Yang dinanti-nantikan pun tiba. Setelah enam bulan menikah, saya pun mengandung. Mungkin itulah salah satu kebahagiaan terbesar dalam hidup saya. Menjadi seorang calon ibu. Saya bersyukur bisa merasakannya. Menjalani hari-hari kehamilan dengan bermacam-macam perasaan. Juga mendapat banyak pelajaran hidup.
Trimester pertama normal. Maksudnya normal-normal saja untuk ibu yang hamil muda. Ada mual sedikit. Muntah sedikit. Pusing-pusing yang jarang. Semua tak terlalu menganggu aktivitas mengajar saya di sebuah bimbingan belajar. Untunglah pada saat itu saya mengajar hanya hitungan jam. Bukan setengah hari atau seharian.
Ternyata efeknya baru terjadi di bulan keempat. Saya merasa mulai payah. Badan saya tak terlalu fit untuk beraktivitas. Mual dan muntah sering terjadi. Bahkan saya tak terlalu bernafsu makan. Memasak pun menjadi momok menakutkan untuk saya saat itu. Karena mencium bau bawang digoreng dan bau minyak membuat saya semakin mual. Saya mulai merasa sensitif. Kebisingan, hiruk-pikuk, keramaian terkadang membuat saya emosi.
Hingga pada akhirnya typus saya kambuh. Saya bedrest untuk beberapa hari. Alhamdulillah, saya memiliki suami yang begitu pengertian dan sangat sayang kepada saya. Ia merawat saya dengan penuh kasih sayang. Saat itulah saya merindukan orang tua saya. Merindukan rumah dan suasananya. Suami saya terus memotivasi saya untuk sembuh. Tidak untuk saya, tapi untuk bayi dalam perut saya.
Menginjak bulan ke delapan, saya kembali melakukan USG. Sebenarnya orang tua saya bereaksi tak setuju saya melakukan USG. Khawatir membahayakan bayi di dalam perut. Tapi berdasarkan beberapa referensi yang saya baca mengatakan bahwa USG aman untuk janin. Hasilnya sungguh membuat saya “gelisah”. Dokter mengatakan bahwa saya mengalami plasenta previa.
Plasenta previa, plasenta menutupi jalan keluar bayi. Dan posisi bayi saya sedikit sungsang. Alias kepala belum berada di dekat jalan keluar. Saya bersyukur termasuk orang yang sangat jeli dan perhatian terhadap orang yang berbicara dan apa yang dibicarakannya. Apalagi ini berkaitan dengan hidup dan mati saya. Saya mengamati detail yang terpampang di monitor USG. Sambil menyimak penjelasan dokter. Ada beberapa yang miss … yang menurut saya dokter itu juga tak terlalu yakin.
Saya tetap optimis saya bisa melakukan perubahan terhadap kondisi kehamilan saya. Sisa waktu tinggal satu bulan. Semua bisa berubah dengan kehendak Allah dan usaha kita. Tapi di sisi lain, saya juga harus siap sedia jika kondisi tidak memungkinkan saya melahirkan normal. Semua kemungkinan bisa terjadi.
Hingga akhirnya, saya memutuskan untuk bersalin di tempat tinggal orang tua saya, di Jombang. Kurang tiga minggu dari hari perkiraan lahir saya pun pulang. Ternyata Allah kembali menguji kesabaran dan kekuatan saya. Saya terkena cacar air setelah seminggu berada di Jombang.
Sungguh, saya tak menyangka saya sakit cacar air di saat tengah menunggu kelahiran bayi saya. Saya demam dan semua tubuh saya tidak luput dari cacar. Sedih … sangat, saya sangat sedih sekali. Saya juga takut … takut kehilangan semangat dalam diri saya. Apalagi suami saya berada jauh dari sisi saya.
Kedua orang tua saya menyemangati saya. Merawat saya. Menjaga saya. Saya serasa kembali seperti di masa kecil. Disuapi, dibelai, dijaga, dan dirawat. Tak henti doa-doa keluar dari mulut mereka.
Walhasil, kelahiran maju sepuluh hari dari perkiraan. Tepat tanggal 5 September 2009 pukul 07.25 WIB, bayi laki-laki keluar dari rahim saya. Dengan berat 3.5 kg dan tinggi 50 cm. Wajahnya terlihat damai dan suci. Kehadirannya mengobati rasa sakit, lelah, dan payah saya. Alhamdulillah … Allahuakbar!
Selamat datang ke dunia anakku, Tebing Cakrawala ^^
Bantarkemang, April 2012
0 komentar:
Posting Komentar