Cerpen Hafi Zha
Dimuat di Annida
Hidup seperti putaran waktu yang terus berdetak maju. Tiap yang telah dilewati tak bisa untuk disinggahi kembali. Sekedar membetulkan apa yang keliru atau pun menghapus yang tidak ingin dilanjutkan. Hidup akan terus berjalan hingga waktu berhenti berdetak. Detak yang sangat dekat. Sedekat nafas yang kita hirup dan hembuskan seiring aliran darah dalam tubuh kita. Membawa bulir-bulir oksigen untuk menggantikan noktah-noktah karbondioksida. Seterusnya, tubuh kita akan kembali punya mampu untuk berpikir, berjalan, tertawa, sedih, marah, dan kecewa.
Ah..., pikiranku melantur lagi. Selalu saja seperti ini. Buku yang kubuka ternyata tak bisa mengalihkan perhatianku. Kuedarkan pandangan menembus kaca yang tersiram basah hujan. Di luar sana langit belum juga berhenti menjatuhkan bilah-bilah air. Mereka berkejar-kejaran turun dari langit, membasahi tanah. Beberapa anak berlari-larian di bawah mereka. Wajah mereka riang. Sambil bersenandung, mereka berkecipak-kecipak dengan tangan terangkat ke atas. Seperti para penari yang menarikan tarian hujan menyambut kedatangan dewi hujan, pembawa kesuburan kepada para petani. Kuperhatikan ada bayangan wajah orang di kaca yang berembun. Dia tersenyum sembari memiringkan kepalanya yang berbalut kain putih ke kanan. Manis sekali senyumnya. Hei, itu kan aku!
Aku memukul-mukul kepalaku. Mencoba bercanda dengan diriku yang belakangan hari terlalu kaku dengan urat saraf yang tegang. Betapa tidak, aku menghadapi masalah keuangan yang pelik. Walaupun aku masih berstatus tanggungan orang tua, tapi aku berusaha melepaskan diri dari kungkungan mereka. Itu kulakukan sejak aku kuliah. Aku memberikan bimbingan belajar sehabis aku menuntut ilmu. Kesukaanku terhadap dunia menulis ternyata mampu membantuku untuk menutupi pengeluaranku yang lumayan besar di kota metropolitan ini. Tetapi, saat ini setelah aku menyelesaikan sarjana kependidikanku, ternyata cobaan tak semakin berkurang. Bukan hanya keuangan yang kembang kempis, tapi juga sikap kedua orang tua yang menginginkanku kembali.
“Kenapa kamu tak ingin kembali ke kampungmu, Lita?”
Suara ibu yang semakin renta menghentakku jauh ke dalam lorong jiwa. Suaraku tercekat di kerongkongan. Otakku berputar keras mencari jawaban atas pertanyaan ibu. Kebisuanku memecah tatkala kudengar ibu memanggil-manggil namaku.
“Lita…Lita…kamu masih mendengar suara ibu?”
“Eh, iya, Bu. Masih mendengar.”
Aku menelan ludah. Membasahi kerongkonganku yang tiba-tiba terasa kering. Begitu kuatnya kah wibawa seorang ibu hingga anaknya tak bisa berkata apa-apa, sekedar menjawab pertanyaannya.
“Lita, kamu kok diam lagi. Ada apa sebenarnya di sana, yang membuatmu tak ingin kembali ke sini?”
“Bu…” Terdengar aneh rasanya suaraku. Kuusahakan bersikap dan bersuara wajar. Aku tak ingin ketegangan kembali terjadi antara aku dan ibu. “Bu, Lita ingin berkarir di sini dulu. Bukannya apa-apa, tapi Lita merasa sudah menjadi bagian dari kota ini. Lita merasa nyaman di sini.”
“Jadi, kamu merasa asing di kota kelahiranmu sendiri. Merasa tidak nyaman di sini, Lita? Ibu tidak mengerti bagaimana cara berpikirmu. Tidak mengerti, Lita!”
Suara ibu meninggi. Penanda awal ketegangan. Aku harus segera meredakannya. Jika tidak ini seperti angin panas yang sedikit demi sedikit akan membakar diriku.
“Bu, kelak saya akan kembali ke sana. Saya mohon kepada ibu untuk memberikan saya kesempatan mengukir karir di sini. Saya ingin sukses, seperti yang ibu harapkan. Saya tidak ingin mengecewakan ibu.”
Memang, aku tidak ingin membuat kecewa ibu dan bapak. Mereka sudah bersusah payah menyekolahkan aku hingga mencapai sarjana. Dan aku juga tahu keinginan ibu yang begitu kuat untuk melihatku menjadi pegawai negeri. Ibu memang besar di lingkungan pegawai negeri. Hingga sekarang pun ibu masih setia dengan kepegawaian-negerinya. Menurut ibu, jika menjadi pegawai negeri hidup terjamin. Jaminan itu akan terus mengucur hingga anak cucu. Beda dengan bapak yang memberiku kesempatan penuh untuk menentukan jalan hidup. Bapak bukanlah pegawai negeri. Beliau hanya penjahit baju dan sesekali memberikan ceramah di pengajian.
“Tapi setidaknya kamu pulang dulu, Lita. Semenjak kamu diwisuda empat bulan yang lalu, kamu belum juga pulang. Biar kamu juga tahu kondisi kampung kita sekarang. Di sini banyak sekolah yang butuh guru. Ibu bisa carikan dari kenalan ibu di sekolah-sekolah biar kamu bisa mengajar.”
Ini dia pernyataan ibu yang keluar berkali-kali untuk membujukku pulang. Kemudahan yang didapat ibu dengan mempunyai banyak kenalan di berbagai instansi, memberikan peluang besar untuk ibu mencarikan kerja instant untukku.
“Bu, saya belum bisa pulang sekarang. Masih ada urusan yang belum selesai. Saya juga masih punya proyek dengan dosen saya yang belum bisa ditinggal. Jika di sini sudah beres, saya akan segera pulang.”
Itulah percakapan semalam tadi. Ibu masih bersikukuh dengan keinginannya. Aku harus pulang dan bekerja di sana. Tiba-tiba aku merasa letih. Sepertinya bulir-bulir oksigen semakin berkurang dalam otak dan tubuhku. Kantuk tak dapat kutahan, apalagi suasana dingin seperti ini nyaman untuk tidur.
***
“Sebaiknya kamu pulang dulu, Lita. Kamu utarakan dengan baik keinginanmu kepada ibu dan bapakmu.”
Pak Yudi memberikan saran yang berat untukku. Beliulah yang memberikanku kesempatan yang lebih untuk mengembangkan kemampuan menulisku. Proyek buku ajar dan segala macamnya juga beliau yang memberikan. Apalagi saat ini aku sudah bisa mengajar di sekolah lanjutan atas favorit di kota ini, juga berkat beliau. Semua hal itu jadi bagian dari banyak alasan yang mengharuskanku untuk bisa terus di sini. Dan tak ada alasan untuk aku harus segera pulang. Apalagi menghadapi ibu dengan keteguhan pendiriannya. Bapak juga tidak bisa berbuat apa-apa jika ibu sudah berkehendak.
“Pak, jujur saya katakan dari dalam hati belum tergerak untuk pulang. Di sini saya bisa berkembang, Pak. Jika di kampung saya merasa tidak terfasilitasi.”
Pak Yudi memandangku dari balik kacamatanya yang bertengger di batang hidungnya. Kualihkan pandanganku ke rak buku di belakang beliau. Mataku memang tertuju ke sana, tapi pikiranku berkhayal. Andai saja orang tuaku adalah Pak Yudi dan istrinya, mungkin aku akan lebih terarah dan berkembang lebih awal. Kulihat foto keluarga Pak Yudi yang ada di rak buku itu. Dua putrinya, Mbak Yuli dan Mbak Yuni, yang berdiri di belakang Pak Yudi dan istrinya tersenyum manis. Mereka hampir seumuran denganku tapi mereka lebih dulu bisa merasakan kesuksesan sekolah di negeri orang.
“Lita, saya ingin bertanya dan kamu jawab sejujurnya.”
Lamunanku memudar. Kembali aku bersitatap dengan Pak Yudi. Wajah beliau serius, tampak dari dahinya yang berkerut. Selalu Pak Yudi berusaha membantuku memecahkan segala masalah yang kadang aku ceritakan. Sikap terbuka seperti ini tak bisa kulakukan kepada kedua orang tuaku. Semacam ada tembok kebekuan jika aku bersama ibu dan bapak.
“Tentang apa, Pak?”
“Apa kamu tidak merindukan kedua orang tuamu?”
Deg.
Jantungku serasa berhenti. Aku tidak menyangka Pak Yudi akan mengunci mulutku dengan pertanyaan ini. Aku teringat pembicaraanku dengan Avi seminggu yang lalu. Saat itu ia begitu gembiranya karena ingin pulang kampung setelah sebulan tidak bertemu dengan keluarganya.
“Mbak Lita, aku pulang…. Akhirnya aku terbebas dari tumpukan diktat kuliah. Aku rindu ayah, rindu mama, rindu semuanya. Mbak Lita tidak ingin pulang?”
Kegembiraannya meluap membanjiri diriku. Seketika dia bertanya seperti itu, aku terhempas dalam bisu.
“Belum waktunya pulang, Vi. Lagipula tidak ada alasan yang sangat kuat untuk aku pulang.”
“Sekedar rindu pada orang tua Mbak?”
Rindu? Satu kata itu terus menghantuiku hingga hari ini. Aku tak bisa jujur pada orang lain bahwa tak ada rindu setitik pun dalam hatiku pada kampung halamanku, pada orang tuaku. Aku berusaha untuk menumbuhkan rindu itu sejak Avi bertanya hal itu kepadaku. Semakin aku berusaha, semakin aku tak ingin pulang. Dan saat ini, Pak Yudi menanyakan hal yang sama seperti yang ditanyakan Avi.
“Lita, kenapa kamu diam seribu bahasa? Kamu rindu ibu bapak?”
