Esai Hafi Zha
Hidup adalah sebuah kado yang hanya dapat diberikan oleh Allah Swt. Dalam kehidupan yang telah dihadiahkan kepada kita ini, Allah senantiasa memberi kejutan-kejutan. Coba renungkan kembali perjalanan kita dari dulu hingga saat ini. Siapa tahu Anda menemukan potret-potret kehidupan yang usang dihias debu. Atau justru potret itu terpajang indah di hati Anda. Ya, kejutan memang tak selalu membahagiakan. Adakalanya duka menghiasinya. Tapi tetap saja saya menganggapnya sebagai sebuah kejutan. Menang lomba. Buku berhasil terbit. Dapat royalti besar. Buku ternyata tak laku di pasaran. Jatuh dari motor. Terpaksa dirawat di rumah sakit. Menikah tahun ini. Dikaruniai anak laki-laki atau perempuan. Atau punya anak kembar. Dan sebagainya. Semua itu kejutan, bukan? Seperti sebuah kado dalam kehidupan kita.
Tak terkecuali dalam kehidupan saya. Dari kecil hingga kini telah menjadi ibu dari dua balita. Menjadi ibu merupakan kado terindah dan terbesar dalam hidup saya. Namun, jauh sebelum menerima kado itu, Allah telah lebih dulu memberikan sebuah kado kepada saya. Sebuah kado yang menjadi awal dari perjalanan rumah tangga saya.
Mungkin bukan saya satu-satunya orang di dunia ini yang pernah mendapat kejutan seperti ini. Sebuah kejutan yang saya sadari kemudian adalah perwujudan dari doa dan harapan saya. Ya … Allah mengabulkan harapan saya. Saya pernah memimpikan memiliki pendamping hidup seorang penulis. Semula saya membayangkan dipinang oleh wartawan yang penanya selalu menghiasi lembar surat kabar. Namun, Allah lebih tahu yang dibutuhkan hamba-Nya. Saya memang tidak menikah dengan wartawan, tetapi dengan seorang penulis cerpen. Seorang cerpenis yang berasal dari komunitas yang sama dengan saya, Forum Lingkar Pena (FLP).
Ya, berawal dari sebuah buku. Ketika Helvy Tiana Rosa yang merupakan salah seorang pendiri FLP serta dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berkunjung ke Universitas Negeri Malang (UM) untuk studi banding. Dalam kegiatan itu, ia membahas sebuah buku yang memuat cerpen-cerpen nominator sebuah sayembara yang diadakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Seusai mengikuti acara itu, saya kemudian tertarik untuk meminjam buku itu. Sayang, Rista, teman saya sudah lebih dulu meminjam buku yang cuma ada satu di perpustakaan jurusan itu. Saya harus menunggu giliran meminjam dari teman saya. Bagi saya, membaca buku itu membuka pikiran saya untuk lebih giat menulis. Membuka mata saya bahwa banyak peluang yang bisa dicoba untuk meraih kesuksesan melalui jalan menulis.
Usai menamatkan buku itu, saya tertarik untuk menghubungi para penulisnya. Saya ingin sekali belajar banyak dari mereka. Saya ingin bisa seperti mereka. Sungguh senang dan bangganya saat beberapa penulis membalas maksud kami. Dengan sabar mereka membalas SMS atau email yang saya kirimkan, memberikan pelajaran yang sungguh berharga.
Seiring dengan waktu dan berbagai kesibukan masing-masing, komunikasi via email ataupun via handphone mulai jarang. Bahkan terputus sama sekali. Saya kembali takproduktif. Hanya saja ada satu nama masih terus berinteraksi. Saya yang saat itu menjadi salah satu pengurus FLP kampus merasa sangat terbantu berkomunikasi dengan penulis cerpen “Seribu Masjid yang Kudirikan” itu. Banyak ide dan masukan yang saya peroleh untuk mengembangkan kegiatan FLP di kampus. Teman-teman pun merasa senang dan berandai-andai menjadikannya pembicara jika ada kegiatan besar FLP kampus.
Ternyata keinginan teman-teman FLP di kampus terwujud setelah saya dan dia menikah. Menikah? Ya, taklama kami berinteraksi melalui SMS, ia menawarkan sebuah pernikahan kepada saya. Tentu saja saya terkejut. Usianya memang sudah layak untuk memiliki pasangan hidup. Saya sendiri memang menginginkan menikah di usia muda. Untuk menguji kesungguhannya, saya minta dia langsung datang menemui orang tua saya. Di luar dugaan, ia tak berkeberatan. Dari sana saya menemukan kesungguhan dan tanggung jawab dari dirinya.
