Cerpen Hafi Zha
Teng … teng … teng ….
Lonceng tanda waktunya pulang berdentang. Dengan perasaan tak sabar Pinkan pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan Pinkan berlari. Walhasil, sesampainya di rumah ia tampak kelelahan. Keringat bercucuran di dahinya. Nafasnya ngos-ngosan. Hidungnya kembang-kempis. Namun, senyumnya tersungging di bibirnya. Ada apa gerangan?
Pinkan tak langsung masuk rumah. Ia kini sedang membuka kotak surat yang ada di halaman rumah. Diambilnya tumpukan surat dari dalam kotak. Diperiksanya satu per satu dengan tangan mungilnya. Ia melonjak-lonjak kegirangan ketika ada surat bersampul merah muda. Surat itu bertuliskan namanya di bagian penerima.
“Hore …! Ada surat buat aku!”
Dikembalikannya tumpukan surat tadi ke dalam kotak surat. Pinkan lalu masuk rumah. Dipandanginya surat itu sambil ia timang-timang. Ia terlalu gembira. Sampai-sampai hampir saja ia bertabrakan dengan Bunda.
“Aduh …!” serunya sambil memungut suratnya yang terjatuh.
“Pinkan, kalau jalan yang benar dong, Nak,” kata Bunda.
“Maaf, Bunda. Pinkan nggak sengaja. Soalnya Pinkan lagi senang, Bunda,” ujar Pinkan dengan mata berbinar.
Bunda melihat ada surat di tangan Pinkan. Bunda pun mengerti mengapa Pinkan sedang senang.
“Oh, Pinkan dapat surat lagi ya. Pantas anak Bunda jalannya sambil senyum-senyum. Sekarang dapat surat dari mana, Nak?” tanya Bunda sembari mengambil surat dari tangan Pinkan.
“Dari Banjarmasin, Bunda,” jawab Pinkan.
“Hm … kira-kira teman baru kamu ini akan cerita apa ya, Nak?” tanya Bunda seraya mengembalikan surat itu kepada Pinkan.
“Pinkan juga penasaran, Bunda. Makanya Pinkan sudah nggak sabar pengen baca.”
“Kalau begitu kenapa nggak dibuka saja suratnya? Kita baca sama-sama,” ajak Bunda.
Tanpa disuruh dua kali, Pinkan langsung menyobek amplop surat. Wah … kertas suratnya juga berwarna merah muda. Sama dengan warna amplopnya. Pinkan suka sekali melihatnya. Warna itu memang kesukaan Pinkan. Apalagi ketika melihat tulisan si pengirim surat. Rapi sekali!
“Nama pengirim suratnya Azizah, Bunda,” kata Pinkan sambil menarik tangan Bunda untuk duduk.
“Nama yang cantik. Apa isi suratnya, Nak? Coba kamu baca,” ujar Bunda.
Pinkan pun mulai membaca. Bunda mendengarkan dengan penuh perhatian. Surat dari Azizah ditulis sebanyak tiga halaman. Ia bercerita tentang pasar terapung yang ada di sungai Barito. Ada foto Azizah juga di dalamnya. Di foto itu, Azizah yang memakai baju sasirangan sedang duduk di atas kalutuk. Rambut Azizah keriting. Kulitnya kuning. Ia tampak seperti boneka.
“Azizah cantik ya, Bunda?” ujar Pinkan.
“Anak Bunda juga cantik. Malah tambah cantik kalau ganti baju terus makan,” rayu Bunda dengan senyumnya yang lembut.
Pinkan senang sekali dipuji Bunda. Dipeluk dan diciumnya Bunda. Surat Azizah ia masukkan ke dalam amplopnya. Pinkan pun bergegas masuk kamar sambil bersenandung riang. Bunda yang melihatnya turut bahagia. Sahabat pena anaknya kini bertambah lagi.
***
Tok … tok … tok …
“Pinkan …,” panggil Bunda lembut di depan pintu kamar Pinkan.
Tak ada sahutan dari dalam. Bunda pun membuka pintu kamar Pinkan. Dilihatnya Pinkan sedang tengkurap di atas ranjang yang spreinya berwarna merah muda. Ia bertopang dagu. Bunda berjalan mendekati Pinkan. Duduk di sisinya sambil membelai rambut Pinkan yang sebahu.
“Pinkan, jangan sedih terus dong. Bunda kan kangen dengan senyum Pinkan yang manis,” hibur Bunda.
“Tapi Pinkan sedih banget, Bunda. Pinkan kesal dengan Azizah. Dia kok nggak balas-balas surat Pinkan lagi, Bunda,” rajuk Pinkan yang lalu duduk sambil memeluk bantal pinknya. Pinkan mulai mengambek.
Memang Azizah lah yang sering berkirim-kiriman surat dengan Pinkan dibanding teman-teman pena lainnya. Setiap berkirim surat Azizah pasti tak lupa menyelipkan foto untuk Pinkan. Bahkan foto dirinya dengan keluarganya. Pinkan jadi sangat akrab dengan Azizah walau hanya lewat surat.
“Pasti Azizah punya alasan kenapa ia tak berkirim surat, Nak,” kata Bunda lembut.