“Begini, Pak. Kerinduan itu mungkin ada, Pak. Tapi jika kerinduan itu bisa disalurkan ke hal yang lebih bermanfaat di sini, mengapa harus bersusah-susah pulang. Saya kira jika saya di sini untuk sementara waktu tentunya akan lebih baik. Dari pada saya harus memaksakan diri untuk pulang. Apalagi dalam kondisi saya yang masih tidak ingin menghadapi ibu saya, Pak.”
Entah apa yang ada dalam pikiran Pak Yudi ketika aku berujar tadi. Selama aku berbicara tadi, kepala beliau manggut-manggut. Mungkin berusaha mencerna kata demi kata yang keluar dari mulutku. Aku sudah tak dapat berkonsentrasi berdiskusi proyek buku ajar di Rumah Pak Yudi. Dengan penuh pengertian, Pak Yudi mengantarkanku hingga gerbang pintu halaman rumah beliau. Sore itu tampak kelabu di mataku. Bukan karena gerimis yang tiba-tiba menghias alam, tapi karena jauh dalam hatiku awan kelabu bersetia mengirimkan gerimisnya ke telaga mataku.
***
Sebulan telah berlalu sejak ibu memintaku untuk pulang. Di luar tampak berjalan lancar dan seperti tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, ada gelombang yang mengirimkan badai ke dalam jiwaku. Ia terus menghantam karang-karang yang perlahan-lahan rapuh lalu hancur. Aku bersusah payah membangunnya kembali agar tampak tegar . Apalagi hal ini kubutuhkan untuk bertahan di kota besar ini. Kota yang penuh persaingan dan rentan akan stres. Tak ada lagi kabar yang kuterima dari rumah. Aku juga tak ingin lebih dulu menghubungi rumah.
Hari-hari kujalani dengan sangat lambat. Kesunyian menyergapku, apalagi Avi, gadis manis yang selalu ceria menghiburku, tak ada lagi di dekatku. Ia pergi bersama mimpinya yang telah terwujud menjadi pengantin kecil.
Kusibukkan diri dengan aktivitas mengajarku, menulis buku, dan melatih drama. Di sel-sela gerimis September aku berlari menghindar senyap yang mengurungku. Setiba di kamar kosku, aku mengambil diary usang yang kutulis sejak aku duduk di bangku sekolah pertama. Entah dorongan dari mana aku tiba-tiba ingin membacanya kembali. Kubuka satu persatu halaman yang warnanya tak seputih dulu. Seolah luka lama yang kembali luka, begitu perih dan pedih.
“Kamu jangan jadi wanita pemalas, Lita. Jangan jadi wanita lemah. Sakit yang kamu rasa belum seberapa dibanding sakit yang ibu rasakan ketika melahirkanmu. Ayo, berangkat sekolah! Kamu tahu ibu bekerja keras supaya kam bisa sekolah. Bapakmu tidak bisa membiayai hidup kita hanya dengan menjahit.”
“Tapi, Bu, Lita lemas, pusing. Lita tidak kuat berangkat sekolah, Bu. Lita mohon, Bu, tuliskan surat ijin untuk Lita.”
“Kamu jangan lemah begitu. Kamu harus menghargai biaya yang sudah ibu keluarkan untuk sekolah kamu. Jangan pernah kalah dengan sakit.”
Akhirnya, aku pun berangkat sekolah dengan kondisi badan yang lemah. Ibu berusaha menguatkan aku, sedangkan bapak hanya diam di ruangan jahitnya. Aku tidak menangis. Juga tidak membangkang. Aku turuti semua yang ibu inginkan. Seperti yang ibu katakan ketika malam hari aku hendak menuliskan kejadian hari ini.
“Kamu harus rajin belajar. Jangan pernah menyerah pada keadaan. Ibu berusaha keras supaya kamu nanti bisa kuliah. Kelak, setelah kuliah kau harus berupaya untuk bisa dapat kerja. Jangan pernah pulang jika kamu belum berhasil membanggakan dirimu, juga orang tuamu. Jangan lemah terhadap perasaan. Ingat itu, Lita, ingat baik-baik pesan ibu.”
Kuhapus air mata yang tak sadar telah membasahi kedua pipi. Kertas halaman buku yang kubaca basah, memudarkan tinta yang tergores di sana. Aku tak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Mungkin aku tak sekuat yang ibu minta sewaktu dulu. Mungkin juga aku terlalu keras dan kuat untuk bisa berdiri sendiri, tanpa butuh orang lain. Aku terisak di antara deras hujan yang menghantam atap kamar, sehingga menenggelamkan suara tangisku. Aku tak mau ada yang tahu aku telah membuat sungai air mata di bawah hujan September. Aku tak akan beranjak sebelum noktah-noktah karbondioksida dalam tubuhku berganti menjadi bulir-bulir oksigen. Hingga tubuhku benar-benar kuat. Dan aku bisa menjalani putaran waktuku yang masih berdetak.
***
You are Here: Home > Rindu Berlumpur
Senin, 19 Juli 2010
Rindu Berlumpur
Label: Cerpen, Cerpen Remaja, SASTRA
0 komentar:
Posting Komentar