Novel Hafi Zha
Pagi itu, Bu Sekar memberikan soal matematika kepada murid-muridnya di papan
tulis. Setiap anak gelisah menunggu giliran maju ke depan kelas.
Dari tiga puluh murid yang duduk di kelas lima, ada satu anak laki-laki yang tidak resah. Wajahnya tenang. Bahkan menampakkan keceriaan. Ia masih sempat bersenandung kecil. Teman sebangkunya, seorang anak laki-laki berbadan gempal, menyikut perutnya.
"Aduh… sakit tau! Kenapa sih?”
Syafi memegangi perutnya sambil meringis kesakitan. Teman yang menyikutnya tadi tertawa kecil. Mereka berdua duduk di barisan paling belakang, karenanya Bu Sekar tak mendengar kegaduhan mereka. Ia sedang memerhatikan salah seorang murid yang mengerjakan soal matematika di papan tulis.
"Hehe … maaf Syafi, aku nggak sengaja … nggak sengaja menyikut kamu keras. Heee ....” cengir Nabil sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Uh … aku balas sikut, mau?”
"Ups … jangan, dong. Kejahatan nggak boleh dibalas dengan kejahatan. Betul?”
"Terus, kamu mau dibalas dengan apa?”
"Ya dibalas dengan kebaikan, dong .... Pekerjaanku kan belum selesai dua nomor, aku pinjam punyamu, dong, Syaf.”
Wajah Nabil, bocah gendut berpipi bakpao itu memelas minta dikasihani. Syafi yang melihatnya merasa kesal, karena ia tahu Nabil pandai berakting.
"Ah … nggak usah akting kayak gitu deh, Bil. Aku nggak bakalan minjemin pekerjaanku. Itu balasan yang setimpal buat anak pemalas seperti kamu,” balas Syafi sambil menjulurkan lidahnya.
Bibir Nabil manyun. Ia kecewa dengan sikap Syafi. Ia kembali menekuni dua soal yang belum ia selesaikan. Berkali-kali ia menggaruk kepalanya yang gatal gara-gara harus memikirkan angka-angka di lembar soalnya. Ia kebingungan.
Sementara itu, Tebing yang duduk di dekat jendela terus saja memandang keluar. Ia begitu asyiknya sehingga lupa pekerjaan matematikanya. Padahal, masih banyak soal yang belum ia
kerjakan. Zavira yang duduk di belakangnya menegur Tebing.
"Tebing … Tebing … kamu ngeliatin apa? Tebing!!”
Zavira memanggil Tebing setengah membentak. Tebing melihat Zavira sebentar. Kemudian ia kembali memandang keluar jendela kelas.
"Aku lagi memerhatikan rumah itu,” jawab Tebing sambil menunjuk ke arah rumah tua di seberang lapangan belakang sekolah mereka.
"Yang mana, Bing? Yang itu?” telunjuk Zavira mengarah ke sebuah rumah.
Tebing mengangguk. Matanya tetap tertuju ke rumah tua itu. Zavira lalu berdiri di samping Nabil. Sebelumnya, dia sudah waswas kalau-kalau Bu Sekar memergoki mereka. Ternyata Bu Sekar sedang serius, mengurus siswa lain.
Zavira ikut serius mengamati rumah tua itu. Dia mengeluarkan buku saku dan pulpennya. Sibuk mencatat sesuatu di dalam buku itu. Entah apa ....
"Rumah siapa ya, Bing?” gumam Zavira.
"Entahlah... yang jelas aku melihat ada cahaya dari salah satu jendelanya. Berarti rumah itu ada yang menghuni, Ra,” jawab Tebing dengan kening yang berkerut.
Zavira memandangi Tebing seperti berusaha meyakinkan dirinya kalau Tebing tidak sedang berimajinasi. Ia kemudian memandangi rumah tua itu lagi. Kali ini lebih teliti. Benar juga yang dikatakan Tebing, ada cahaya dari salah satu jendelanya.
Rumah itu terlihat sangat tak terawat. Seperti tak berpenghuni. Warna cat temboknya sudah tidak jelas, apakah warna putih, kuning, atau bahkan tidak berwarna. Halaman rumahnya ditumbuhi semak yang menjalari pagar dan tembok rumah. Sekilas rumah tua itu tampak mengerikan.
Zavira kembali mencatat apa yang dilihatnya. Ia juga menulis komentar Tebing terhadap rumah itu. Melihat kebiasaan Zavira yang teliti, tak salah memang jika ia ditunjuk menjadi sekretaris kelas.
Zavira memasukkan buku kecilnya ke saku bajunya. Ia menoleh ke arah meja Bu Sekar untuk memeriksa. Terlambat, saat itu Bu Sekar telah memergoki kelakuan mereka.
Bu Sekar rupanya sengaja tak menegur kelakuan mereka. Murid-murid yang lain hanya diam. Tak berani buka suara. Mereka dapat merasakan kemarahan Bu Sekar dari raut wajahnya. Zavira pelan-pelan kembali ke bangkunya. Meninggalkan Tebing yang belum menyadari bahaya yang sedang mengintainya.
"Ra … aku ingin tahu, siapa yang tinggal di sana. Kamu juga kan, Ra?” tanya Tebing menoleh ke arah Zavira.
Ia melihat Zavira sudah kembali ke bangkunya. Zavira memberi isyarat agar Tebing kembali duduk. Namun, Tebing tak mengerti.
"Apa, Ra? Kamu juga ingin tahu pemiliknya, Ra? Apa sih, Ra?!” tanya Tebing kebingungan.
Zavira terus memberi isyarat kepada Tebing. Ia menunjuk-nunjuk Bu Sekar yang sudah berdiri di dekat meja Tebing. Zavira sudah kehabisan akal untuk menyadarkan Tebing.
Zavira memejamkan matanya, tanda ia menyerah. Wajah Bu Sekar di benak murid-muridnya seperti daging panggang yang baru masak. Ada asap mengepul, dan ada sisa-sisa bara api yang panas.
Semua sudah tahu sikap Bu Sekar kalau ada muridnya yang tidak disiplin. Guru cantik itu bisa bersikap lembut juga tegas. Tergantung sikap murid-muridnya. Saat itu di mata Zavira dan teman-temannya, Bu Sekar menjelma jadi seekor naga yang siap memuntahkan api dari mulutnya kepada Tebing.
"Tebing, kamu sedang apa di situ?!” tanya Bu Sekar dengan suara yang tegas.
Tebing seperti mendengar halilintar di siang bolong. Ia berbalik pelan. Bu Sekar telah berdiri di hadapannya.
"Anu… Bu. Iiii… itu, Bu Guru, ada … ada rumah tua di sana. Saya sedang mengamatinya, Bu Guru,” ucap Tebing gugup dengan senyum yang dipaksakan.
Tebing menudingkan tangannya keluar jendela. Bu Sekar melihat apa yang ditunjuk Tebing. Alisnya melengkung ke atas. Tebing melihat perubahan wajah Bu Sekar. Ia berharap Bu Sekar juga tertarik dengan penemuannya. Sebentar kemudian, Bu Sekar berbalik menghadap murid-muridnya.
"Apakah Bu Guru menugasi kalian untuk mengamati rumah itu, anak-anak?” tanya Bu Sekar kepada teman-teman Tebing.
"Tidak, Bu Guru!” jawab anak-anak serentak. Tebing merasa tersindir oleh pertanyaan Bu Sekar. Ia menunduk dalam-dalam. Merasa setengah bersalah.
"Bu Guru ingin tahu, apa pekerjaan matematikamu sudah selesai, Tebing?”
Bu Sekar mengambil buku tugas matematika Tebing. Buku itu ia periksa. Saat memeriksa pekerjaan Tebing, wajah Bu Sekar berubah-ubah. Kadang alisnya terangkat ke atas, kadang berkerut, bibirnya manyun, juga kadang tertarik ke bawah. Tebing tak berani memandang, ia terus menundukkan wajahnya.
"Tebing, tugas kamu belum selesai, tapi kamu sudah berulah aneh-aneh. Sekarang hukuman apa yang kamu inginkan? Hukuman karena kamu tidak mengerjakan tugasmu!”suara Bu Sekar lebih tinggi dibanding sebelumnya.
Tebing bingung mencari hukuman yang tidak berat baginya. Tapi di sisi lain, ia ingin hukuman yang bisa membuat senang hati Bu Sekar. Apa ya? Gumam Tebing dalam hati.
"Ayo, Tebing, hukuman apa yang kamu inginkan? Kamu sudah membuang waktumu dan teman-temanmu untuk belajar matematika.”
Bu Sekar terus mendesak Tebing. Sebenarnya dalam benak Tebing, ia ingin sekali menceritakan apa yang dilihatnya. Tetapi, itu bukanlah hukuman yang tepat.
"Bu Guru, saya akan mengerjakan sisa latihan soal matematika di buku sampai selesai. Besok saya akan serahkan kepada Bu Guru,” kata Tebing mantap tanpa sedikit keraguan. Dalam hatinya ia bangga karena bisa membuat Bu Sekar terpana. Buktinya, guru muda itu tersenyum tipis.
Murid-murid yang lain saling berpandangan. Mata Zavira melotot tidak percaya. Begitu juga dengan Syafi dan Nabil. Mereka tak menyangka Tebing memilih hukuman itu. Biasanya Tebing lebih rela disuruh lari mengitari lapangan daripada harus mengerjakan soal matematika.
Nabil memandangi Syafi. Menunggu komentar yang akan keluar dari mulut sang jagoan matematika di kelas mereka itu.
"Ck … ck …, Tebing sedang kemasukan ruh profesor kali, ya? Dua puluh soal mau dikerjain dalam satu malam?! Bukan main!” kata Syafi, matanya tak lepas memandangi Tebing.
Nabil angguk-angguk mendengarkan komentar Syafi. Ia turut berdecak kagum. Mereka semua tahu, Tebing tidak akrab dengan angka-angka. Jangankan mengerjakan soal matematika, disuruh menghapal nomor telepon teman-temannya saja dia sudah pusing.
"Baik, Bu Guru setuju saja karena kamu sendiri yang memilih. Besok jangan lupa serahkan pekerjaanmu ke kantor guru.”
"Baik, Bu Guru.”
Sesaat setelah berkata, Tebing seperti tersadar dari mimpi. Tubuhnya lemas. Di atas kepalanya seperti ada bintang-bintang yang berputar.
Matanya memandang sayu ke arah temannya satu per satu, seolah bertanya, "Siapa yang bisa menolongku mengerjakan soal-soal sulit itu?”
You are Here: Home > Rahasia Rumah Kepompong Bab 1: Dua Puluh Soal Matematika
Kamis, 12 Agustus 2010
Rahasia Rumah Kepompong Bab 1: Dua Puluh Soal Matematika
Label: Novel, Novel Anak
0 komentar:
Posting Komentar