. Banyak cara untuk dapat merekam masa lalu yang sudah menjadi sejarah tersebut. Merekamnya dengan lembaran-lembaran catatan, foto dokumentasi, rekaman suara, atau rekaman audio visual.<br /><br /> Sejarah berkaitan erat dengan fakta. Hal ini disebabkan peristiwa dalam sejarah itu sungguhlah sebuah kenyataan yang pernah ada dan terjadi yang dapat dibuktikan kebenarannya. Kebenaran itu dapat dibuktikan dengan media atau sarana yang digunakan untuk mencatat atau merekam peristiwa tersebut. Jika tak mampu dibuktikan, maka tertolaklah fakta tersebut sehingga sejarahnya pun patut pula dipertanyakan.<br /><br /> Bagaimana halnya dengan fakta sejarah yang diangkat ke dalam karya sastra? Apakah ia masih diperlakukan sebagai fakta sejarah ataukah menjadi bentuk lain?<br /><br /> Di dalam cerpen “Pieter Akan Mati Hari Ini”, Denny Prabowo menggunakan fakta sejarah sebagai bahan dasarnya. Bahan dasar tersebut lalu mengalami proses pengendapan di dalam diri pengarangnya. Melewati berbagai proses imajinatif, pengamatan, perenungan, pengahayatan, dan penilaian. Pengalaman dan pemahaman pengarang terhadap lingkungan sekitarnya turut mempengaruhi proses tersebut. Cerpen tersebut bukanlah sekadar karya fiksional yang melukiskan goresan fakta menjadi fiksi tetapi juga catatan sebuah kesaksian atas satu atau serentetan peristiwa pada saat tertentu. Akibatnya, ketika cerpen itu lahir ia akan menjadi cerminan sosial dari suatu masa.<br /><br /> Sangat jelas bagi pembaca bahwa Denny Prabowo sebagai pengarang cerpen “Pieter Akan Mati Hari Ini” tidak hidup dan menyaksikan langsung sejarah Kampung Peca’ Kulit dan peristiwa lainnya. Dengan kata lain, masa terjadinya fakta sejarah dengan proses imajinatif Denny Prabowo sangat jauh berbeda. Walhasil, Denny Prabowo dalam cerpen tersebut sekadar memotret dan merekam apa yang dibaca dan ditemukannya dalam buku sejarah. Sebuah sejarah Kampung Peca’ Kulit dengan Pieter sebagai tokoh terkenalnya.<br /><br /> Di sisi lain, Denny Prabowo melalui cerpennya ternyata menawarkan pandangan lain bagi pembaca mengenai kelogisan sebuah sejarah lahirnya nama kampung Peca’ Kulit<span style="color: rgb(51, 51, 255); font-weight: bold;">[1]</span>. Dalam masyarakat Betawi, ada dua asal usul penamaan kampung Peca’ Kulit1. Pertama, penamaan tersebut diambil dari nama usaha penyamakan kulit Erbelveld senior. Penyamakan dalam bahasa Betawi menjadi pecak, pengucapannya peca’. Kedua, nama kampung Peca’ Kulit diambil dari peristiwa tragis yang dialami Pieter sebagai penerus bisnis ayahnya. Hukuman mati yang ia terima dilaksanakan dengan cara tubuhnya ditarik empat ekor kuda dengan arah berlawanan. Tubuhnya hancur dan kulitnya pecah-pecah. Jika kita telisik dua versi sejarah tersebut kita mendapat dugaan yang lebih kuat bahwa nama Peca’ Kulit diambil dari nama bisnis penyamakan kulit keluarga Erbelveld. Julukan tersebut bagi kampung Jacatraweg sudah lebih dulu terkenal daripada peristiwa eksekusi yang menimpa Pieter. Pendapat ini dapat ditemukan di dalam cerpen seperti kutipan di bawah ini.<br /><br /><blockquote style="font-family: courier new;"> Sejak usaha leerlooierij Erberveld senior tersohor, nama Jacatraweg menjadi tenggelam. Orang lebih mengenal tempat itu sebagai kampung Peca’ Kulit. </blockquote><br /> Sungguhpun demikian, fakta sejarah yang ada di dalam cerpen itu tidak serta merta menjadikannya sebagai sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara faktual. Mengingat cerpen tersebut tidak terlepas dari kreasi imajinatif pengarangnya. Akan tetapi, nilai penting yang dapat diambil dari cerpen tersebut tercapai, yaitu sastra (dalam hal ini cerpen) mampu memberikan pantulan-pantulan tertentu tentang perkembangan pemikiran, perasaaan, dan orientasi pengarangnya<span style="color: rgb(51, 51, 255); font-weight: bold;">[2]</span>. Hal ini ditunjukkan dengan kalimat yang berbunyi “sejarah memang harus dituliskan” dalam cerpen itu yang dituliskan berulang-ulang oleh Denny Prabowo. Di sana terdapat suatu penekanan mengenai pentingnya pencatatan sebuah sejarah (tidak hanya sejarah Kampung Peca’ Kulit) yang telah dimaknai dan ditafsirkan oleh Denny Prabowo untuk menyampaikan catatan kritisnya mengenai sejarah tersebut.<br /><br /> Ada hal yang menarik sekaligus menunjukkan perbedaan fakta sejarah dengan fiksionalisasi sejarah dari cerpen Denny Prabowo. Alur dan plot dari peristiwa yang bersumber pada sejarah digarap secara tidak kronologis, tidak terikat pada tuntutan metodologis. Rekonstruksi peristiwanya berlangsung secara sepotong-potong (fragmen) dengan alur campuran. Berbeda dengan dokumen sejarah yang harus ditulis secara metodologis, objektif, taat mengikuti prosedur, dan memperhatikan ketertiban ruang dan waktu. Hal ini merupakan bukti bahwa ada kaitan erat antara kesubjektivitasan pengarang dengan usaha penafsiran dan pemaknaan pengarang terhadap peristiwa masa lalu.<br /><br /> Fiksionalisasi sejarah telah mengubah sifat fakta menjadi fiktif di dalam karya sastra. Peristiwa yang sebelumnya faktual telah menjelma menjadi fiksional. Jadi, fakta yang disampaikan oleh pengarang di dalam karyanya tidak harus dipertanggungjawabkan kebenaran fakta dan prosedurnya.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Fakta Sejarah </span><br /><br /> Pembicaraan mengenai fakta sejarah masyarakat Betawi di dalam cerpen Denny Prabowo bisa dimulai dari latar peristiwa. Kisah tragis Pieter di dalam cerpen tersebut berlatar di Batavia, di Jacatraweg. Jacatraweg lantas terkenal dengan sebutan kampung Peca’ Kulit karena usaha leelooierij Erbelveld senior tersohor kemana-mana. Dari dua versi kisah yang beredar di dalam masyarakat Betawi mengenai asal mula penamaan kampung Peca’ Kulit, Denny Prabowo memanfaatkan sumber kisah yang pertama untuk diangkat ke dalam cerpennya. Hal ini menunjukkan logika cerita yang dipakai Denny Prabowo tidak serta merta ditinggalkan dalam pengolahan fakta sejarah menjadi fiksi.<br /><br /> Berikutnya, fakta sejarah yang juga dipakai sebagai landasan cerita adalah tokoh-tokoh ceritanya. Tokoh Pieter Erberveld sangat dikenal oleh masyarakat Betawi, khususnya orang-orang dari kampung Peca’ Kulit. Tokoh tersebut menjadi sebuah legenda yang kemudian berkembang dan bercampur dengan dongeng di dalam masyarakat. Seperti halnya tokoh Pitung, jagoan Betawi, yang sangat terkenal. Tokoh cerita lainnya yang pernah ada adalah Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon. Di dalam catatan sejarah, Zwaardecroon diangkat sebagai gubernur jenderal oleh Ratu Belanda pada tanggal 13 November 1718<span style="color: rgb(51, 51, 255); font-weight: bold;">[3]</span>. Pada masa Zwaardecroon inilah, tepatnya bulan Agustus—Desember 1721, terjadi huru-hara di Batavia. Hal ini berujung pada meruaknya isu akan terjadinya pemberontakan. Peristiwa ini juga tak luput dari pengamatan Denny Prabowo untuk digunakan sebagai bagian dari plot dalam ceritanya, yaitu Pieter dituduh sebagai otak dari pemberontakan tersebut. Tokoh yang paling menarik kedudukannya di dalam cerpen Denny Prabowo adalah tokoh Jan. Jan menjadi narator di dalam cerita (akuan sebagai pelaku sampingan). Ia seorang penyair soneta yang bertutur tentang nasib Pieter, seperti kutipan cerita berikut.<br /><br /><blockquote style="font-family: courier new;">Menuliskannya dalam baris-baris soneta. Apa boleh buat, aku hanya seorang pujangga. </blockquote><br /> Sejarah mencatat nama lengkap Jan adalah Jan de Marre, seorang penyair Belanda terkemuka di zaman Pieter<span style="font-weight: bold; color: rgb(51, 51, 255);">[4]</span>. Ia menulis syair tentang Pieter di dalam bukunya Batavia sebagai ungkapan simpati dan rasa tidak sukanya terhadap kesewenangan penguasa saat itu. Jika kita tengok ke dalam cerita Denny Prabowo, tokoh Jan menjadi orang serba tahu tentang apa yang dialami Pieter. Bahkan di akhri cerita, Jan diajak untuk ikut dalam pelarian ke tempat Raden Pangantin. Ini berarti antara Pieter dan Jan mempunyai hubungan. Padahal di dalam sejarah tidak satu pun menyebutkan adanya hubungan tersebut. Di situlah letak daya imajinasi Denny Prabowo untuk mengolah fakta sejarah menjadi sebuah fiksi.<br /><br /> Selanjutnya, nama-nama organisasi pemerintahan Hindia Belanda pada zaman dulu di Batavia yang disebut di dalam cerpen juga termasuk ke dalam fakta sejarah. Het College van Heemraaden dalam catatan sejarah didirikan pada tahun 1664<span style="color: rgb(51, 51, 255); font-weight: bold;">[5]</span>. Het College van Heemraaden merupakan suatu dewan kota yang mengurus tanah emrat, yaitu tanggul, polder, dan tanah urug. Raad van Justitie sebagai lembaga peradilan di masa gubernur jenderal Hindia Belanda juga memang pernah ada.<br /><br /> Begitulah fakta sejarah dan fiksi yang ada di dalam cerpen Denny Prabowo. Jika fiksionalisasi sejarah telah mengubah sifat fakta menjadi fiktif di dalam karya sastra, maka cerpen Denny Prabowo tetaplah diperlakukan sebagai sebuah fakta dalam karya sastra, bukan sebagai fakta dalam kehidupan nyata. Cerpen tersebutlah hanya fiksi yang dihasilkan dari proses perenungan dan proses imajinatif, serta bukan merupakan suatu kebohongan. Cerpen tersebut ditawarkan kepada pembaca sebagai wadah menuangkan gagasan, pandangan, dan pemaknaan pengarang terhadap sejarah kampung Peca’ Kulit.