“Tapi kok lama banget, Bunda. Pinkan sudah kirim surat berkali-kali, tetap saja nggak dibalas,” kata Pinkan dengan mata yang berkaca-kaca.
“Ya, kamu tunggu saja lagi, Nak. Mungkin orang tua Azizah menyuruhnya untuk belajar rajin. Kurangi surat-suratan dulu karena mau ujian. Kalian kan sebentar lagi akan ujian naik kelas lima. Iya nggak?”
“Nulis surat kan nggak lama, Bunda. Lagian kan ada waktunya istirahat. Nggak belajar melulu,” jawab Pinkan. Bunda geleng-geleng kepala mendengarnya.
“Mungkin dia sudah malas nulis surat,” gumam Pinkan.
“Hush … Pinkan nggak boleh berprasangka jelek seperti itu. Kalau Pinkan disangka buruk sama teman-teman, Pinkan sedih nggak?” tanya Bunda memberi nasihat.
Pinkan mengangguk. Kepalanya tertunduk. Matanya memandangi surat Azizah yang terakhir ia terima. Ingin sekali ia meremasnya dan membuangnya. Tapi ia sangat suka dengan isi surat itu. Pinkan mematung di tempatnya. Pikirannya melayang kepada Azizah. Ingin sekali ia pergi menemui Azizah. Supaya tahu penyebab Azizah tak membalas suratnya lagi.
“Mungkin Azizah sedang sakit. Sehingga nggak bisa balas surat kamu,” kata Bunda seraya beranjak dari duduknya. Pinkan terkejut mendengarnya. Matanya menatap Bunda yang sedang memegangi tangannya. Ia tidak percaya apa yang dikatakan Bunda.
“Pinkan harus berpikiran yang baik kepada Azizah. Kalau dia benar sakit, dan tahu Pinkan sedang kesal dengannya, pasti ia sedih,” ujar Bunda.
“Nah … sekarang kita makan dulu. Selesai makan, coba Pinkan tulis surat sekali lagi untuk Azizah,” ajak Bunda.
Pinkan pun menerima usul Bunda. Hatinya kini bertambah gelisah. Mungkinkah Azizah sedang sakit. Atau ia sudah malas menulis surat. Atau jangan-jangan Azizah sudah punya teman baru. Lalu ia dilupakan. Banyak tanda tanya berputar di kepala Pinkan. Sampai-sampai ia pusing.
***
Sudah hampir dua pekan sejak Pinkan menulis surat untuk Azizah. Akan tetapi, belum juga ada surat balasan yang datang. Pinkan mencoba menghibur hatinya. Ia mulai berkirim surat kepada teman penanya yang lain.
“Pinkan!” panggil Bunda mengagetkan Pinkan.
Pinkan segera keluar dari kamarnya. Setibanya di ruang tamu, ia melihat Bunda sedang mengacungkan sepucuk surat. Senyum Bunda membuatnya penasaran.
“Hayo … tebak, surat dari siapa ini,” ujar Bunda.
“Dari Azizah ya, Bunda?” tanya Pinkan tidak sabar.
Bunda mengangguk. Pinkan bergegas mengambilnya. Dilihatnya sebentar lalu disobeknya amplop itu. Ia pun mulai membaca surat tersebut. Usai membaca, Bunda bertanya kepadanya.
“Apa isinya, Nak?”
Pinkan terdiam sejenak. Kening Bunda berkerut menunggu jawaban Pinkan. Tak disangka-sangka, Pinkan melonjak-lonjak kegirangan.
“Hore … hore … Pinkan akan ketemu sama Azizah, Bunda!” seru Pinkan.
“Memangnya Azizah mau ke sini?” tanya Bunda heran.
“Iya, Bunda. Liburan ini! Pinkan sudah nggak sabar, Bunda,” kata Pinkan.
“Memangnya anak Bunda sudah nggak kesal lagi sama Azizah?” sindir Bunda.
“Ya nggak lah, Bunda. Kan dia cerita kenapa nggak balas-balas surat Pinkan.”
“Apa sebabnya sih?” tanya Bunda.
“Dia sengaja nggak balas. Karena pengen kasih kejutan buat Pinkan. Terus, dia juga harus giat belajar supaya nilainya bagus. Kalau nilainya bagus, abahnya akan setuju dia liburan di sini. Begitu Bunda,” jelas Pinkan panjang lebar.
“Oh … begitu ya. Kalau anak Bunda yang suka ngambek ini dapat nilai bagus nggak?” goda Bunda.
“Iya dong. Pinkan kan nggak lupa buat belajar yang rajin, Bunda,” kata Pinkan bersemangat.
Pinkan lalu memeluk Bunda. Hatinya kini dipenuhi perasaan bahagia. Ia sudah tak sabar bertemu dengan Azizah. Ia ingin meminta maaf karena sempat kesal dengannya. Adakah yang lebih indah dari sebuah persahabatan.
You are Here: Home > Surat untuk Pinkan
Rabu, 04 Agustus 2010
Surat untuk Pinkan
Label: Cerpen, Cerpen Anak, Hafi Zha
0 komentar:
Posting Komentar