Entah mengapa, sejak kedatangannya itu, saya percaya bahwa dia pria yang dari tulang rusuknyalah Allah menciptakan saya. Saya melihat sosok abah saya dalam dirinya. Teguh dan bertanggung jawab. Hanya saja kami tak lantas bisa mewujudkan keinginan kami untuk segera menikah. Orang tua tak cukup berani melepas saya menikah sebelum menyelsaikan kuliah. Apalagi saat itu, ia hanya seorang penulis lepas dan Mama menginginkan saya menikah dengan lelaki pilihannya yang tentu saja masih berasal dari Banjar. Ditambah lagi, kakak pertama saya yang terpaut sembilan tahun usianya dengan saya belum menemukan jodohnya. Sepertinya, mimpi saya untuk segera menikah takakan segera terlaksana.
Namun, ketika seorang keluarga dari pihak Mama datang meminta saya untuk anaknya, Mama memberikan pilihan, apakah saya ingin menerimanya atau masih mengharapkan cerpenis yang sudah lebih dulu meminta saya. Barangkali jawaban dari shalat Istikharah, barangkali juga karena keinginan saya memiliki suami seorang penulis, saya memutuskan menolak pinangan famili Mama saya. Lagipula, bukankah dalam Islam haram hukumnya meminang di atas pinangan orang lain? Biar bagaimana pun, keluarga saya takpernah menolak pinangan cerpenis itu.
Ketika untuk kedua kalinya saya menanyakan kesungguhannya menikahi saya, betapa terkejutnya saya mendengar dia telah bekerja di sebuah penerbitan yang memiliki catatan sejarah penting di dunia sastra Indonesia. Dia telah bekerja di Balai Pustaka! Dan kembali … kejutan dari Allah Swt. ini didapat melalui FLP. Melalui Mbak Asma Nadia, salah seorang pendiri FLP, dia memperoleh informasi lowongan kerja di Balai Pustaka. Barangkali karena aktivitasnya di Rumah Cahaya, perpustakaan yang didirikan oleh FLP, membuat Mbak Asma Nadia memilih untuk memberikan informasi itu kepadanya. Ia mencoba memasukkan lamaran. Dan diterima setelah diwawancarai langsung oleh direktur penerbitan tersebut. Saya bahagia dan bersyukur.
Setelah tiga kali kedatangan, maka pertemuan keempat adalah acara ijab kabul kami berdua. Alhamdulillah … satu persatu mimpi saya terwujud. Saya bisa menikah muda dengan seorang penulis. Kemudian, saya pun ikut bermukim di Depok. Saya sangat merasa kehilangan teman-teman saya semasa kuliah. Merasa tak punya siapa-siapa di tempat baru ini. Beruntung, teman-teman suami saya di FLP Depok dengan terbuka menerima saya. Perlahan-lahan saya merasa tak kesepian lagi. Saya menemukan keluarga baru di Depok. Keluarga FLP Depok yang bergiat di Rumah Cahaya FLP. Bahkan suami saya melibatkan saya dalam aktivitasnya di Rumah Cahaya.
Dalam mengarungi sampan rumah tangga, terkadang kami mengalami masa sulit. Terutama saat tengah bulan uang yang dipegang mulai menipis. Entahlah … uang itu memang cepat mengalirnya. Walau sudah diatur sedemikian rupa. Tapi berkah Allah selalu ada dalam pernikahan kami. Allah telah menjamin rezeki setiap manusia. Asal manusia itu berusaha dan berdoa. Rezeki tak terduga selalu datang dari mana saja. Salah satunya melalui FLP. Lagi … lagi … dan lagi …. Suami diundang jadi pembicara FLP. Jadi juri lomba mewakili nama FLP. Cerpen saya masuk sebagai juara harapan di lomba majalah Ummi yang berafiliasi dengan FLP. Dan lain-lain.
Semua kado kejutan itu saya syukuri. Saya nikmati yang telah Allah Swt. berikan kepada saya dan keluarga kecil kami. Saya menganggap FLP menjadi keluarga kedua saya di mana pun saya berada. Entah saya di Depok, di Malang, di Jombang, atau di Bogor kota tempat tinggal kami saat ini.
Hampir genap empat tahun pernikahan saya dengan cerpenis itu, Allah telah mengaruniakan kepada kami dua balita lucu, Tebing dan Rayya. Di usia FLP yang sebentar lagi genap 15 tahun ini, kira-kira kado apalagi yang akan Allah berikan melalui FLP? Apa pun kado yang akan diberikan Allah, semoga menjadi jalan bagi keberkahan keluarga kami dan FLP. Amin.
Bantarkemang Bogor, Februari 2012