Senin, 19 Juli 2010

Aura


C erpen Hafi Zha

Tak kenal maka tak sayang.

Dua manusia bertemu. Melalui sebuah jendela dunia. Buku. Salah satu dari mereka menggunakan jendela hatinya untuk menangkap untaian kata-kata yang menjelma cahaya dalam dalam buku cerita. Itulah yang dialami Kariri dan Aura. Kariri tak pernah menduga ia akan menjadi karib dengan Aura, gadis periang, yang berada jauh dari pelupuk matanya. Begitu juga dengan Aura, tak pernah mengira Kariri rajin mengirimkan kabar-kabar untuknya via telepon maupun lewat email-emailnya. Ada saja hal-hal dari Kariri yang memancing keingintahuan Aura. Mereka pun menjadi teman diskusi jarak jauh, tanpa pernah bertatap muka langsung.

****

Malam hari di ibukota, Februari 2004.

Aku ingin bercerita kepadamu. Aku adalah seorang laki-laki yang tak pernah mampu untuk jujur mengungkapkan bahasa kalbuku kepada seseorang yang telah menarik simpatiku, kecuali kepadamu. Sebuah perasaan baru telah bersemi dalam hatiku. Aku tak pernah tahu kapan ia tumbuh dan bagaimana prosesnya hingga ia kini bersemi. Yang jelas, aku menghargai perasaan ini.

Aku laki-laki yang hanya berani bercerita kepadamu, bertutur kalimat berbagi perasaan di setiap kata yang kurangkai. Kepada Chika pun aku tak berani mengungkapkannya. Aku malu. Atau aku seorang pengecut.

Kurasa lebih baik seperti ini, dan tentu akan lebih baik jika seperti ini. Gadisku tak akan merasa terganggu dengan perasaan yang kupendam untuknya. Kami akan bisa terus berhubungan secara baik-baik tanpa ada suatu ikatan cinta di antara kami. Dan itu lebih baik kan?

Kamu pasti tahu, perasaan baruku ini tertuju padanya, Aura.

****

“Kariri?”

“Ya, Ra, ini aku. Maaf tak memberimu kabar hampir dua bulan. Sesuatu telah menyita perhatianku untuk lebih fokus menghadapinya.”

Kariri merasa bersalah kepada Aura, ia telah meninggalkannya tanpa kabar sedikit pun. Semenjak ia bergulat dengan perasaannya, ia mencoba untuk menenangkan dirinya untuk tidak berhubungan sementara dengan Aura. Ternyata hal itu membuatnya menjadi lebih sulit.

“Kau tak sakit kan? Tapi sepertinya kau memang tak sakit, suaramu terdengar baik-baik saja, Ri.” Aura tertawa, ia tetap riang sementara Kariri berusaha tetap tenang menghadapinya. Benar-benar ia merindu gelak tawa Aura.

“Kamu sudah menerima email dariku?”

Aura terdiam lama. Kairir menunggu jawaban dari mulut gadis itu. Aura tampak berpikir keras sedang di ujung telepon Kariri gelisah menunggu jawaban Aura.

“Sudah. Kau mengirim fotomu kan? Tapi, maaf aku telah menghapusnya. Aku tak berani menyimpannya. Siapa bisa menjamin kehidupan akan berlangsung selamanya? Fotomu hanya akan membuat aku merasa tersiksa jika batas usia harus memisahkan kita. Aku juga tak bisa mengirimkan balasan untukmu seperti yang kauharapkan.”

“Kau takut, Ra? Perasaan itu tidak untuk ditakuti tapi dirasakan dan dicurahkan, Ra”

Kariri seolah-olah memperoleh cahaya terang dari Aura. Aura telah memancarkan aura perasaannya. Dengan penuh keyakinan, Kariri mengucapkan kata-kata yang tak disangkanya keluar begitu saja dari mulutnya.

“Ra, aku menyayangimu. Maafkan aku, Ra.”

Aura tersentak dan terdiam. Kariri ikut terdiam. Detik demi detik berlalu sia-sia, tak mereka sadari berapa pulsa yang mereka habiskan untuk sebuah kebisuan. Aura kini sadar dia telah membuat seorang laki-laki menaruh perasaan padanya. Apa sebenarnya yang membuat Kariri jatuh hati padanya? Padahal Kariri tak pernah melihat wajahnya dan tak mengetahui kondisinya yang sebenarnya.

“Ri, aku ingin perasaanmu padaku tetap kau simpan. Aku tak bisa menerimanya.”

“Tak apa-apa, Ra, aku cukup lega aku bisa mengatakan ini padamu.”

Dan detik terakhir yang mereka punyai membuat mereka harus memutuskan hubungan perbincangan melalui gelombang bunyi yang merambati udara. Aura terduduk dengan berbagai rasa yang berkecamuk dalam dadanya. Entah bahagia, entah duka, entah apa yang ia rasa tak mampu ia terjemahkan. Hanya yang ia tahu ia tak bisa menerima cinta dari Karir, sosok yang sesungguhnya telah membuat dirinya tak tenang akhir-akhir ini. Di tempat lain, Kariri menatap buku yang tengah ia pegang. Buku yang mengawali hubungannya dengan Kariri.


****

Senja di hari Minggu, Maret 2004

Sudah sejak lama aku mempunyai keinginan ini. Terpendam dalam hatiku. Beberapa kali ingin kuutarakan maksudku padanya, bibir ini rasanya jadi beku. Terkadang kata-kata itu sudah berada di ujung lidah tapi akhirnya tertelan kembali, tergantikan dengan kata-kata yang entah datang darimana. Aku menjadi bingung. Yang tahu apa yang kurasakan hanyalah kamu, lembaran putih yang dengan setia menerima goresan tinta dariku. Dan hari ini, ingin kubagi perasaanku pada Chika. Dia juga berhak tahu apa yang tengah aku rasakan.

“Chika, apa yang harus kulakukan? Aku benar-benar pengecut untuk ini.”

Aku menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tak gatal. Gadis manis di hadapanku tersenyum, menampakkan lesung pipi yang dimilikinya. Tambah manis si Chika.

“Aura nama gadis itu. Dia yang telah membuat hatiku terusik. Maafkan aku, Chika, baru sekarang aku mengatakannya pada kamu.”

Adikku tetap tersenyum. Tetap dengan lesung pipinya yang membuatnya tambah manis. Aku menunggu dia membuka bibirnya. Kulanjutkan curhatku ke dia.

“Chika, aku mengalami sebuah kilatan rasa yang terus-menerus berkilatan. Aku tak ingin terus-menerus tersiksa dengan semua ini. Tapi…”

Sejenak aku berpikir, dari semua yang kualami dengan Aura sejak awalnya hingga sekarang semua di luar dugaan. Aku tak pernah menyangka akan jatuh hati pada seorang gadis yang sama sekali belum pernah aku lihat wajahnya. Inilah skenario dari Yang Maha Mengatur, dan aku adalah tokoh dalam skenario-Nya yang tak bisa menolak perasaan ini. Tapi, setidaknya ada andil diri manusia juga dalam hal ini. Aku yang terus-menerus menghubunginya dan mendengarkan tiap cerita-ceritanya, sedang dirinya dengan terbuka menerima kehadiranku.

“Aku harus menghubunginya, Chika. Aku telah menghilang darinya. Berusaha menjauh darinya tapi semua ini membuatku semakin tersiksa. Chika…, aku membutuhkanmu…”

Chika masih diam saja. Lama-lama aku menjadi sebal melihatnya tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya memandanginya, begitu juga dengan Chika balas menatapku dari bingkai foto. Foto superbesar yang sedari tadi kupegang dan kuajak berbincang-bincang takkan pernah bisa menjawab segala pertanyaanku. Chika sudah pergi setahun yang lalu. Leukemia telah merenggutnya dari sisiku dan membuatku menjadi kesepian di rumah bersama Mama.


****


Ini adalah minggu terakir di bulan April, dua minggu setelah aku mengungkapkan perasaanku padanya. Aku menjadi tak tenang, kamu tahu itu kan. Tulisan-tulisanku di halaman putihmu menjadi tak keruan. Beberapa puisi tak pernah tuntas kutulis. Beberapa coretan menghiasimu. Aku gelisah. Aku berpikir, laki-laki macam apa aku ini? Aku terlalu hanyut dibawa perasaan. Mungkin karena tak ada sosok ayah di rumah ini sejak aku berusia sembilan tahun. Aku hanya punya Mama dan Chika yang kemudian pergi meninggalkan kami.

Aku semakin gelisah, kamu tahu itu. Aku gelisah karena tak pernah berhasil mendapatkan gelombang suara darinya. Tak kudengar lagi suara manisnya. Aura menjauh dariku. Aura telah membentengi dirinya dengan sikap penolakannya padaku. Aku terima itu tapi aku ingin mendengar suaranya, sekedar mengetahui bahwa ia baik-baik saja.

Tapi sampai detik ini, menit ini, jam ini aku tak jua menemukan suaranya.

****

Dia tak usah tahu akan kondisiku. Aku hanyalah seorang gadis buta penyakitan. Aku tak ingin mengecewakannya. Aku tak ingin menerima cintanya walau hatiku telah cenderung kepadanya. Aku tak ingin menyusahkannya jika kelak ia menjadi pemimpinku. Juga tak ingin membuatnya sedih jika aku harus pergi nantinya

Aku seperti gadis dewasa lainnya, yang ingin punya suami, punya anak, punya keluarga yang bahagia. Tapi, mimpiku selalu tergugat oleh bayang-bayang hitam dengan sosok berjubah yang membawa tongkat kematian. Aku menjadi ciut nyali dengan perasaan yang kumiliki padanya. Tak ingin menaruh harapan besar pada dirinya yang tak pernah tahu kondisiku sebenarnya.

Aku tak pernah menghapus foto dirinya yang tak bisa kutatap dengan mataku. Aku menatap dengan hatiku, dan kurasakan dia juga menatapku lembut dari foto yang ia kirimkan padaku. Mama berucap ia percaya Kariri akan menjadi laki-laki yang bisa menemaniku tapi aku tak ingin dia menderita karenaku. Maafkan, aku Kariri. Maafkan aku juga Mama, aku tak bisa meyakinkan diriku atas cinta ini.

Kutuliskan semua ini di setiap tuts keyboard braille-ku. Mungkin ini akan menjadi jalinan cerita yang apik untuk diabadikan dalam sebuah buku romantisme percintaan gadis buta dengan laki-laki bak pangeran.

****

Gadis manis berkulit putih itu terbaring di atas ranjang serba putih. Aroma obat tercium bila masuk ke ruangan empat kali empat meter tersebut. Matanya terbuka, menatap menerawang ke langit-langit kamar. Mata indahnya mengisyaratkan kerinduan akan dunia yang penuh warna, tak hanya hitam melulu. Mata yang indah itu tak bereaksi terhadap cahaya di kamar itu. Gadis manis itu buta. Kanker otak telah merusak saraf penglihatannya sehingga ia harus rela untuk tak dapat menikmati indahnya dunia dengan warna-warninya.

“Sayang, mau apa?” Wanita berjilbab coklat, yang ternyata Mama si gadis manis, dengan setia menemani anaknya yang beberapa jam lagi akan masuk ruang operasi.

“Ra, tak butuh apa-apa, Ma. Ra hanya minta Mama berdoa untuk Aura. Aura sedikit takut.”

“Tenang sayang, Mama selalu berdoa untuk Aura. Aura jangan takut. Allah selalu bersama kita jika kita ingat pada-Nya.”

Aura mengangguk pelan. Wajah putihnya semakin nampak pucat. Pelan-pelan dia melafalkan beberapa doa. Bibir mungilnya lirih berdzikir. Mamanya dengan tenang turut membimbing Aura untuk terus berdoa. Menanti saat-saat yang akan menentukan kondisi Aura untuk ke depannya. Hanya gadis dua puluh dua tahun itu yang ia miliki selain suaminya. Ia sangat menyayangi Aura, terlebih lagi ketika Aura harus menjadi gadis buta di masa-masa remajanya. Sudah sekali Aura menjalani operasi untuk mengangkat kanker otaknya. Namun, ternyata penyakit itu meninggalkan benalu yang terus tumbuh dalam otak anak gadisnya.

Bunyi jarum jam terdengar berdetak tiap detiknya. Membuat yang mendengarkannya seakan-akan dikejar oleh berbagai rencana yang harus dilaksanakan untuk detik berikutnya. Tapi bagi Aura tiap detik jarum jam yang tertangkap oleh telinganya menjadikan dirinya tenang karena bisa menjadi acuan dzikirnya. Ia pun bisa mengetahui tinggal berapa waktu lagi dia akan berpindah ruangan dari ruangan ini ke ruangan operasi yang disana penuh dengan peralatan operasi dan para dokter yang berjubah putih-putih dengan masker yang menutup separuh wajah mereka. Ia akan terbaring lemas setelah sebelumnya ia dibius dengan obat pemati rasa.

“Aura, sudah siap?”

Perawat telah menjemputnya. Di mata Aura, perawat itu serupa malaikat pencabut nyawa. Aura mengangguk. Dan ia pun didorong di atas ranjang menuju meja operasi.

****

Akhirnya aku tiba di Malang. Kota tempat tinggal Aura. Aku bahagia bisa melihat wajahnya. Dia sungguh gadis yang sempurna di mataku. Kutemukan telaga di bulat matanya, keteduhan yang kudambakan, kebeningan yang kuimpikan. Meski kedua bola matanya tak mampu menangkap cahaya, ia memiliki mata hati yang mampu melihat apapun dengan sempurna.

Setangkai mawar putih kurebahkan di atas segunduk tanah. Seucap doa kupanjatkan, semoga menjelma cahaya yang akan menerangi dunianya kini. Aku bahagia bisa melihat wajahnya. Meski hanya lewat selembar foto, yang dia titipkan kepada ibunya untukku.

Terima kasih Aura. Terima kasih untuk setiap kenangan yang telah engkau goreskan di hatiku. Sudah ya, aku harus melanjutkan hidupku. Kelak, jika aku merindumu, aku akan datang menjenguk makammu, sambil memandangi wajahmu dalam selembar foto yang kauberikan untukku. Sampaikan salamku untuk Chika jika kamu bertemu dengannya di alam sana.

Matahari bergerak perlahan menuju peraduannya, meninggalkan senja yang indah di bulan keenam ini.




Malang, 11 September 2006 22:00

Related Articles :


Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kata Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha