Esai Hafi Zha
Sastra, khususnya novel (fiksi), di samping sering disebut dunia dalam kemungkinan, juga dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal ini disebabkan dunia yang diciptakan, dibangun, ditawarkan, diabstraksi, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata, lewat bahasa. Struktur novel dan segala sesuatu yang dikomunikasikan senantiasa dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang (Fowler dalam Nurgiyantoro, 1995:272). Untuk memperoleh efektivitas penungkapan, bahasa dalam sastra disiasati, dimanipulasi, dan didayagunakan secermat mungkin sehingga tampil dengan sosok yang berbeda dengan bahasa nonsastra.
Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa (yang mengandung unsur) emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan denotatif. Kadar emosi dan makna konotasi dalam bahasa sastra lebih dominan daripada dalam bahasa nonsastra.. Hal itu disebabkan pengungkapan dalam sastra mempunyai tujuan estetik di samping sering menuturkan sesuatu secara tidak langsung. Ciri lain dari bahasa sastra, menurut kaum Formalis Rusia, adalah ciri deotomisasi, penyimpangan dari cara penuturan yang telah bersifat otomatis, rutin, biasa, dan wajar. Penuturan dalam sastra selalu diusahakan dengan cara lain, cara baru, cara yang belum pernah dipergunakan orang. Sastra mengutamakan keaslian pengucapan, dan untuk memperoleh cara itu mungkin sampai pada penggunaan berbagai bentuk penyimpangan, deviasi bahasa.
Pengarang melakukan penyimpangan kebahasaan, tentunya, bukan semata-mata bertujuan untuk ingin aneh, lain daripada yang lain, melainkan dimaksudkan untuk memperoleh efek keindahan yang lain di samping juga ingin mengedepankan dan mengaktualkan (foreground) sesuatu yang dituturkan. Pengarang merasa lebih pas jika idenya diungkapkan dengan cara itu, bukan dengan cara lain yang telah biasa. Dengan demikian, bahasa sastra bersifat dinamis, terbuka terhadap adanya kemungkinan penyimpangan dan pembaruan, namun juga tak mengabaikan fungsi komunikatifnya.
Pilihan kata (diksi) yang digunakan dalam novel adalah salah satu tanda-tanda kebahasaan yang dikaji oleh bidang stilistika. Kajian tentang pilihan kata selain berpusat pada kata atau kata-kata yang digunakan dalam teks sastra (novel) juga memperhatikan hubungan kata-kata itu dengan unsur lain dalam satuan teksnya. Mengingat bahwa novel adalah ‘dunia dalam kata’, pemilihan kata atau kata-kata tentulah melewati pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk memperoleh efek tertentu, yaitu efek estetis, yang secara sederhana dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna.
Dalam Saman terdapat pemilihan dan penggunaan kata dalam konteks taklazim. Hal ini terkait karena Saman memuat persoalan yang berkaitan dengan hubungan laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini tampak bahwa ada kecenderungan faham feminisme di dalamnya. Dalam hal ini konsep feminisme, seperti yang dirumuskan oleh Kamla Bhasin dalam Dzuhayatin (1989:16) dipahami sebagai sebuah ideologi yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat dan di tempat kerja, serta tindakan sadar oleh perempuan dan laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Secara historis, ideologi feminisme muncul di Barat pada abad ke-18 (Dzuhayatin, 1998:16). Pandangan feminisme yang menolak dominasi pria itu dapat dilihat pada sikap dan perilaku tokoh wanita dalam Saman. Sikap Shakuntala yang menolak membubuhkan nama ayahnya di belakang namanya menunjukkan adanya penolakan Shakuntala terhadap dominasi pria.
Jika dicermati lebih jauh, ternyata penggunaan kata-kata dalam Saman juga mendukung semangat ideologi tersebut, misalnya dalam hal penggunaan kata perkosa. Dalam konvensi awam, si pemerkosa biasanya adalah laki-laki dan yang diperkosa adalah perempuan. Di dalam Saman dikisahkan seorang gadis sakit ingatan berusia dua puluh satu tahun yang bernama Upi, gadis itu diperkosa. Demikian pula yang terjadi pada istri Anson. Ketika sedang berembug di salah satu tempat, tiba-tiba penduduk dikejutkan oleh berita bahwa istri Anson diperkosa dua laki-laki. Yang memperkosa laki-laki, sedangkan yang diperkosa adalah perempuan. Artinya, laki-laki adalah subjek, sedangkan perempuan adalah objek. Artinya, laki-laki selalu ‘mendominasi’ perempuan.
Ternyata dalam Saman tidak hanya ingin berkisah tentang itu saja bahwa laki-laki selalu ‘mendominasi’ perempuan, tetapi lebih dari itu Saman ingin menolak pandangan itu; Saman ingin menyeimbangkan keduanya. Hal itu diperkuat dengan menyimak penggunaan kata perkosa sebagaimana terlihat pada bagian akhir cerita.
Pada bagian akhir cerita diutarakan keinginan Yasmin untuk memperkosa Saman, seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Jakarta, 20 Juni 1994
Saman,
Tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.
New York, 21 Juni 1994
Yasmin,
Ajarilah aku. Perkosalah aku.
(Saman hlm.196—197)
Yasmin, seorang perempuan, menyatakan keinginannya untuk memperkosa Saman, seorang laki-laki, yang dapat ditafsirkan bahwa wanita menyatakan keinginannya menjadi subjek, sedangkan laki-laki sebagai objek. Keinginan Yasmin ternyata memperoleh persetujuan Saman, sebagaimana terlihat pada kutian berikutnya. Hal itu dapat ditafsirkan bahwa ada semacam harapan agar upaya menyeimbangkan kedudukan laki-laki – perempuan itu mendapat dukungan dari pihak kaum laki-laki.
Contoh lain yang menunjukkan usaha menundukkan dominasi pria dalam Saman terlihat dalam pengakuan Shakuntala pada kutipan berikut.
Padahal sementara itu diam-diam aku dan Cok mulai saling membagi pengalaman bercumbu kami, saling kros-cek bentuk dan zona erotis laki-laki yang kami pacari.
(Saman hlm.150)
Pilihan kata laki-laki yang kami pacari menunjukkan bahwa sebagai perempuan, merekalah subjek karena mereka yang memacari, sementara laki-laki menjadi objek karena merekalah yang dipacari.
Penggunaan kata perawan, sebagaimana terlihat pada kutipan berikut juga memperjelas pengungkapan ide feminisme dalam Saman.
…Saya akan menjawab, teman-teman saya bilang, pengalaman pertama jauh lebih indah dengan pria yang matang. Lelaki perawan, begitu kata mereka, tak pernah tenang. Selalu gugup dan terburu-buru.
(Saman hlm.29—30)
Menurut KBBI (1991:752), perawan bermakna anak perempuan yang masih murni, yang belum pernah bersetubuh dengan laki-laki. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa kata perawan selalu berkaitan (berkolokasi) dengan orang yang berjenis kelamin perempuan, misalnya dalam ungkapan gadis perawan. Akan tetapi, pada kutipan di atas ternyata kata perawan dilekatkan pada jenis kelamin laki-laki, lelaki perawan. Ungkapan lelaki perawan yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah laki-laki yang belum pernah bersetubuh dengan perempuan. Ungkapan itu dikemukakan oleh mereka, teman-teman Laila, yaitu Shakuntala, Cok, dan Yasmin, yang berjenis kelamin perempuan ketika membicarakan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Kata perawan biasanya yang biasanya dilekatkan pada jenis kelamin perempuan, dilekatkan pada jenis kelamin laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan bukan saja ingin sejajar dengan laki-laki, melainkan laki-laki pun hendaknya menyejajarkan diri dengan perempuan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa usaha menundukkan dominasi laki-laki itu juga terlihat dalam bahasa yang dipakai oleh tokoh perempuan, terutama ketika membicarakan hubungannya dengan laki-laki.
Di samping terdapat penggunaan kata-kata sebagaimana diuraikan di atas, di dalam Saman juga terdapat kosakata yang jarang digunakan dalam tuturan, seperti mengerisut, lisut, menyesah, merancap, meraholkan, termanyun, selarit, kelimun, tubir, lazuli, dan kata-kata arkhais, misalnya terbis dan sengkarut. Meskipun kata-kata tersebut jarang ditemui pemakaiannya dalam berbahasa, tetapi kehadirannya tidak mengganggu, bahkan menambah keindahan bunyi, sebagaimana terlihat pada kutipan berikut.
Dari ketinggian dan kejauhan, sebuah rig nampak seperti kotak perak di tengah laut lapis lazuli. Helikopter terbang mendekat dan air yang semula nampak tenang sebetulnya terbentuk dari permukaan yang bergolak, kalem namun perkasa, seperti menyembunyikan sesuatu yang dalam.
(Saman hlm.7)
Pada kutipan di atas terdapat sebuah kata yang jarang digunakan dalam berbahasa, yakni lazuli. Kata lazuli berpadanan maknanya dengan lazuardi yaitu ‘warna biru muda pada langit’. Meskipun pada kenyataannya kata lazuardi lebih dikenal daripada lazuli, pengarang sengaja menggunakan kata lazuli. Hal ini terutama dimaksudkan untuk menimbulkan perulangan bunyi l sebagaimana terlihat pada kelompok kata laut lapis lazuli. Penggunaan kata lazuli pada kutipan di atas tidak menyulitkan pembaca untuk memahami maknanya karena beranalogi pada kata lazuardi yang maknanya sudah diketahui, makna kata lazuli dapat dipahami.
Pada kutipan berikut kata arkhais juga dimanfaatkan untuk keperluan keindahan bunyi.
Aspal minyak bumi yang licin mulai berganti jalan bebatuan di tanah terbis.
(Saman hlm. 68)
Terbis adalah salah satu kata arkhais yang sama maknanya dengan lereng. Jadi, tanah terbis adalah tanah lereng yaitu tanah yang landai atau miring. Pada kalimat di atas dipilih kata terbis agar beraliterasi dengan kata sebelumnya, yaitu tanah. Perulangan bunyi konsonan t pada tanah terbis itu menimbulkan efek kemerduan bunyi.
Di samping untuk mencapai efek keindahan, penggunaan kata-kata/ungkapan yang jarang digunakan itu diantaranya berfungsi memperjelas pengungkapan. Hal itu, misalnya, terlihat pada penggunaan kata mengerisut pada kutipan berikut.
Wis terbangun oleh bulu tengkuknya yang menegang. Kulit di leher dan bahunya mengerisut seperti tersentuh dingin. Rambut-rambut halus di sana berdiri, seperti pada seekor kucing yang siaga di awal perkelahian, sehingga sentuhan yang paling lembut pun terasa oleh bulu-bulu yang telah menjadi waspada yang akan memberitahukan padanya bahaya dalam geraknya yang paling mula.
(Saman hlm.55)
Kata kerisut artinya berkerut-kerut, lesut, atau kisut (KBBI, 1991:488). Jadi, mengerisut bermakna ‘mengerut’, ‘melesut’, atau ‘mengisut’. Dalam tuturan di atas dipilih kata mengerisut karena kata tersebut lebih dapat mengintensifkan makna; bagaimana proses berkerutnya kulit di leher dan bahu Wis yang tersentuh dingin menjadi lebih jelas.
Berdasarkan hal-hal di atas, penggunaan kata dalam konteks taklazim berhasil mempertegas gagasan feminisme. Kosakata yang jarang dipakai juga turut digunakan untuk menambah keindahan bunyi dan memperjelas pengungkapan. Demikianlah dunia kata dalam novel Saman karya Ayu Utami.
0 komentar:
Posting Komentar