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Footnote<br /><ol><li>Lihat Saidi, Ridwan.1987.Profil Orang Betawi—Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, Jakarta: PT Gunara Kata</li><li>Lihat Mahayana, Maman S. (hlm.362). 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing.</li><li>Lihat Saidi, Ridwan (hlm.183).1987.Profil Orang Betawi—Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, Jakarta: PT Gunara Kata</li><li>Ibid , hlm.188</li><li>Ibid, hlm. 182</li></ol>Hafi Zhahttp://www.blogger.com/profile/07804664741974156028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2319701063290663690.post-30817214388497495192010-07-26T17:38:00.000-07:002010-08-05T23:25:27.731-07:00Sastra di Tangan Pembaca<span style="font-weight: bold;">Esai Hafi Zha</span><br /><div style="text-align: center;"><div style="text-align: left;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></div><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://rukzolanganz.files.wordpress.com/2009/11/sastra-reading.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 216px; height: 281px;" src="http://rukzolanganz.files.wordpress.com/2009/11/sastra-reading.jpg" alt="" border="0" /></a><span style="font-style: italic;">“Peminat sastra bebas menentukan kegunaan sastra bagi dirinya.” </span><br />(Darmono,1984: 1)<br /></div><br />Sastra merupakan suatu yang indah yang menampung kreatifitas pembuat sastra tersebut. Sastra adalah media kaum pecinta sastra untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran mereka sehingga menghasilkan suatu hasil karya sastra. Sastra itu sendiri sangat identik dengan tulisan sehingga adanya istilah kesusastraan, tulisan yang indah.<br /><br />Cerpen ataupun novel (baca: fiksi) merupakan salah satu bentuk karya sastra. Sebagai sebuah produk, karya sastra tersebut pada hakikatnya sama dengan produk-produk ciptaan manusia yang lain. Namun tidak seperti produk-produk biasa, ia memiliki keberbedaan yang khas dan itu tidak dijumpai pada yang lain. Ia menyimpan titipan pesan pengarangnya yang disisipkan di antara untaian kata-kata yang indah. Pesan itu bisa jelas tersurat, bisa juga sangat sederhana, atau terlalu filosofis atau sufistis sehingga susah untuk ditangkap.<br /><br />Bagi peminat sastra, dalam menikmati suatu karya sastra masing-masing memiliki tujuan sendiri-sendiri. Mungkin dengan membaca karya sastra ia dapat mengisi waktu luangnya, mungkin karena hobi, atau karena tuntutan kuliah mereka (tugas), atau ingin dia kreasikan ke dalam bentuk lain.<br /><br />Peminat sastra yang punya daya kreatifitas tinggi tentu dalam menggunakan sastra tidak hanya berhenti saat ia membacanya tapi masih ada tindakan lanjut setelah itu. Ketika ia membaca novel atau cerpen, ia berpikir untuk bisa mengubahnya ke dalam bentuk lain misalnya puisi atau drama. Setelah ia bisa mengubahnya ke dalam bentuk puisi atau drama tentu ia akan mencoba untuk mementaskannya. Ia tidak ingin karya sastra hanya untuk dibaca olehnya sendiri tapi juga dapat dinikmati oleh orang banyak secara bersama-sama dalam pembacaan puisi atau drama.<br /><br />Begitu juga sebaliknya, ketika suatu sastra masih berbentuk drama atau film bisa diubah menjadi bentuk lain yaitu novel atau cerpen. Peminat-peminat sastra yang lain yang tidak sempat menonton pertunjukan drama mereka akhirnya bisa menikmatinya sendiri. Artinya peminat sastra yang satu dengan yang lainnya dapat bekerja sama dalam melestarikan suatu karya sastra.<br /><br />Ada juga yang dalam menikmati sastra hanya untuk gengsi-gengsian. Mereka akan dianggap berpengetahuan jika memiliki banyak buku tentang sastra atau hasil karya dari dalam maupun luar negeri. Mereka akan menambah koleksi buku mereka jika mereka kalah bersaing dengan temannya yang jumlah koleksinya lebih banyak. Terkadang ada juga yang benar-benar mengoleksi buku-buku sastra karena ia memang tertarik dengan sastra dan ingin mendalaminya. Semuanya relatif memang jika dilihat dengan mata telanjang.<br /><br />Sastra memang banyak memiliki kelebihan, yang seperti disebutkan di atas tadi, yaitu curahan hati seorang penulis, gambaran kehidupan masyarakat, ajaran moral dari pengarangnya, dan lain-lain. Semua itu bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam kebutuhan. Tinggal bagaimana kita menyikapi sastra dengan bijak karena ada karya sastra yang terlalu dianggap vulgar oleh kalangan tertentu atau pengkritik karya sastra.Hafi Zhahttp://www.blogger.com/profile/07804664741974156028noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2319701063290663690.post-33719382115586065272010-07-26T17:25:00.000-07:002010-07-26T17:36:14.698-07:00Buku dan Perpustakaan: Elemen Penting Pencapaian Reading Culture dalam Masyarakat Indonesia<span style="font-weight: bold;">Oleh Hafi Zha</span><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://remaja.suaramerdeka.com/wp-content/uploads/2009/08/bookstack.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 453px; height: 377px;" src="http://remaja.suaramerdeka.com/wp-content/uploads/2009/08/bookstack.jpg" alt="" border="0" /></a>Kebutuhan manusia akan informasi tidak bisa lepas dari posisi manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan dengan manusia-manusia lain memaksa manusia untuk selalu mendapatkan informasi demi kelangsungan hidupnya. Berbagai jenis informasi tersedia dalam kehidupan manusia, salah satunya yang paling populer adalah buku. Buku telah hadir ke ranah sejarah kehidupan umat manusia sejak manusia mulai mengenal tulisan. Mau tidak mau, kebiasaan membaca terbentuk dan minat terhadap buku meningkat. <br /><br />Pencarian manusia akan informasi menyebabkan manusia memerlukan berbagai pusat informasi yang nantinya akan memberikan berbagai informasi yang dibutuhkan. Perpustakaan merupakan salah satunya. Namun melihat kondisi perpustakaan di negeri ini, timbul pertanyaan: masih layakkah perpustakaan disebut sebagai pusat informasi ataukah diposisikan dalam kondisi yang terbuang, dianggap hanya sebagai gudang penyimpan buku? Ironis memang. Tetapi inilah realita perpustakaan di negeri ini. Salah satu fakta yang bisa kita tengok dalam masyarakat adalah kondisi Perustakaan Kediri yang memiliki dinding kusam, koleksi yang minim, serta kegiatan perbukuan yang sepi akibat miskinnya inovasi para penjaganya (Jawa Pos, 9/7/2006). Kita tidak bisa menutup mata begitu saja terhadap kondisi perpustakaan—sebagai tempat alternatif mendapatkan informasi —tersebut maupun perpustakaan di daerah-daerah lainnya, bahkan perpustakaan nasional.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kondisi Masyarakat Kini</span><br />Sebuah negara yang sedang berkembang seperti negeri kita ini memerlukan berbagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan agar bisa lebih maju. Namun kenyataannya, kesadaran masyarakat Indonesia akan informasi masih sangat kurang. Buku sebagai salah satu sumber informasi yang penting menjadi terabaikan oleh masyarakat. Begitu juga halnya dengan perpustakaan. Harusnya kita kembali pada definisi perpustakaan itu sendiri. Pengertian umum tentang perpustakaan dapat diacu pada <span style="font-style: italic;">Kamus Besar Bahasa Indonesia</span>, 2002. Dalam kamus ini tertulis:<br /><br /><span style="font-size:85%;"></span><blockquote><span style="font-size:85%;">perpustakaan: 1) tempat, gedung, ruang yang disediakan untuk pemeliharaan dan pendayagunaan koleksi buku, dsb. 2) koleksi buku, majalah dan bahan kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dibicarakan.<br /></span></blockquote><br />Sulistyo-Basuki mengemukakan bahwa perpustakaan adalah sebuah ruangan, bagian sebuah ruangan, ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual. Sementara itu, Dr. Sukarman, salah satu pakar kepustakawanan di Indonesia mendefinisikan perpustakaan sebagai:<br /><br /><blockquote><span style="font-size:85%;">Institusi / lembaga pengelola koleksi karya tulis, cetak dan atau rekam sebagai sumber informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang diatur dan ditata menurut sistem yang baku dan didayagunakan untuk keperluan pendidikan, penelitian, informasi, dan rekreasi bagi masyarakat.</span></blockquote><br />Perpustakaan sudah seharusnyalah digunakan sebagaimana fungsinya sebagai penyedia informasi. Peningkatan kinerja perpustakaan harus diimbangi dengan peningkatan minat baca masyarakat. Tidak akan ada artinya jika kualitas perpustakaan terus ditingkatkan, sedang minat baca masyarakat tetap berada pada level yang stagnan.<br /><br />Kondisi masyarakat Indonesia tampaknya menunjukkan kualitas minat baca yang masih kurang, disebabkan oleh berbagai faktor. Budaya bangsa ini memang sejak dulu adalah budaya lisan, bukan budaya untuk membaca. Kultur masyarakat yang masih tradisional juga menyebabkan minat baca yang kurang. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terbiasa dengan budaya lisan. Lebih parah lagi, ketika bangsa ini mulai menghadapi modernisasi, di mana kita dihadapkan pada era telekomunikasi global. Kita berhadapan dengan era teknologi komunikasi yang lebih praktis, melalui radio, televisi bahkan internet. Jadi kita bisa bayangkan betapa ”hebatnya” bangsa ini melakukan sebuah lompatan besar dalam sejarah perkembangan. Bangsa ini tidak sempat mencicipi era membaca atau budaya baca tapi melompat dari budaya lisan langsung menuju era teknologi komunikasi global. Masyarakat lebih senang duduk di depan televisi berjam-jam daripada menyempatkan diri untuk ”mampir” ke perpustakaan atau paling tidak menyempatkan diri untuk membaca buku apa saja, kapan saja, dan di mana saja.<br /><br />Kenyataan pahit harus diterima bangsa Indonesia dalam kaitannya pemberantasan buta huruf demi meningkatkan minat baca. Meskipun persentase penduduk buta aksara setiap tahun cenderung menurun, namun menurut data tahun 2002, diketahui masih ada 18,7 juta penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas yang buta huruf. Hal ini masih diperparah dengan kenyataan, bahwa setiap tahun ada 250-300 ribu siswa kelas 1, 2, dan 3 SD yang putus sekolah (Republika, 24 Januari 2003).<br /><br />Sementara itu, pada tahun 2000 organisasi International Educational Achievement (IEA) menempatkan kemampuan membaca siswa SD Indonesia di urutan ke-38 dari 39 negara atau terendah di antara negara-negara ASEAN. Dengan kondisi seperti itu, maka tak heran bila kualitas pendidikan di Indonesia juga buruk. Dalam hal pendidikan, survei The Political and Economic Risk Country (PERC), sebuah lembaga konsultan di Singapura, pada akhir 2001, menempatkan Indonesia di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang diteliti (Republika, 24 Januari 2003).<br /><br />Permasalahan minat baca tidak bisa lepas dari permasalahan budaya lisan Indonesia dan juga permasalahan klasik yaitu masalah ekonomi. Hal ini menyebabkan rendahnya daya serap atau daya beli masyarakat Indonesia terhadap buku-buku yang diterbitkan penerbit dalam negeri apalagi penerbit luar negeri. Penyerapan buku-buku yang diterbitkan hanya terbatas pada kalangan tertentu saja, seperti kalangan birokrat, akademisi, maupun mahasiswa—yang mempunyai high purchasing power.<br /><br />Perpustakaan seharusnya menjadi alternatif terbaik di saat daya beli masyarakat yang rendah terhadap buku. Cost yang diperlukan untuk hal ini juga sangat murah, asalkan bersedia meluangkan waktu untuk pergi ke perpustakaan. Perpustakaan merupakan sarana yang baik dalam transfer gagasan, pikiran, dan berbagai hal positif lainnya yang nantinya akan bisa digunakan untuk memberdayakan masyarakat sebagai suatu lembaga yang utuh dan integral.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Keberadaan Perpustakaan dalam Pencapaian <span style="font-style: italic;">Reading Culture</span></span><br />Hadirnya perpustakaan di tengah masyarakat sangatlah penting. Misi utama perpustakaan adalah menyediakan layanan pendayagunaan koleksi bagi pengguna. Terlaksananya misi itu amat tergantung pada kondisi berkembangnya minat dan kegemaran membaca di kalangan masyarakat. Tapi sebaliknya, minat dan kegemaran membaca juga hanya dapat berkembang apabila ada fasilitas berupa tersedianya bahan bacaan yang cukup memadai dan menarik.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Reading culture</span> dapat dicapai dengan hadirnya perpustakaan di tengah lingkungan kehidupan masyarakat—yang sebenarnya akan menuntun mereka untuk mulai membangun kemampuan membaca (<span style="font-style: italic;">reading ability</span>), dan selanjutnya membina kebiasaan membaca (<span style="font-style: italic;">reading habit</span>)—yang pada akhirnya akan menciptakan masyarakat membaca (<span style="font-style: italic;">reading socity</span>) serta masyarakat belajar (<span style="font-style: italic;">learning society</span>). Anak-anak yang dididik untuk gemar membaca akan memiliki kemampuan afektif dan kognitif yang lebih baik daripada anak-anak yang tidak suka membaca. Hal ini disimpulkan oleh Marry Leonhardt, dalam bukunya yang berjudul <span style="font-style: italic;">99 Cara Menjadikan Anak Anda Keranjingan Membaca</span>, yaitu 1) anak yang membaca mampu menulis, berbicara, dan memahami gagasan lebih baik daripada anak yang tidak membaca; (2) anak yang membaca mempunyai wawasan yang lebih luas, (3) anak yang membaca tidak mengalami krisis kepribadian terhadap kemampuan akademis, (4) anak yang membaca mempunyai kesempatan dan kemungkinan (opportunity and probability) yang lebih luas dalam memahami kehidupan, dan (5) anak yang membaca lebih kreatif dan argumentatif.<br /><br />Korelasi antara kegemaran membaca dengan kebutuhan masyarakat akan buku di perpustakaan pernah dijelaskan dengan sangat baik oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro, sewaktu memberi pengarahan pada Kongres VII Ikatan Pustakawan Indonesia dan Seminar Ilmiah Nasional di Jakarta, 20-23 November 1995. Menurut Menteri, pengelolaan buku sebagai salah satu sumber belajar utama dalam proses pendidikan memiliki peranan yang menentukan dalam upaya peningkatan mutu sumber daya manusia. Sedang upaya peningkatan mutu sumber daya manusia dalam era penduniaan (globalisasi) sangat erat kaitannya dengan upaya penumbuhkembangan kegemaran membaca yang diharapkan dapat mewujudkan suatu masyarakat yang gemar belajar (learning society). Apabila kegemaran membaca masyarakat telah tumbuh dan terbentuk, maka kebutuhan akan buku menjadi meningkat pula, dan perpustakaan akan berfungsi sebagai wahana pencerdasan kehidupan bangsa.<br /><br />Sebenarnya sejak tahun 1995 secara nasional telah diciptakan kondisi yang mendukung pengembangan minat membaca, yakni dengan dicanangkannya Hari Kunjung Perpustakaan dan Bulan Gemar Membaca Nasional, tanggal 14 September 1995, oleh Soeharto—yang saat itu masih sebagai Presiden Republik Indonesia. Selanjutnya, dicanangkan pula hari Gerakan Membaca Nasional pada setiap tanggal 12 Nopember oleh mantan Presiden negara ini, Megawati Soekarnoputri sejak tahun 2003. Pencanangan kedua hal tersebut selalu dikaitkan dengan acara/kegiatan perpustakaan, sehingga sesungguhnya ada dasar yang kuat bagi perpustakaan untuk mengembangkan terus program pembinaan minat baca.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Upaya Peningkatan Minat Baca, Daya Beli Buku, dan Kualitas Perpustakaan</span><br />Minat baca masyarakat yang rendah, daya beli masyarakat terhadap buku yang juga rendah, dan kondisi perpustakaan yang menyedihkan seakan seperti lingkaran setan yang saling berhubungan dan merugikan siapapun yang berada di dalamnya—merupakan salah satu faktor sulit terwujudnya reading culture di negeri ini. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk memperbaiki ketiga hal di atas.<br /><br />Rendahnya minat baca nasional disebabkan oleh faktor-faktor yang berkaitan erat dengan rendahnya daya beli buku dan kualitas perpustakaan yang masih di bawah rata-rata. Faktor-faktor itu antara lain rendahnya kemampuan masyarakat untuk membeli buku karena mahalnya harga buku, kurang tersedianya buku-buku terbitan nasional yang bermutu, dan belum dimasukkannya kegiatan membaca dalam kurikulum pendidikan nasional, serta kurang tersedianya perpustakaan yang menyediakan bahan bacaan yang lengkap dan relevan di tengah masyarakat. Kontribusi berbagai pihak dalam meningkatkan minat baca mutlak diperlukan. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan minat baca oleh berbagai pihak dengan berbagai usaha yaitu sebagai berikut:<br /><br /><ol><li>Melakukan berbagai penyuluhan tentang pentingnya membaca kepada masyarakat. Dapat dilaksanakan oleh pemerintah, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dengan membentuk kelompok membaca atau rumah baca, iklan layanan masyarakat di berbagai media baik cetak maupun elektronik yang dapat meningkatkan semangat masyarakat untuk gemar membaca.</li><li>Menumbuhkan minat baca kepada anak sejak usia dini. Hal ini dapat dilakukan oleh para orang tua dengan menyediakan berbagai buku-buku ringan, yang menarik perhatian anak-anak. Selain itu, juga dengan mengurangi ketergantungan anak pada media-media yang dapat menghambat proses pembentukan minat baca pada anak seperti ketergantungan pada televisi.</li><li>Mengubah kebiasaan masyarakat yang dulunya terbiasa dengan budaya lisan, menjadi budaya tulis atau baca. Membiasakan masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan pikiran tidak hanya melalui lisan tetapi juga dengan tulisan. Dari tulisan-tulisan ini masyarakat akan terbiasa untuk membaca pendapat atau pikiran orang lain melalui tulisan. Dengan usaha ini, diusahakan minat baca akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya pikiran masyarakat.</li><li>Peran serta penerbit buku dalam meningkatkan minat baca dapat dilakukan dengan pengemasan buku yang menarik terutama pada segmen anak-anak.</li><li>Media massa, baik cetak maupun elektronik, tidak hanya menyajikan iklan layanan masyarakat tentang pentingnya membaca, tapi juga benar-benar melakukan langkah nyata dengan membuat sebuah rubrik tertentu yang membahas tentang perbukuan atau resensi buku (dapat dilakukan oleh media cetak) dan bagi media elektronik dengan cara membuat program acara menarik yang menyajikan promosi mengenai buku-buku tertentu. Program promosi membaca ini dapat dilakukan bekerjasama dengan pihak penerbit buku dan kelompok baca.</li><li>Pelaksanaan metode Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di lingkungan sekolah diarahkan pada pencarian secara mandiri oleh siswa berkaitan dengan tugas-tugas tertentu melalui studi pustaka atau membaca buku. Hal ini tidak bisa lepas dari tujan KBK yaitu menerapkan proses kemandirian dalam pembelajaran siswa. Kemandirian dalam sistem KBK inilah yang harusnya menjadi pemacu minat baca siswa, sehingga siswa tidak hanya tergantung pada penjelasan guru yang hanya mengarah pada budaya lisan (mendengar) tapi beralih pada kesadaran aktif siswa untuk membaca.</li></ol><br />Jika tadi telah dijelaskan langkah-langkah proaktif dalam usaha meningkatkan minat baca, maka selanjutnya adalah usaha meningkatkan daya beli masyarakat terhadap buku. Diperlukan usaha-usaha dari berbagai kalangan dalam meningkatkan daya serap masyarakat terhadap buku yaitu sebagai berikut.<br /><ol><li>Pengadaan buku-buku murah namun bermutu dengan harga yang relatif terjangkau oleh semua kalangan, utamanya kalangan masyarakat bawah dan menengah. Bisa dilakukan dengan bazaar murah dan pameran buku oleh penerbit, toko buku, atau bahkan perpustakaan sekalipun.</li><li>Mengusahakan ongkos produksi yang murah untuk buku sehingga harga jual buku bisa ditekan, namun tetap memberikan keuntungan atau profit. </li><li>Peraturan perizinan penerbitan yang dipermudah oleh pemerintah, namun tetap mengindahkan kaidah-kaidah dan norma-norma masyarakat, sehingga dengan banyaknya penerbit, berarti banyak buku yang diterbitkan dan berarti juga harga buku akan relatif lebih murah dan terjangkau semua kalangan utamanya kalangan masyarakat bawah dan menengah. </li><li>Untuk menyiasati lemahnya daya beli buku masyarakat, pemerintah harus melengkapi prasarana dan koleksi buku di perpustakaan yang telah ada. Di samping itu, untuk pemerataan dan akses yang lebih luas, perpustakaan umum baru perlu ditambah, terutama di daerah terpencil. Rasio jumlah buku dan perpustakaan dengan jumlah penduduk di Indonesia sangat jauh sekali. Idealnya, setiap kecamatan bahkan kelurahan atau desa memiliki perpustakaan umum dengan koleksi buku yang memadai dan dikelola secara profesional. (Pikiran Rakyat, 26 Maret 2005)</li><li>Usaha yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Erat sekali kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan oleh masyarakat, dimana masyarakat sangat mengutamakan pemenuhan kebutuhan primer terlebih dulu. Kebutuhan akan buku dianggap sebagian besar masyarakat sebagai kebutuhan sekunder bahkan sebagai kebutuhan tersier. Jadi, yang pertama dilakukan oleh negara (pemerintah) adalah peningkatan kesejahteraan, sehingga bila kesejahteraan telah terpenuhi, masyarakat akan mulai berpikir untuk memenuhi kebutuhannya akan buku, karena masyarakat akan sadar betapa pentingnya informasi. </li></ol>Di saat peningkatan daya beli masyarakat terhadap buku masih terus berjalan, perpustakaan bisa menjadi pilihan alternatif bagi usaha mengembangkan budaya baca. Namun kenyataannya perpustakaan banyak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bagaimana hal tersebut bisa diatasi, berikut akan dipaparkan metodenya satu per satu.<br /><ol><li>Pemberdayaan perpustakaan sebagai pusat informasi dapat dilakukan dengann peningkatan fasilitas dan sarana perpustakaan. Tentu saja dengan pemanfaatan yang optimal dan perlu dilakukan pengenalan kepada masyarakat, karena tidak akan ada artinya jika fasilitas lengkap namun hanya dibiarkan saja tanpa ada yang pemanfaatan yang optimal. </li><li>Peningkatan kualitas pelayanan perpustakaan terhadap masyarakat akan mempermudah masyarakat dalam pencarian informasi. Perpustakaan tidak bekerja secara pasif, tetapi secara aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat, dengan mencari tahu atau menanyakan buku apa yang dibutuhkan. Jadwal kunjungan pun perlu ditinjau ulang, tutupnya perpustakaan setidaknya mengikuti jadwal belajar masyarakat bukannya jadwal kantor pegawai negeri—sebagian besar terjadi akibat dari pengelola perpustakaan adalah para pegawai negeri.</li><li>Pengelolaan perpustakaan secara profesional oleh pustakawan yang handal dengan cara merekrut sarjana-sarjana perpustakaan. Kenyataannya saat ini adalah perpustakaan dikelola oleh orang-orang yang kurang kompeten dalam perpustakaan. Dengan hanya bermodal kursus, mengikuti lokakarya atau seminar kepustakawanan, mereka dengan mudah mendapatkan predikat ”pustakawan”. Perlu ada penanganan khusus oleh orang-orang yang ahli dalam bidang perpustakaan yang akan memberikan sentuhan baru bagi perpustakaan—perpustakaan akan dikelola dengan naluri seorang pustakawan yang betul-betul mencintai buku dalam hidupnya.</li><li>Mengubah pandangan masyarakat terhadap perpustakaan. Jika selama ini perpustakaan dianggap sebagai ruangan yang penuh dengan buku, harus sepi, sunyi dan harus tenang, maka tugas pustakawanlah untuk mengubah image yang terlanjur melekat pada perpustakaan. Menjadikan perpustakaan seakan-akan sebagai obyek wisata keluarga adalah salah satu pilihan. Dengan merubah suasana dan interior menjadi lebih akrab dan lebih santai dengan berbagai lukisan ceria di dinding merupakan sebuah kemajuan dalam menciptakan suasana perpustakaan yang bersahabat dan ceria.</li></ol>Hafi Zhahttp://www.blogger.com/profile/07804664741974156028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2319701063290663690.post-26088689705214171502010-07-26T17:15:00.000-07:002010-08-05T23:30:56.694-07:00Bunuh Diri: Sebuah Potret Buram Hidup Wanita<span style="font-weight: bold;">Esai Hafi Zha</span><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://gallery.photo.net/photo/3865603-lg.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 418px; height: 600px;" src="http://gallery.photo.net/photo/3865603-lg.jpg" alt="" border="0" /></a>Selama beberapa kurun terakhir, Indonesia diwarnai beberapa kasus bunuh diri. Tidak hanya orang dewasa yang melakukan bunuh diri tetapi anak-anak usia sekolah juga nekat untuk mengakhiri hidupnya. Hanya karena diledek temannya gara-gara berasal dari keluarga miskin, anak usia sekolah mengantung dirinya di dalam kamar. Ada juga yang karena uang SPP yang menunggak dan orang tua yang tidak mampu untuk membayarnya. Bahkan karena diamarahi orang tuanya atau merasa tidak disayangi dan diberi perhatian oleh orang tuanya. Ironis memang kasus bunuh diri yang terjadi pada anak-anak yang seharusnya hidup dan dunia anak-anak mereka penuh dengan keceriaan harus berakhir dengan sangat tragis.<br /><br />Tidak perlu heran jika kasus bunuh diri akhirnya hinggap pada anak-anak karena orang dewasa secara tidak langsung memberikan contoh. Seperti yang terjadi di Bandung pada tanggal 9 Juni 2006, hari Jumat, Anik Koriah Sriwijaya tega membuat nyawa ketiga anaknya, yakni Faras (enam tahun), Nazhif (tiga tahun), dan Umar (tujuh bulan) melayang. Kasus yang sama terulang di Malang pada pertengahan bulan Maret, seorang ibu tega memberi minum racun potas kepada ketiga anaknya yang kemudian ia menyusul ketiga anaknya yang telah terbujur kaku. Masih banyak lagi kasus-kasus bunuh diri yang terjadi di Indonesia, baik yang dilakukan oleh anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Namun, yang paling rentan untuk melakukan bunuh diri adalah para wanita.<br /><br />Seperti yang terjadi pada Anik Koriah Sriwijaya dan ibu tiga anak di Malang yang tega melakukan perbuatan bunuh diri adalah beberapa contoh dari serentetan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh wanita. Jika dilihat dari kehidupan ekonomi mereka, keduanya termasuk golongan ekonomi menengah ke atas. Dalam kehidupan sehari-hari pun tingkah laku mereka seperti orang biasanya dan tidak terlihat memiliki masalah rumah tangga yang besar. Mereka mempunyai suami dan anak-anak yang lucu, sebuah gambaran kehidupan wanita yang indah. Tetapi ternyata kehidupan lahir mereka yang tampak oleh mata kerabat dan tetangga mereka tidak sama dengan kehidupan batin yang mereka alami. Mereka mengalami depresi yang akut dan mengalami puncaknya ketika mereka terbentur pada masalah yang besar dan gawat.<br /><br />Dalam kasus Anik, setelah melalui proses sidang dia dilepaskan dari segala macam dakwaan. Karena saat melakukan pembunuhan, Anik dalam keadaan depresi. Gejala depresinya sudah terjadi sejak ia duduk sebagai mahasiswa ITB. Begitu juga dengan yang terjadi di Malang, diduga juga karena depresi. Gejala depresi memang sering tidak pernah dapat diketahui dan dirasa oleh penderita. Bahkan, dokter pun tidak dapat mendeteksi kasus depresi sebesar 30 persen. Akan tetapi, gejala utama depresi yang bisa dideteksi seperti perasaan depresif (murung dan sedih), hilangnya minat dan gairah, dan rasa lemas tak bertenaga.<br /><br />Ketua Kolegium dan Guru Besar Psikiatri FKUI RSCM, Prof Dr Sasanto Wibisono, SpKJ mengatakan gejala utama depresi biasanya diikuti sedikitnya dua gejala tambahan. Misalnya, konsentrasi menurun, rasa tak berguna dan bersalah, gangguan pola tidur, gangguan pola makan atau berat badan, serta rasa putus asa, dan pikiran bunuh diri. Gejala-gejala ini biasanya berlangsung selama dua minggu.<br /><br />Dari studi Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), depresi menempati urutan keempat penyebab distabilitas pada 2000. Depresi merupakan gangguan mental yang paling banyak menimbulkan beban distabilitas (ketidaktenangan), meningkatkan morbiditas (tingkat yang sakit dan yang sehat), mortalitas (angka kematian), dan risiko bunuh diri. Hal yang sangat ironis adalah penderita depresi berada dalam usia produktif, yakni usia kurang dari 45 tahun. Tidak mengherankan, angka kejadian bunuh diri akibat depresi mencapai 60 persen. Wanita adalah pihak yang paling rentan karena wanita cenderung tertutup dibanding pria ketika menghadapi suatu masalah. Selain itu, wanita lebih menggunakan perasaannya ketika menghadapi masalah sehingga emosi lebih mudah terpengaruh dan rasio tidak dapat bekerja secara maksimal.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Pengobatan</span><br />Diperkirakan pada 2020 depresi menempati urutan kedua dalam beban global gangguan kesehatan. Prof Dr Sasanto Wibisono mengatakan sebagian besar gangguan depresi dapat diobati, yaitu dengan obat antidepresi. Saat ini perkembangan obat antidepresi mencapai kemajuan sehingga dapat digunakan dalam menangani komorbiditas (gangguan mental).<br />Penderita depresi juga bisa melakukan perawatan yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini bertujuan untuk mencegah kekambuhan penderita. Penanganannya juga harus dilaksanakan secara komprehensif, yaitu ada kerjasama antara lingkungan keluarga dan lingkungan sosial.<br /><br />Alternatif pengobatan gangguan depresi yang bisa ditempuh oleh penderita depresi adalah dengan penanganan secara komprehensif. Seperti yang dikemukakan oleh Philip Ninan, Vice President Neuroscience, bahwa saat ini paradigma pengobatan depresi bergeser dari pengendalian gejala menuju penanganan secara komprehensif. Paradigma ini lebih memfokuskan pada identifikasi pasien dengan faktor risiko kekambuhan dan pengelolaan proses depresi.<br />Ada beberapa dimensi yang penting dalam pengobatan dengan paradigma baru ini, yaitu dimensi obat, waktu, lingkungan keluarga, dan personal (faktor genetik). Diperlukan juga dukungan dari masyarakat untuk tidak memberikan stigma pada orang depresi dan juga dukungan keluarga untuk kesembuhan penderita.<br /><br />Salah satu bentuk pengobatan gangguan depresi yang lain yaitu terapi depresi. Pengobatan ini merupakan terapi menyeluruh untuk meningkatkan kualitas hidup, mengembalikan peran dan fungsi, mengurangi risiko kekambuhan, menghilangkan gejala, dan lainnya.<br /><br />Sudah waktunya wanita-wanita di Indonesia, khususnya, untuk keluar dari jeratan depresi. Mulai membuka diri ketika menghadapi suatu permasalahan dan berpikir rasional, tidak mengedapankan perasaan. Wanita adalah salah satu kunci keberhasilan suatu negara, pengokoh kehidupan laki-laki, sekaligus pencetak generasi penerus negeri ini. Jika ingin generasi penerus negeri ini berkualitas dan kuat menghadapi permasalahan, tidak mengakhiri hidup dengan minum racun atau gantung diri, maka para wanita berusaha untuk memperbaiki dirinya dan meningkatkan kualitas hidupnya dengan pola hidup dan berpikir yang sehat.***Hafi Zhahttp://www.blogger.com/profile/07804664741974156028noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2319701063290663690.post-17961613647761798992010-07-19T19:15:00.000-07:002010-07-25T21:24:52.242-07:00Saman dalam Dunia Kata<span style="font-weight: bold;">Esai Hafi Zha</span><br /><div class="single-entry"><p style="text-align: left;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTeymeC5sUo4XJFZffpj94_4ROpMkhnD_KUI7ctfuUL1tE16BK0NqEH2o07grKnnth2p1yf4zTDZcbkGMvWDYdV5WY5_6U1tG4Rb7zIFcGxKvakI6iPQEmEgEtYhFBzsperOR3wWkE/s1600-h/Saman_Indonesia_1998.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 230px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTeymeC5sUo4XJFZffpj94_4ROpMkhnD_KUI7ctfuUL1tE16BK0NqEH2o07grKnnth2p1yf4zTDZcbkGMvWDYdV5WY5_6U1tG4Rb7zIFcGxKvakI6iPQEmEgEtYhFBzsperOR3wWkE/s320/Saman_Indonesia_1998.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5439475033321293218" border="0" /></a>Sastra, khususnya novel (fiksi), di samping sering disebut dunia dalam kemungkinan, juga dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal ini disebabkan dunia yang diciptakan, dibangun, ditawarkan, diabstraksi, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata, lewat bahasa. Struktur novel dan segala sesuatu yang dikomunikasikan senantiasa dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang (Fowler dalam Nurgiyantoro, 1995:272). Untuk memperoleh efektivitas penungkapan, bahasa dalam sastra disiasati, dimanipulasi, dan didayagunakan secermat mungkin sehingga tampil dengan sosok yang berbeda dengan bahasa nonsastra.<br /><br />Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa (yang mengandung unsur) emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan denotatif. Kadar emosi dan makna konotasi dalam bahasa sastra lebih dominan daripada dalam bahasa nonsastra.. Hal itu disebabkan pengungkapan dalam sastra mempunyai tujuan estetik di samping sering menuturkan sesuatu secara tidak langsung. Ciri lain dari bahasa sastra, menurut kaum Formalis Rusia, adalah ciri deotomisasi, penyimpangan dari cara penuturan yang telah bersifat otomatis, rutin, biasa, dan wajar. Penuturan dalam sastra selalu diusahakan dengan cara lain, cara baru, cara yang belum pernah dipergunakan orang. Sastra mengutamakan keaslian pengucapan, dan untuk memperoleh cara itu mungkin sampai pada penggunaan berbagai bentuk penyimpangan, deviasi bahasa.<br /><br />Pengarang melakukan penyimpangan kebahasaan, tentunya, bukan semata-mata bertujuan untuk ingin aneh, lain daripada yang lain, melainkan dimaksudkan untuk memperoleh efek keindahan yang lain di samping juga ingin mengedepankan dan mengaktualkan (foreground) sesuatu yang dituturkan. Pengarang merasa lebih pas jika idenya diungkapkan dengan cara itu, bukan dengan cara lain yang telah biasa. Dengan demikian, bahasa sastra bersifat dinamis, terbuka terhadap adanya kemungkinan penyimpangan dan pembaruan, namun juga tak mengabaikan fungsi komunikatifnya.<br /><br />Pilihan kata (diksi) yang digunakan dalam novel adalah salah satu tanda-tanda kebahasaan yang dikaji oleh bidang stilistika. Kajian tentang pilihan kata selain berpusat pada kata atau kata-kata yang digunakan dalam teks sastra (novel) juga memperhatikan hubungan kata-kata itu dengan unsur lain dalam satuan teksnya. Mengingat bahwa novel adalah ‘dunia dalam kata’, pemilihan kata atau kata-kata tentulah melewati pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk memperoleh efek tertentu, yaitu efek estetis, yang secara sederhana dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna.<br /><br />Dalam Saman terdapat pemilihan dan penggunaan kata dalam konteks taklazim. Hal ini terkait karena Saman memuat persoalan yang berkaitan dengan hubungan laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini tampak bahwa ada kecenderungan faham feminisme di dalamnya. Dalam hal ini konsep feminisme, seperti yang dirumuskan oleh Kamla Bhasin dalam Dzuhayatin (1989:16) dipahami sebagai sebuah ideologi yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat dan di tempat kerja, serta tindakan sadar oleh perempuan dan laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Secara historis, ideologi feminisme muncul di Barat pada abad ke-18 (Dzuhayatin, 1998:16). Pandangan feminisme yang menolak dominasi pria itu dapat dilihat pada sikap dan perilaku tokoh wanita dalam Saman. Sikap Shakuntala yang menolak membubuhkan nama ayahnya di belakang namanya menunjukkan adanya penolakan Shakuntala terhadap dominasi pria.<br /><br />Jika dicermati lebih jauh, ternyata penggunaan kata-kata dalam Saman juga mendukung semangat ideologi tersebut, misalnya dalam hal penggunaan kata perkosa. Dalam konvensi awam, si pemerkosa biasanya adalah laki-laki dan yang diperkosa adalah perempuan. Di dalam Saman dikisahkan seorang gadis sakit ingatan berusia dua puluh satu tahun yang bernama Upi, gadis itu diperkosa. Demikian pula yang terjadi pada istri Anson. Ketika sedang berembug di salah satu tempat, tiba-tiba penduduk dikejutkan oleh berita bahwa istri Anson diperkosa dua laki-laki. Yang memperkosa laki-laki, sedangkan yang diperkosa adalah perempuan. Artinya, laki-laki adalah subjek, sedangkan perempuan adalah objek. Artinya, laki-laki selalu ‘mendominasi’ perempuan.<br /><br />Ternyata dalam Saman tidak hanya ingin berkisah tentang itu saja bahwa laki-laki selalu ‘mendominasi’ perempuan, tetapi lebih dari itu Saman ingin menolak pandangan itu; Saman ingin menyeimbangkan keduanya. Hal itu diperkuat dengan menyimak penggunaan kata perkosa sebagaimana terlihat pada bagian akhir cerita.<br />Pada bagian akhir cerita diutarakan keinginan Yasmin untuk memperkosa Saman, seperti terlihat dalam kutipan berikut.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Jakarta, 20 Juni 1994</span><br /><span style="font-style: italic;">Saman,</span><br /><span style="font-style: italic;">Tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">New York, 21 Juni 1994</span><br /><span style="font-style: italic;">Yasmin,</span><br /><span style="font-style: italic;">Ajarilah aku. Perkosalah aku.</span><br />(Saman hlm.196—197)<br /><br /><br />Yasmin, seorang perempuan, menyatakan keinginannya untuk memperkosa Saman, seorang laki-laki, yang dapat ditafsirkan bahwa wanita menyatakan keinginannya menjadi subjek, sedangkan laki-laki sebagai objek. Keinginan Yasmin ternyata memperoleh persetujuan Saman, sebagaimana terlihat pada kutian berikutnya. Hal itu dapat ditafsirkan bahwa ada semacam harapan agar upaya menyeimbangkan kedudukan laki-laki – perempuan itu mendapat dukungan dari pihak kaum laki-laki.<br />Contoh lain yang menunjukkan usaha menundukkan dominasi pria dalam Saman terlihat dalam pengakuan Shakuntala pada kutipan berikut.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Padahal sementara itu diam-diam aku dan Cok mulai saling membagi pengalaman bercumbu kami, saling kros-cek bentuk dan zona erotis laki-laki yang kami pacari.</span><br />(Saman hlm.150)<br /><br /><br />Pilihan kata laki-laki yang kami pacari menunjukkan bahwa sebagai perempuan, merekalah subjek karena mereka yang memacari, sementara laki-laki menjadi objek karena merekalah yang dipacari.<br /><br />Penggunaan kata perawan, sebagaimana terlihat pada kutipan berikut juga memperjelas pengungkapan ide feminisme dalam Saman.<br /><br /><span style="font-style: italic;">…Saya akan menjawab, teman-teman saya bilang, pengalaman pertama jauh lebih indah dengan pria yang matang. Lelaki perawan, begitu kata mereka, tak pernah tenang. Selalu gugup dan terburu-buru.</span><br />(Saman hlm.29—30)<br /><br /><br />Menurut KBBI (1991:752), perawan bermakna anak perempuan yang masih murni, yang belum pernah bersetubuh dengan laki-laki. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa kata perawan selalu berkaitan (berkolokasi) dengan orang yang berjenis kelamin perempuan, misalnya dalam ungkapan gadis perawan. Akan tetapi, pada kutipan di atas ternyata kata perawan dilekatkan pada jenis kelamin laki-laki, lelaki perawan. Ungkapan lelaki perawan yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah laki-laki yang belum pernah bersetubuh dengan perempuan. Ungkapan itu dikemukakan oleh mereka, teman-teman Laila, yaitu Shakuntala, Cok, dan Yasmin, yang berjenis kelamin perempuan ketika membicarakan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Kata perawan biasanya yang biasanya dilekatkan pada jenis kelamin perempuan, dilekatkan pada jenis kelamin laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan bukan saja ingin sejajar dengan laki-laki, melainkan laki-laki pun hendaknya menyejajarkan diri dengan perempuan.<br /><br />Uraian di atas menunjukkan bahwa usaha menundukkan dominasi laki-laki itu juga terlihat dalam bahasa yang dipakai oleh tokoh perempuan, terutama ketika membicarakan hubungannya dengan laki-laki.<br /><br />Di samping terdapat penggunaan kata-kata sebagaimana diuraikan di atas, di dalam Saman juga terdapat kosakata yang jarang digunakan dalam tuturan, seperti mengerisut, lisut, menyesah, merancap, meraholkan, termanyun, selarit, kelimun, tubir, lazuli, dan kata-kata arkhais, misalnya terbis dan sengkarut. Meskipun kata-kata tersebut jarang ditemui pemakaiannya dalam berbahasa, tetapi kehadirannya tidak mengganggu, bahkan menambah keindahan bunyi, sebagaimana terlihat pada kutipan berikut.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Dari ketinggian dan kejauhan, sebuah rig nampak seperti kotak perak di tengah laut lapis lazuli. Helikopter terbang mendekat dan air yang semula nampak tenang sebetulnya terbentuk dari permukaan yang bergolak, kalem namun perkasa, seperti menyembunyikan sesuatu yang dalam.</span><br />(Saman hlm.7)<br /><br />Pada kutipan di atas terdapat sebuah kata yang jarang digunakan dalam berbahasa, yakni lazuli. Kata lazuli berpadanan maknanya dengan lazuardi yaitu ‘warna biru muda pada langit’. Meskipun pada kenyataannya kata lazuardi lebih dikenal daripada lazuli, pengarang sengaja menggunakan kata lazuli. Hal ini terutama dimaksudkan untuk menimbulkan perulangan bunyi l sebagaimana terlihat pada kelompok kata laut lapis lazuli. Penggunaan kata lazuli pada kutipan di atas tidak menyulitkan pembaca untuk memahami maknanya karena beranalogi pada kata lazuardi yang maknanya sudah diketahui, makna kata lazuli dapat dipahami.<br />Pada kutipan berikut kata arkhais juga dimanfaatkan untuk keperluan keindahan bunyi.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Aspal minyak bumi yang licin mulai berganti jalan bebatuan di tanah terbis.</span><br />(Saman hlm. 68)<br /><br /><br />Terbis adalah salah satu kata arkhais yang sama maknanya dengan lereng. Jadi, tanah terbis adalah tanah lereng yaitu tanah yang landai atau miring. Pada kalimat di atas dipilih kata terbis agar beraliterasi dengan kata sebelumnya, yaitu tanah. Perulangan bunyi konsonan t pada tanah terbis itu menimbulkan efek kemerduan bunyi.<br /><br />Di samping untuk mencapai efek keindahan, penggunaan kata-kata/ungkapan yang jarang digunakan itu diantaranya berfungsi memperjelas pengungkapan. Hal itu, misalnya, terlihat pada penggunaan kata mengerisut pada kutipan berikut.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Wis terbangun oleh bulu tengkuknya yang menegang. Kulit di leher dan bahunya mengerisut seperti tersentuh dingin. Rambut-rambut halus di sana berdiri, seperti pada seekor kucing yang siaga di awal perkelahian, sehingga sentuhan yang paling lembut pun terasa oleh bulu-bulu yang telah menjadi waspada yang akan memberitahukan padanya bahaya dalam geraknya yang paling mula.</span><br />(Saman hlm.55)<br /><br /><br />Kata kerisut artinya berkerut-kerut, lesut, atau kisut (KBBI, 1991:488). Jadi, mengerisut bermakna ‘mengerut’, ‘melesut’, atau ‘mengisut’. Dalam tuturan di atas dipilih kata mengerisut karena kata tersebut lebih dapat mengintensifkan makna; bagaimana proses berkerutnya kulit di leher dan bahu Wis yang tersentuh dingin menjadi lebih jelas.<br /><br />Berdasarkan hal-hal di atas, penggunaan kata dalam konteks taklazim berhasil mempertegas gagasan feminisme. Kosakata yang jarang dipakai juga turut digunakan untuk menambah keindahan bunyi dan memperjelas pengungkapan. Demikianlah dunia kata dalam novel Saman karya Ayu Utami.</p> </div>Hafi Zhahttp://www.blogger.com/profile/07804664741974156028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2319701063290663690.post-8548105093341332302010-07-19T19:11:00.000-07:002010-07-25T21:24:52.263-07:00Simbolisme Penyair dan Bulan<span style="font-weight: bold;">Esai Hafi Zha</span><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://i3.photobucket.com/albums/y77/bobooi/puisi-cinta-sitcom.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 362px; height: 360px;" src="http://i3.photobucket.com/albums/y77/bobooi/puisi-cinta-sitcom.jpg" alt="" border="0" /></a>Seorang pengarang memiliki kemampuan untuk memotret kenyataan hidup di sekelilingnya ke dalam cerpen. Dengan daya imajinasinya, kenyataan hidup di dalam cerpen telah menjadi dunia baru. Dunia baru yang ditawarkan kepada pembaca untuk dinikmati, direnungkan, dan diambil hikmahnya. Dunia di dalam cerpen boleh jadi dibangun oleh penyair dengan tidak mengubah keasliannya di dalam dunia nyata. Unsur tokoh, tempat, dan suasana tetap dipertahankan sebagaimana adanya. Akan tetapi, tak semua pengarang memiliki kebebasan untuk berapresiasi dengan kenyataan hidup secara lugas. Walhasil, ia pun memilih untuk menggunakan simbol-simbol dalam cerpennya untuk mewakili realitas yang dipotretnya.<br /><br />Cerpen karya Riyono Pratikno dengan judul Penyair dan Bulan, menceritakan tentang seorang penyair yang keletihan menuju pondokannya di malam yang larut. Matanya yang memberat karena kantuk membawa kakinya menuju ke sebuah taman. Ia lalu tiduran di bangku taman. Sembari memandang bulan penuh di antara dedaun pohon. Antara tidur dan jaga, Penyair melihat bulan mendekat kepadanya. Hingga akhirnya ia mendapatkan bulan jatuh di pangkuannya. Hatinya sungguh senang. Ia pun membawa bulan untuk dibagikan kepada kawan-kawan yang sependeritaan dengannya. Berkumpullah mereka dan dipotonglah bulan dengan adil dan rata. Masing-masing membawa potongan bulan yang masih tetap bersinar.<br /><br />Di tengah perjalanan, berubahlah potongan bulan menjadi gadis cantik. Penyair teramat senang hatinya karena belum pernah merasakan kenikmatan hidup seperti malam itu. Diajaklah Penyair oleh gadis cantik ke tempat yang becek di daerah kali yang baru meluapkan airnya. Lama-lama ia menghirup bau yang tak sedap dari kali itu. Ia juga mulai melihat dengan terang segala kekotoran yang ada dalam kebecekan itu. Ia tidak marah kepada gadis cantik. Sebaliknya, ia berterimakasih. Ternyata, kawan-kawan Penyair juga mendapatkan ilham dan pikiran-pikiran baru dari gadis-gadis bulan. Cerita lantas ditutup dengan bersatunya gadis-gadis cantik menjadi bulan dan kembali terbang ke langit sewaktu matahari hendak lahir.<br /><br />Mengapa bulan? Jika kita telisik lebih dalam cerpen Riyono, akan kita temukan tafsiran berharga. Lebih dari sekadar memaknainya sebagai cerpen khayal tentang bulan sebagai benda langit yang jatuh di pangkuan seorang penyair, kemudian berubah menjadi gadis cantik.<br /><br />Bulan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) bermakna benda langit yang mengitari bumi, bersinar pada malam hari karena pantulan sinar matahari. Juga dimaknai sebagai masa atau jangka waktu perputaran bulan mengitari bumi dari mulai tampaknya sampai hilang kembali. Dari pemaknaan tersebut kita dapati bahwa bulan adalah benda langit yang sebenarnya tak mampu memancarkan cahaya. Ia mendapat pantulan dari sinar matahari sehingga mampu bersinar di malam hari. Keindahan bulan dengan sinarnya di malam hari (apalagi bulan penuh) dipuja banyak orang, termasuk oleh tokoh di dalam cerpen Riyono.<br /><br /><br />Penyair perasaannya bergetar memandang bulan. Sebentar itu segala kesukaran-kesukaran hidupnya yang begitu pahit hilang lenyap, dan ia semakin senyum memandangnya. Tangannya berganti-ganti menjadi bantal bagi kepalanya, dan pandangnya bertambah gairah.<br /><br /><br />Riyono mengajak kita untuk ikut menyelami pikiran dan perasaan penyair sebagai tokoh cerita. Ia tengah dilanda keletihan atas kesukaran-kesukaran hidupnya yang begitu pahit. Semacam kecemasan dan kegelisahan akan hidup. Di sisi lain ia menemukan penghiburan dengan melihat bulan. Selanjutnya, dengan tidak berbasa-basi, Riyono memberikan kebahagiaan yang lebih kepada tokoh ceritanya dengan menjatuhkan bulan di atas pangkuannya, lalu berubah menjadi gadis cantik. Gadis bulan yang cantik inilah yang membawa pemaknaan baru terhadap cerpen Riyono. Selain membawa kebahagiaan tersendiri bagi Penyair, gadis bulan memberikan ilham (pikiran baru) kepadanya. Seolah-olah gadis bulan menjadi kunci yang membuka kesadarannya.<br /><br /><br />Ia tiada marah pada gadis cantik di sampingnya oleh penunjukan tempat yang sebobrok itu, malahan ia berterimakasih sepenuh hati, karena telah membuka pikiran-pikiran baru.<br /><br /><br /><br />Gadis bulan dalam cerpen ini mencoba menyentuh kepekaan Penyair terhadap lingkungan yang ia anggap tak indah lagi. Selain itu, gadis bulan meruntuhkan pandangan Penyair terhadap keindahan bulan yang biasanya ada di langit malam, tiba-tiba turun ke bumi.<br /><br /><br />“Mengapa kita mesti duduk di sini? Sedangkan tempat-tempat yang indah masih banyak lagi lainnya,” tanya Penyair.<br /><br />Bulan dengan wajah menggoda menjawab:<br /><br />“Benar-benarkah kau tidak lagi menemui keindahan di sini?”<br /><br />Penyair menggelengkan kepalanya.<br /><br />“Tahukah engkau apa sebabnya? Karena bulan malam ini tidak ada. Bulan malam ini turun ke bumi, dan karena itu tidak kau dapati bayangnya mengaca di kali serta tanah-tanah becek ini. Karena itulah hilang pandangan keindahanmu terhadapnya.”<br /><br /><br />Dari pembahasan di atas, dapat kita maknai bahwa bulan di dalam cerpen Riyono merupakan keindahan yang semu. Dengan turunnya bulan ke bumi lalu berubah menjadi gadis cantik yang menemani si penyair, membuat apa yang ada di bumi kehilangan keindahannya. Selain itu, bulan (gadis bulan) telah membuka mata batin si Penyair bahwa keindahan sesuatu yang tampak oleh mata belum tentu benar-benar indah. Bahkan ia bisa saja menyimpan kebobrokan dan kekotoran di balik keindahannya itu. Kesadaran penyair juga digugah bahwa tak selamanya inspirasi (ilham) berada jauh dengan memandang ke atas langit. Akan tetapi, bisa ditemukan dekat dengannya, di lingkungannya sendiri.<br /><br />Sementara itu, secara simbolik Riyono juga telah menampilkan sosok tokoh si Penyair yang mengalami kepahitan hidup yang pada hakikatnya sama dengan situasi yang dialami masyarakat dengan hidup yang sukar tetapi mengangankan kenikmatan.<br /><br />Di dalam simbolisme dunia nyata sekadar perlambang dari dunia yang tidak tampak. Jassin mengatakan simbolisme serumpun dengan surealisme.[1] Persamaannya dengan surealisme ialah bahwa keduanya hanya mempergunakan realisme sebagai batu loncatan kepada dunia di belakang realisme, dunia cita.<br /><br />Riyono membuka cerpen ini dengan tindak lakuan yang merupakan bagian dari realisme sampai pada paragraf berikut ini:<br /><br /><br />Penyair perasaannya bergetar memandang bulan. Sebentar itu segala kesukaran-kesukaran hidupnya yang begitu pahit hilang lenyap, dan ia makin senyum memandangnya. Tangannya berganti-ganti menjadi bantal bagi kepalanya, dan pandangnya bertambah gairah.<br /><br />Waktu ia berada antara tidur dan jaga, maka betapa terkejutnya ia waktu dilihatnya, bulan makin mendekat jua padanya.<br /><br /><br />Peristiwa yang terjadi setelah Penyair berada dalam kondisi antara tidur dan jaga ini merupakan realitas pikiran atau seperti kata Jassin, dunia di belakang realisme. Namun, cerpen ini belum dapat dikatakan sebagai cerpen surealis karena tindak laku dan tindak pikir berlangsung secara kronologis, sementara surealisme menghendaki keseluruhan dan kesewaktuan (simultan).[2] Apa yang dilakukan dan apa yang dipikirkan, hadir bersama-sama dalam satu peristiwa sehingga kita sulit menemukan hubungan antarperistiwanya. Meski demikian, cerpen ini jelas menunjukan gejala sebagai cerpen surealis.<br /><br /><br />Kapuasdua,14 Juli 2009<br /><br /><br /><br />[1]Lihat Tifa Penyair dan Daerahnya. “Surrealisme”. Jakarta: Gunung Agung, 1953, hlm. 26<br /><br />[2] Ibid, hlm. 22Hafi Zhahttp://www.blogger.com/profile/07804664741974156028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2319701063290663690.post-47213861518951716702010-07-19T19:10:00.000-07:002010-07-25T21:24:52.275-07:00Jalan Kupu-Kupu Helvy Tiana Rosa<span style="font-weight: bold;">Esai Hafi Zha</span><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://bryandaly.files.wordpress.com/2009/12/butterfly-8205.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 314px; height: 232px;" src="http://bryandaly.files.wordpress.com/2009/12/butterfly-8205.jpg" alt="" border="0" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-style: italic;">bunda,</span> <span style="font-style: italic;"><br />engkaulah yang menuntunku</span> <span style="font-style: italic;"><br />ke jalan kupu-kupu</span><br /><br />Demikian bait puisi Abdurrahman Faiz, putra sulung Helvy Tiana Rosa (HTR). Chamamah-Soeratno mengatakan dalam Sangidu[1] bahwa manusia sebagai homo significans, dengan karyanya akan memberi makna pada dunia nyata atas dasar pengetahuannya. Pemberian makna dilakukan dengan cara mereka dan hasil karyanya berupa tanda.<br /><br />Sebagai tanda, karya sastra merupakan dunia dalam kata yang dapat dipandang sebagai sarana komunikasi antara pembaca dengan pengarangnya. Karya sastra bukan merupakan sarana komunikasi biasa. Oleh karena itulah, karya sastra dapat dipandang sebagai gejala semiotik (Teeuw, 1984: 43). Melalui “Jalan Bunda” Faiz seolah ingin memasang tanda sebagai alat komunikasi dengan pembaca mengenai sosok bunda, yang dalam puisi tersebut dikatakann telah menuntun Faiz ke jalan kupu-kupu. Sehingga penafsiran terhadap karya ini akan mungkin mengantarkan kita pada pengungkapan sosok HTR yang menjadi subjek dalam puisi Faiz tersebut.<br /><br />Menurut teori Pierce setiap tanda tentu memiliki dua tataran, yaitu tataran kebahasaan dan tataran mitis. Tataran kebahasaan disebut sebagai penanda primer yang penuh, yaitu tanda yang telah penuh dikarenakan telah mantap acuan maknanya[2] karena Penanda, Petanda, dan Tanda dalam tataran ini masuk wilayah denotatif yang mengacu pada makna leksikal atau makna dalam kamus. Tanda pada tataran kebahasaan itu berubah menjadi Penanda dalam tataran mitis[3]. Atau, dengan kata lain, penanda-penanda pada wilayah konotatif dibentuk dari tanda-tanda yang ada di wilayah denotatifnya[4]. Sehingga tiada termungkinkan bagi pembaca menafsirkan Petanda pada tataran mitis yang masuk wilayah konotatif, tanpa mengacu pada makna leksikalnya.<br /><br />Kata <span style="font-style: italic;">bunda</span> dalam larik pertama puisi ini tentu mengacu pada ibu dari Faiz, yaitu HTR. Begitu juga kata <span style="font-style: italic;">engkaulah</span> dalam larik kedua merupakan pronomina dari kata bunda dalam larik pertama. Sedangkan makna leksikal dari kata <span style="font-style: italic;">menuntun</span> dalam <span style="font-style: italic;">Kamus Besar Bahasa Indonesia</span> (2005: 1227) memiliki arti: menunjuk (mengarahkan) ke jalan yg benar. Jalan yang oleh Faiz disebut sebagai <span style="font-style: italic;">jalan kupu-kupu</span>.<br /><br />Dalam <span style="font-style: italic;">KBBI </span>(2005: 452) lema <span style="font-style: italic;">jalan</span> memiliki pengertian: cara (akal, syarat, ikhtiar, dsb) untuk melakukan (mengerjakan, mencapai, mencari) sesuatu. Sedangkan lema <span style="font-style: italic;">kupu-kupu </span>dalam <span style="font-style: italic;">KBBI </span>(2005: 615—616) ada dua: (1) <span style="font-style: italic;">kupu-kupu</span> yang berarti serangga bersayap lebar, umumnya berwarna cerah, berasal dari kepompong ulat, bisa terbang, biasanya sering hinggap di bunga untuk menghisap madu; (2) <span style="font-style: italic;">kupu-kupu</span> yang bermakna pohon yang kayunya kuat dan halus, biasanya dibuat hulu keris.<br /><br />Apabila kita merujuk pada lema <span style="font-style: italic;">kupu-kupu</span> yang pertama, maka <span style="font-style: italic;">jalan kupu-kupu</span> dalam larik ketiga puisi Faiz bisa bermakna cara mencapai mimpi, cita-cita, atau harapan. Atau dapat juga dimaknai sebagai cara yang dilakukan untuk memetamorfosa aku lirik yang dalam puisi ini merujuk pada pengarangnya, dari<span style="font-style: italic;"> no body</span> menjadi <span style="font-style: italic;">some body</span>. Namun, jika kita memilih lema <span style="font-style: italic;">kupu-kupu</span> yang kedua, maknanya adalah cara yang dilakukan untuk menjadikan aku lirik sebagai pohon yang kuat.<br /><br />HTR selain dikenal sebagai sastrawan dan lektor susastra di Universitas Negeri Jakarta, ia juga dikenal sebagai salah satu pendiri organisasi pengaderan penulis terbesar di seluruh dunia, yaitu Forum Lingkar Pena, yang oleh Taufiq Ismail dikatakan sebagai anugerah untuk bangsa Indonesia. Sedangkan Abdurrahman Faiz, sempat tercatat dalam rekor Muri sebagai penyair tercilik yang menerbitkan buku pada usia 8 tahun.<br /><br />Dengan demikian tak salah jika kita memaknai puisi “Jalan Bunda” ini sebagai sebuah usaha HTR dalam mengarahkan Faiz untuk meraih cita-citanya agar ia tumbuh menjadi <span style="font-style: italic;">some body </span>yang seperti pohon kupu-kupu melalui dunia literasi.<br /><br />Hurlock (1993: 202) mengatakan, “Sikap orang tua tidak hanya mempunyai pengaruh yang kuat pada hubungan di dalam keluarga tetapi juga pada sikap dan perilaku anak. Kebanyakan orang yang berhasil setelah dewasa berasal dari keluarga dengan orang tua yang bersikap positif dan hubungan antara mereka dan orang tua sehat.”<br /><br />“Jalan Bunda” yang telah dirintis oleh HTR terbukti telah menghasilkan generasi sehebat Abdurrahman Faiz. Lalu bagaimana dengan kita?<br /><br /><br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-style: italic;">Kapuasdua, 15 April 2010</span><br /></div><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Daftar Pustaka</span><br /><br />Hurlock, Elizabeth B.1993. <span style="font-style: italic;">Pekembangan Anak</span>. Jakarta: Erlangga<br />Santosa, Drs. Puji. 1990. <span style="font-style: italic;">Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra</span>. Bandung: Angkasa<br />Pusat Bahasa. 2005. <span style="font-style: italic;">Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga</span>. Jakarta: Balai Pustaka<br />Sangidu. <span style="font-style: italic;">Ikan Tunggal Bernama Fadhil karya Syaikh Hanzah Fansuri: Analisis Semiotik. Humaniora</span> volume XV, No. 2/2003Hafi Zhahttp://www.blogger.com/profile/07804664741974156028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2319701063290663690.post-43387065218990940722010-07-19T19:08:00.000-07:002010-08-05T23:26:17.566-07:00Chairil dalam Sajak Aku<span style="font-size:130%;"><span class="insertedphoto"><img class="alignmiddleb" src="http://images.rumahkepompong.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/SeKFsgoKCrIAAEbkHVI1/Ilustrasi-Chairil-dalam-Sajak-Aku.jpg?et=Bx1c%2Bpy9Ye%2B09if0fDAz1A&nmid=0" border="0" /></span></span><br /><div style="text-align: left;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;"><br />Esai Hafi Zha</span><br /></span></div><span style=";font-family:trebuchet ms;font-size:130%;" ><br />SAJAK “Aku” pernah mengalami perubahan. Dalam <span style="font-style: italic;">Kerikil Tajam</span> judulnya “Semangat” kemudian judul “Aku” dipakai dalam <span style="font-style: italic;">Deru Campur Debu</span>. Kata-kata dalam sajak “Aku” pun ada yang mengalami perubahan, yaitu kata “ku tahu” pada baris kedua bait pertama, diganti “ku mau”.<br /><br />Mengapakah Chairil Anwar mengganti kata-kata itu? Ada beberapa alasan, di antaranya dalam kata “semangat” itu terkandung arti perasaan yang menyala-nyala, terasa ada sifat propagandis atau perasaan yang bombastis (berlebih-lebihan). Sedangkan dalam kata “aku” terkandung perasaan yang menunjukkan kepribadian penyair dan semangat individualistisnya.<br /><br />Ditinjau dari sudut ini, kata “aku” lebih tepat daripada “semangat” untuk judulnya. Selain itu, puisi-puisi Chairil yang bersifat individualis sulit lolos sensor di masa Jepang. Untuk itu, Chairil memakai judul “Semangat” untuk mengelabui sensor. Sedangkan kata “ku tahu” menunjukkan perasaan pesimis dan rasa keterpencilan. Bila sajak itu dideklamasikan maka nadanya rendah dan melankolik. Hal ini tidak sesuai dengan bait-bait berikutnya yang penuh semangat.<br />Karena itu, kata “ku tahu” tidak tepat dan diganti dengan kata “ku mau” yang lebih menunjukkan kemauan pribadi yang kuat.<br /><br />Sajak “Aku” menceritakan jika meninggal, si aku ingin tak ada seorang pun yang bersedih (“merayu”). Si aku ini binatang jalang yang lepas bebas, yang terbuang dari kelompoknya: ia merdeka tak mau terikat oleh aturan-aturan yang mengikat, bahkan meskipun ia ditembak peluru menembus kulitnya, si aku tetap berang dan memberontak terhadap aturanaturan yang mengikat tersebut. Si aku mau hidup seribu tahun lagi sebuah kiasan yang bermakna bahwa yang hidup seribu tahun lagi adalah semangat, pikiran, dan karyakaryanya.<br /><br />Si aku, Chairil Anwar, adalah manusia yang terasing. Keterasingannya ini memang disengaja sebagai pertanggungjawaban pribadi: <span style="font-style: italic;">Ku mau tak seorang kan merayu/ Tidak juga kau</span>. Hal ini karena si aku adalah manusia bebas yang tidak mau terikat kepada orang lain: <span style="font-style: italic;">Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang</span>. Dan si aku ini menentukan “nasibnya” sendiri, tidak mau terikat oleh kekuasaan lain: <span style="font-style: italic;">Aku mau hidup seribu tahun lagi.</span> Pengakuan dirinya sebagai binatang jalang dan penentuan nasib sendiri: <span style="font-style: italic;">Aku mau hidup seribu tahun lagi </span>merupakan sikap revolusioner terhadap paham dan sikap atau pandangan para penyair yang mendahuluinya (Pujangga Baru) (Pradopo, 1987: 171).<br /><br />Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan, serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal /a/ dan /u/. Hiperbola tersebut:<br /><br /><span style="font-style: italic;">Aku ini binatang jalang</span><br /><span style="font-style: italic;">Dari kumpulannya terbuang</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Aku mau hidup seribu tahun lagi</span><br /><br />Gaya tersebut disertai dengan ulangan bunyi /i/ yang lebih menambah intensitas:<br /><span style="font-style: italic;">Luka dan bisa kubawa berlari. Berlari</span><br /><span style="font-style: italic;">Hingga hilang pedih peri ... peduli</span><br /><span style="font-style: italic;">... lagi</span><br /><br />Dengan hiperbola tersebut penonjolan pribadi tampak nyata.<br />Menurut Pradopo (1987: 173), sajak “Aku” menimbulkan banyak tafsir, bersifat ambigu. Hal ini karena ketidaklangsungan ucapan dengan cara bermacam-macam. Chairil memang ingin menarik perhatian dan untuk menimbulkan pemikiran. Dalan sajak “Aku” dipergunakan penyimpangan arti (distorsing) (Riffaterre dalam Pradopo, 1987: 173): <span style="font-style: italic;">kalau sampai waktuku </span>dapat berarti kalau aku mati;<span style="font-style: italic;"> tidak perlu sedu sedan itu</span> dapat berarti tak ada gunanya kesedihan itu;<span style="font-style: italic;"> tidak juga kau </span>dapat berarti tidak juga engkau anakku, istriku, atau kekasihku. Ambiguitas arti memperkaya makna.<br /><br />Dalam sajak ini juga banyak digunakan metafora penuh dan implisit. Metafora penuh seperti: <span style="font-style: italic;">Aku ini binatang jalang</span>, maksudnya si aku seperti binatang jalang yang bebas lepas tidak terikat oleh ikatan apapun (Pradopo, 1987: 172).<br /><br />Metafora implisit di sini: <span style="font-style: italic;">peluru, luka dan bisa, pedih peri</span>. “Peluru” untuk mengiaskan serangan, siksaan, halangan ataupun rintangan. Meskipun si aku tertembus peluru: mendapat siksaan, rintangan, serangan, ataupun halangan-halangan, ia tetap akan meradang menerjang: melawan dengan keras, berbuat nekat demi kebenarannya. “luka dan bisa” untuk mengiaskan penderitaan yang didapat. “Pedih peri” mengiaskan kesakitan, kesedihan, atau penderitaan akibat tembusan peluru di kulit si aku (halangan, rintangan, serangan, ataupun siksaan).<br /><br />Untuk menyatakan semangat menyala-nyala digunakan kiasan: “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vitalitas.<br /><br />Dalam sajak ini dikemukakan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri: <span style="font-style: italic;">Ku mau tak seorang kan merayu</span> (bersedih). Orang lain hendaknya jangan campur tangan terhadap nasib si aku, baik dalam suka maupun duka, maka <span style="font-style: italic;">Tak perlu sedu sedan itu</span>.<br /><br />Dari analisis di atas, pembaca dapat menyimpulkan bahwa Aku dalam sajak tersebut adalah Chairil. Menurut Asrul Sani (dalam Ismail, 1999: 8), sajak Aku merupakan sebuah pamitan yang getir oleh Chairil kepada ayahnya yang mencoba membujuknya kembali ke Medan. Memang secara tak langsung sajak Aku menggambarkan seorang Chairil yang berpendirian teguh, yang menolak bujukan dari ayahnya sendiri. Tidak salahlah jika dalam , sajak Aku, tersimpan semangat Chairil Anwar yang penuh vitalitas, menyala-nyala dan membara.<br /><br /><br />Sumber: Majalah Sabili No.14 Th.XIV 25 Januari 2007/6 Muharam 1428</span>Hafi Zhahttp://www.blogger.com/profile/07804664741974156028noreply@blogger.com0