Selasa, 29 September 2009

Cacar Menyerang saat Hamil Besar


Maaf masih dalam pembangunan


Kamis, 03 September 2009

Pieter Akan Mati Hari Ini




Kompas,Minggu, 14 Juni 2009

Denny Prabowo

Sejak mercon itu meledak di benteng Zeelandia(1), aku tahu, hidup Pieter tak akan lama lagi. Derap langkah kuda serdadu kompeni yang melintasi depan rumahku serupa dengus napas sang maut. Bau kematian. Merebak ke tiap penjuru Jacatraweg.

De Malcontent(2) memang menyimpan bara pada kompeni. Namun, siapa percaya jika ia mampu menghimpun kekuatan untuk membantai seluruh orang Belanda di Batavia? Bukankah Margaretha, istrinya, juga seorang Belanda? Kuasa kompeni telah memilih Pieter dan kawan-kawan sebagai tertuduh utama meski tak satu bukti—kecuali isu yang diembuskan oleh seorang budak kepada istri Reijkert Heere.

Aku tahu, Pieter akan mati hari ini.

Tiga pekan lalu, serdadu kompeni menyerbu kediaman Pieter. Meringkusnya sebagai penjahat yang hendak melakukan makar. Bahkan, usaha Aletta mencegah serdadu membawa ayahnya hanya kesia-siaan. Margaretha mendekap tubuh anaknya ketika Pieter, Kartadriya, Layeek, dan enam belas orang lainnya digiring ke Stadhuis(3). Aku hanya bisa memandang dari balik jendela. Menuliskannya dalam baris-baris soneta. Apa boleh buat, aku hanya seorang pujangga. Apakah segerombolan kata-kata akan mungkin menghadang bedil-bedil kompeni itu?

Sejarah memang harus dituliskan.

Wajah Pieter mengeras demi mendengar keputusan Dewan Heemraden. Bagaimana mungkin, tanah di Pondok Bambu dan Sontar yang dahulu dibeli ayahnya dihapus kepemilikannya. Ia bahkan harus membayar sewa karena telah menggunakan tanah tersebut untuk usaha.

”Begitu besarkah kebencian mereka kepada seorang Indo sepertiku?” kata Pieter memeram bara, ”mamiku memang Siam. Tapi apa salahnya menjadi orang Siam? Bukankah kita tak memilih dari rahim siapa dan di mana kita dilahirkan?”

Margaretha dan Aletta tak tahu harus berkata apa. Mereka hanya bisa bermain-main dengan sendok dan garpu di tangannya. Selera makan mereka telah hilang sejak Pieter menggebrak meja setelah membaca surat keputusan Dewan Heemraden mengenai kepemilikan tanah keluarga Erberveld.

”Bukankah dahulu papi Tuan seorang Vertegenwordige(4) di Het College van Heemraden?” tanya Ateng Kartadriya, meneliti surat keputusan tersebut.

”Benar, Raden!” ujar Pieter, “mereka bahkan tak peduli pada jasa Papi.”

”Hmm... tiga ribu tiga ratus ikat padi?” gumam Ateng Kartadriya, ”mungkinkah ini ada hubungannya dengan Reijkert Heere?”

Kedua alis Pieter saling bertaut ketika keningnya mengerut. Ia seperti sedang mencari alasan paling mungkin bila dugaan Ateng itu benar. Ya... untuk apa? Mengapa Reijkert harus melakukan itu?

Ateng Kartadriya dan Pieter saling berpandangan, seperti menemukan jawaban.

Sejak usaha leerlooierij5 Erbelveld senior tersohor, nama Jacatraweg menjadi tenggelam. Orang lebih mengenal tempat itu sebagai kampung Peca’ Kulit. Mungkin karena kepiawaian Erberveld senior itu, Pemerintah Belanda mengangkatnya sebagai wakil presiden di Het College van Heemraden.

Sepeninggal Erbelveld senior, Pieter melanjutkan usaha itu. Kedekatannya dengan bangsa pribumi membuat Pieter disegani. Ia bahkan berkarib dengan seorang pribumi bernama Raden Ateng Kartadriya. Mereka bahkan menyebutnya Toean Goesti setelah ia mengaku sebagai orang Selam6.

Seandainya saja dahulu Pieter mau menerima tawaran Henricus Zwaardecroon, mungkin Reijkert Heere tak perlu menjelma sebagai penulis lakon sebuah sandiwara dan menjadikan Pieter pemeran utamanya.

Aku tahu, Pieter akan mati hari ini.

Siapa pun yang dijebloskan ke ruang hukuman di Stadhuis akan mengakui kesalahannya. Landdrost(7) selalu memiliki cara untuk membuat orang mengakui kesalahannya meski sesungguhnya ia tiada bersalah.

Ruang bawah tanah itu adalah saksi bagi keputusasaan.

Dan sejarah memang harus dituliskan.

Sejak mercon itu meledak di benteng Zeelandia, Gubernur Jenderal Zwaardecroon kian meradang. Hanya tinggal selangkah lagi ia akan menjadi pemilik seluruh tanah di Batavia. Namun, dukun yang diundangnya mengatakan kepadanya tentang langit Batavia yang telah dipenuhi segala macam ilmu hitam. Seorang stafnya meninggal tiba-tiba karena penyebab yang entah apa. Apalagi, tersiar kabar tentang jimat-jimat yang beredar di tengah masyarakat.

”Selamat siang, Tuan!” sapa seseorang. Zwaardecroon bergeming menatap keluar jendela kantornya.

”Apakah kau datang membawa kabar, Tuan Reijkert?” tanya Henricus Zwaardecroon tanpa menoleh.

”Saya ada membawa kabar, Tuan!”

”Kabar baik?”

”Tentu, Tuan!” kata Reikert, ”kami sudah menemukan biang keladi kekacauan selama ini.”

Zwaardecroon langsung memutar tubuhnya, ”Betul yang kaukatakan itu, Reijkert?”

”Benar, Tuan,” ujarnya, ”Tuan tentu mengenal Raden Ateng Kartadriya?”

”Mandor di leerlooierij milik Pieter?”

”Kami menggeledah rumahnya dan menemukan jimat-jimat yang selama ini beredar di masyarakat.”

”Jadi, dia pelakunya?”

Reijkert tersenyum, ”Tuan tahu siapa yang berada di belakangnya?”

”Pieter?”

”Benar, Tuan!”

Zwaardecroon memandang keluar jendela ruang kerjanya, ”Kau tentu sudah tahu apa yang harus dilakukan, Reijkart?”

Reijkart memberi hormat, melangkah meninggalkan ruang kerja Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon. Suara langkahnya seperti irama kematian.

Sejak suaminya menjadi penghuni ruang hukuman di Stadhuis, Margaretha telah kehabisan air mata. Ia tak lagi bisa menangis. Leerlooierij milik suaminya tak lagi beroperasi. Hari-harinya hanya ditemani sepi. Sudah beberapa kali dia mengunjungi Stadhuis, mencari tahu nasib suaminya. Sia-sia. Gubernur Jenderal tak mengizinkan siapa pun mengunjungi pelaku pemberontakan. Seperti juga aku, Margaretha tahu, hidup suaminya tak akan lama lagi.

Pagi tadi, berkas perkara Pieter dan teman-temannya tidak diserahkan ke Raad van Justitie, tetapi ke Collage van Heemraden. Tanpa seorang pengacara pun mendampingi mereka.

Aku tahu, Pieter akan mati hari ini.

Bukankah sudah kukatan, tak ada yang tidak akan mengaku bersalah setelah masuk ruang hukuman di Stadhuis? Begitulah hukum kompeni. Mereka selalu punya cara untuk membuat orang mengakui kesalahan yang tidak dilakukannya.

Aku memang tidak berada di ruang hukuman, tapi aku tahu apa yang telah mereka lakukan terhadap Pieter dan teman-temannya.

Sejarah memang harus dituliskan, bukan?

Tiap jengkal tubuh Raden Kartadriya telah menerima pukulan serta tendangan. Kedua tangannya dirantai. Lehernya dikalungi timbangan besi. Kepalanya tertunduk ke lantai menahan nyeri setiap kali serdadu kompeni menambah pemberat pada timbangan. Namun, ia masih bungkam, tak mau membuka suara.

”Potong habis rambutnya!” perintah Reijkert, ”kita lihat, apakah ia masih sanggup tutup mulut!”

”Baik, Meneer!”

Helai demi helai rambut Raden Kartadriya berjatuhan di lantai hingga tak sehelai pun tersisa di kepalanya.

Reijkert mencengkeram leher Raden Kartadriya, lalu mendongakkannya. Lelaki itu malah tersenyum sinis, sorot matanya menyimpan api. Sebuah hantaman ditengkuknya membuat kesadarannya hilang.

”Masukan dia ke dalam sel!” perintah Reijkert, ”seret yang lainnya!”

Serdadu kompeni menyeret Layeek, seorang budak dari Sumbawa, orang kepercayaan Pieter setelah Raden Kartadriya.

”Kamu orang tak perlu menderita seperti Kartadriya jika mau menceritakan tentang rencana pemberontakan kalian!” bujuk Reijkert.

”Fuih!” Layeek meludahi wajah Reijkert.

”Kurang ajar!” Tangan Reijkert menghantam dagu Layeek. Pemuda itu langsung tumbang, ”Angkat dia!”

Serdadu kompeni merebahkan tubuh Layeek di atas pijnbank(8). Kedua tangannya dibentangkan, lalu telapaknya disekrup. Layeek menjerit-jerit kesakitan. Darah. Reijkert tertawa menikmati setiap tetes darah yang retas dari tubuh legam Layeek.

”Baik... baik, Tuan... saya akan ceritakan!”

Sejak Pieter dan teman-temannya membuat pengakuan, Collage van Heemraden telah mengetukkan palunya. Konon dan memang hanya konon, Pieter menyimpan semua rencana pemberontakannya di sebuah peti di dalam lemari tua di rumahnya. Pieter mengatakan akan melakukan pemberontakan pada malam tahun baru dengan dukungan pasukan dari Banten, Cirebon, dan Kartasura. Pieter bahkan mengaku telah berkirim surat kepada putra Surapati.

Aku tahu, Pieter akan mati hari ini.

Meski kompeni tak berhasil menemukan surat-surat yang konon disembunyikan dalam peti di lemari tua miliknya, Raad van Indie telah menyetujui hukuman mati dengan penggal kepala kepada Pieter dan delapan belas orang inlander pengikutnya. Mereka akan mengeksekusinya di lapangan sebelah selatan kasteel.

Begitulah, sejarah akan dituliskan, kataku mengakhiri cerita.

Kedai minum itu hening. Tak ada yang tahu apa yang sedang bermain di dalam kepala orang-orang yang mendengar ceritaku itu. Pieter Erbelveld memang dikenal luas di Batavia.

”Kita harus meninggalkan tempat ini, Tuan!” ujar seorang lelaki dengan destar merah melilit kepalanya, ”sebelum kompeni menyadari pelarian Tuan. Raden Pengantin beserta pasukannya telah menanti di bekas tanah milik Tuan di Sontar.”

”Kartadriya....”

”Kita tak mungkin membawanya serta.”

”Apakah kau akan ikut dengan kami, Jan?”

”Pergilah!” jawabku, ”aku akan menyusul kalian. Biar kuselesaikan dulu soneta ini.”

Sepeninggal kedua orang itu, pemilik kedai yang ikut mendengarkan ceritaku menghampiri, ”Tuan, bukankah Meneer yang wajahnya penuh luka itu Pieter Erbeveld?”

”Bukan!” kataku sambil berlalu meninggalkan pemilik kedai itu, ”Pieter akan mati hari ini!”

Pemilik kedai itu hanya tersenyum, memandangi kepergianku.

Depok, 09/11/2008



Catatan:

1. Gudang mesiu di Kota
2. Orang yang Kuciwa, lihat Saidi, Ridwan (hlm 184). 1987. Profil Orang Betawi--Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, Jakarta: PT Gunara Kata
3. Sekarang Museum Fatahilah
4. Wakil Presiden
5. Penyamakan kulit
6. Orang Islam
7. Semacam jaksa
8 Bangku penyiksa


 

Rumah Kata Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha