Senin, 30 April 2012

Yang Tak Terduga


Di usianya yang keduapuluhdua bulan, Tebing mendapatkan adik. Tsurayya Al Hasna kami menamainya. Seorang bayi perempuan yang lahir pada hari Jumat, 15 Juli 2011, pukul 16.00 WIB. Melihatnya lahir dengan selamat ke dunia menjadi kebahagiaan dan kelegaan tersendiri di hati saya. Tangisnya yang pecah menjadi pelipur rasa sakit yang saya alami. Sungguh, menjadi cerita yang berbeda dari pengalaman melahirkan Tebing Cakrawala.

Kehamilan kedua berjalan sangat lancar. Tak ada plasenta previa. Tak ada posisi sungsang. Saya menjalaninya dengan santai. Tak ada beban dan kekhawatiran seperti kehamilan anak pertama. Mungkin karena energi saya terpakai untuk merawat dan menjaga Tebing yang masih belum genap dua tahun saat itu.

Hanya saja ketika pertama kali mengetahui saya kembali hamil, saya shock. Gamang. Entah ingin bahagia, atau sedih. Karena saya sadar saya kembali diberi amanah oleh Allah. Tapi di sisi lain, saya merasa belum selesai dengan amanah yang pertama. Saya takut tak bisa menjaga keduanya dengan baik. Saya bertanya kepada diri saya sendiri, apakah saya mampu untuk itu semua?

Syukur kepada Allah, ada suami yang membesarkan hati saya. Membuat mata saya terbuka. Ia menguatkan diri saya untuk bangkit. Mengembalikan kepercayaan diri saya sebagai seorang wanita yang akan kembali menjadi ibu. Saya seperti terlahir kembali.

Sebuah kejutan diberikan oleh Tebing. Ia mulai ingin belajar berjalan. Saat kehamilan saya menginjak delapan bulan, Tebing bisa berjalan jarak pendek antara ayah dan bundanya. Ia juga mau berjalan dengan dituntun ayah bunda di kanan dan kirinya. Sungguh, hal yang sangat membuat saya bahagia dan bangga.

Kurang dua minggu persalinan, Mama saya datang untuk menemani dan membantu saya. Kelahiran anak kedua ini memang saya putuskan untuk di Depok. Tempat bidan yang akan menangani persalinan pun baru saya dapatkan saat kehamilan saya memasuki sembilan bulan. Pertimbangannya karena jaraknya dekat dengan rumah.

Kembali, Tebing membuat kejutan. Ia "pamer" kebisaannya kepada neneknya yang baru datang. Ia bisa berjalan. Bahkan ia berjalan terus tiada henti di dalam rumah. Saya benar-benar lega. Alhamdulillah.

Hampir seminggu saya merasa tanda-tanda ingin melahirkan. Tapi saya yakin itu hanya tanda-tanda "palsu". Saya terus melakukan apa yang disarankan oleh bidan. Senam hamil dan berjalan naik turun di tanjakan.

Pada hari Jum'at pagi, Mama kembali mengajak saya pergi ke pasar. Mama memang rajin ke pasar. Kalau tidak ke pasar, rasanya kurang lengkap hidup Mama, mungkin :-) Saat itu saya mulai merasakan mulas yang lebih sering, dan lebih sakit. Beberapa kali saya ketinggalan di belakang Mama karena menahan sakit. Gerakan bayi di dalam perut sangat kuat.

Sepulang dari pasar, saya menelepon suami. Memberitahukan kondisi saya. Saya memintanya pulang lebih awal. Untuk berjaga-jaga jika saya memang melahirkan hari itu juga. Saya terus menghitung jarak mulas. Yang semakin cepat dan semakin sering. Saya bolak-balik ke kamar mandi. Tapi rasa mulas itu tak juga berkurang dan reda. Malah semakin menjadi.

Saat suami pulang, saya meringis kesakitan. Kami pun berangkat ke bidan. Saat diperiksa oleh asisten bidan (bidan belum datang dari dinasnya), ternyata baru pembukaan satu. Perkiraan dia, kemungkinan lahir setelah magrib. Saya putuskan untuk pulang. Tidak menunggu di tempat bidan.

Sepulang dari bidan, rasa sakit itu semakin menjadi. Dengan dibantu suami, saya melakukan senam hamil untuk mengurangi rasa sakit. Tapi percuma. Sakit itu tidak reda. Saya sangat mengantuk saat itu. Beberapa malam saya memang tak bisa tidur nyenyak. Karena pinggang yang sakit dan gerakan bayi yang sangat kuat.

Karena melihat saya meringis kesakitan, beberapa kali suami bertanya, "Apakah sudah waktunya ke bidan?" Saya terus menjawab, "Belum, nanti dulu."

Saat saya sudah tak merasa kuat lagi menahan sakit, saya pun mengiyakan tawaran suami. Ia bergegas mencari angkot. Sekitar sepuluh-limabelas menit menunggu. Saya sudah tak bisa berdiri tegak bahkan duduk. Seperti sudah hendak keluar bayi dalam perut. Saya ditemani mama saya di dalam angkot. Saat angkot hendak berangkat, saya duduk di bawah. Mengambil posisi sujud. Sopir angkot kaget melihat saya berlaku itu. Ia berujar, "Bu, tahan dulu ... aduh, berabe nih kalo lahir dalam angkot gue."

Saya tertawa dala hati. Saya membatin, "Jangan sampai juga anak saya lahir dalam angkot." Hihihi ...

Sekitar sepuluh menit, kami pun tiba di tempat bidan. Alhamdulillah, bidannya sudah pulang dari dinasnya. Ia menyambut dengan santai dan menghibur saya. Saat diperiksa ternyata bukaannya sudah lengkap. Saya terkejut, begitu juga dengan bidan dan asistennya. Dalam waktu satu jam semua sudah lengkap. Alhamdulillah.

Akhirnya, sepuluh menit proses persalinan tangis bayi pun pecah. Wajahnya bulat dan merah. Dengan pipinya yang juga bulat. Bayi perempuan itu pun diberi azan dan iqamat oleh ayahnya. Tebing menjenguk adiknya dan terus menunjuk-nunjuk ke arah adiknya. Kembali bersyukur dengan karunia Allah. Merasa lengkap untuk saat ini menjadi bunda dari Tebing Cakrawala dan Tsurayya Al Hasna ^^

Bantarkemang, April 2012


Tahun Pertama


Yang dinanti-nantikan pun tiba. Setelah enam bulan menikah, saya pun mengandung. Mungkin itulah salah satu kebahagiaan terbesar dalam hidup saya. Menjadi seorang calon ibu. Saya bersyukur bisa merasakannya. Menjalani hari-hari kehamilan dengan bermacam-macam perasaan. Juga mendapat banyak pelajaran hidup.

Trimester pertama normal. Maksudnya normal-normal saja untuk ibu yang hamil muda. Ada mual sedikit. Muntah sedikit. Pusing-pusing yang jarang. Semua tak terlalu menganggu aktivitas mengajar saya di sebuah bimbingan belajar. Untunglah pada saat itu saya mengajar hanya hitungan jam. Bukan setengah hari atau seharian.

Ternyata efeknya baru terjadi di bulan keempat. Saya merasa mulai payah. Badan saya tak terlalu fit untuk beraktivitas. Mual dan muntah sering terjadi. Bahkan saya tak terlalu bernafsu makan. Memasak pun menjadi momok menakutkan untuk saya saat itu. Karena mencium bau bawang digoreng dan bau minyak membuat saya semakin mual. Saya mulai merasa sensitif. Kebisingan, hiruk-pikuk, keramaian terkadang membuat saya emosi.

Hingga pada akhirnya typus saya kambuh. Saya bedrest untuk beberapa hari. Alhamdulillah, saya memiliki suami yang begitu pengertian dan sangat sayang kepada saya. Ia merawat saya dengan penuh kasih sayang. Saat itulah saya merindukan orang tua saya. Merindukan rumah dan suasananya. Suami saya terus memotivasi saya untuk sembuh. Tidak untuk saya, tapi untuk bayi dalam perut saya.

Menginjak bulan ke delapan, saya kembali melakukan USG. Sebenarnya orang tua saya bereaksi tak setuju saya melakukan USG. Khawatir membahayakan bayi di dalam perut. Tapi berdasarkan beberapa referensi yang saya baca mengatakan bahwa USG aman untuk janin. Hasilnya sungguh membuat saya “gelisah”. Dokter mengatakan bahwa saya mengalami plasenta previa.

Plasenta previa, plasenta menutupi jalan keluar bayi. Dan posisi bayi saya sedikit sungsang. Alias kepala belum berada di dekat jalan keluar. Saya bersyukur termasuk orang yang sangat jeli dan perhatian terhadap orang yang berbicara dan apa yang dibicarakannya. Apalagi ini berkaitan dengan hidup dan mati saya. Saya mengamati detail yang terpampang di monitor USG. Sambil menyimak penjelasan dokter. Ada beberapa yang miss … yang menurut saya dokter itu juga tak terlalu yakin.

Saya tetap optimis saya bisa melakukan perubahan terhadap kondisi kehamilan saya. Sisa waktu tinggal satu bulan. Semua bisa berubah dengan kehendak Allah dan usaha kita. Tapi di sisi lain, saya juga harus siap sedia jika kondisi tidak memungkinkan saya melahirkan normal. Semua kemungkinan bisa terjadi.

Hingga akhirnya, saya memutuskan untuk bersalin di tempat tinggal orang tua saya, di Jombang. Kurang tiga minggu dari hari perkiraan lahir saya pun pulang. Ternyata Allah kembali menguji kesabaran dan kekuatan saya. Saya terkena cacar air setelah seminggu berada di Jombang.

Sungguh, saya tak menyangka saya sakit cacar air di saat tengah menunggu kelahiran bayi saya. Saya demam dan semua tubuh saya tidak luput dari cacar. Sedih … sangat, saya sangat sedih sekali. Saya juga takut … takut kehilangan semangat dalam diri saya. Apalagi suami saya berada jauh dari sisi saya.

Kedua orang tua saya menyemangati saya. Merawat saya. Menjaga saya. Saya serasa kembali seperti di masa kecil. Disuapi, dibelai, dijaga, dan dirawat. Tak henti doa-doa keluar dari mulut mereka.

Walhasil, kelahiran maju sepuluh hari dari perkiraan. Tepat tanggal 5 September 2009 pukul 07.25 WIB, bayi laki-laki keluar dari rahim saya. Dengan berat 3.5 kg dan tinggi 50 cm. Wajahnya terlihat damai dan suci. Kehadirannya mengobati rasa sakit, lelah, dan payah saya. Alhamdulillah … Allahuakbar!

Selamat datang ke dunia anakku, Tebing Cakrawala ^^


Bantarkemang, April 2012


 

Rumah Kata Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha