Esai Hafi Zha
Historisisme Baru dipercaya sebagai pendekatan yang menganggap bahwa sastra dan sejarah saling berkaitan erat karena dibangun dari suatu peristiwa. Ia juga menganggap bahwa karya sastra sebenarnya tidak terlepas dari teks sastra atau nonsastra lain yang lahir sebelumnya. Di situlah dokumen atau catatan sejarah menjadi bagian penting dari suatu karya sastra yang mengangkat fakta sejarah. Dengan demikian, menarik untuk mengupas suatu karya sastra yang di dalamnya memuat fakta dan fiksi.
Cerita pendek “Pieter Akan Mati Hari Ini” karya Denny Prabowo (Kompas, Minggu 14 Juni 2009) sesungguhnya merupakan karya sastra yang mengangkat fakta sejarah masyarakat Betawi. Di dalam cerpen itu dikisahkan tentang seorang Indo-Eropa, Pieter Erberveld, yang mewarisi bisnis leelooierij (penyamakan kulit) ayahnya di Jacatraweg. Bisnisnya berkenbang pesat dan Pieter menjadi semakin kaya. Hal ini menimbulkan kecemburuan dalam hati Reijkert Heere yang memiliki perasaan tidak suka terhadap orang Indo-Eropa. Reijkert lalu memanfaatkan kesempatan emasnya sebagai bawahan Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon yang berambisi memperluas tanahnya di Batavia, termasuk di Jacatraweg. Reijkert menyebarkan isu bahwa Pieter akan melakukan pemberontakan dan menguasai ilmu hitam. Gubernur Jenderal Zwaardecroon termakan isu tersebut. Atas dasar itulah, Pieter bersama delapan belas orang inlander pengikutnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Sejarah dan Sastra
Setiap sesuatu tentunya mempunyai sejarah. Sejarah merupakan peristiwa atau pengalaman masa lalu yang sudah terjadi. Peristiwa atau pengalaman yang kita alami beberapa tahun, bulan, minggu, atau hari bahkan beberapa jam yang lalu juga telah menjadi sejarah dalam kehidupan kita. Entah itu pengalaman atau peristiwa yang berkesan menyenangkan atau mengharukan. Banyak cara untuk dapat merekam masa lalu yang sudah menjadi sejarah tersebut. Merekamnya dengan lembaran-lembaran catatan, foto dokumentasi, rekaman suara, atau rekaman audio visual.
Sejarah berkaitan erat dengan fakta. Hal ini disebabkan peristiwa dalam sejarah itu sungguhlah sebuah kenyataan yang pernah ada dan terjadi yang dapat dibuktikan kebenarannya. Kebenaran itu dapat dibuktikan dengan media atau sarana yang digunakan untuk mencatat atau merekam peristiwa tersebut. Jika tak mampu dibuktikan, maka tertolaklah fakta tersebut sehingga sejarahnya pun patut pula dipertanyakan.
Bagaimana halnya dengan fakta sejarah yang diangkat ke dalam karya sastra? Apakah ia masih diperlakukan sebagai fakta sejarah ataukah menjadi bentuk lain?
Di dalam cerpen “Pieter Akan Mati Hari Ini”, Denny Prabowo menggunakan fakta sejarah sebagai bahan dasarnya. Bahan dasar tersebut lalu mengalami proses pengendapan di dalam diri pengarangnya. Melewati berbagai proses imajinatif, pengamatan, perenungan, pengahayatan, dan penilaian. Pengalaman dan pemahaman pengarang terhadap lingkungan sekitarnya turut mempengaruhi proses tersebut. Cerpen tersebut bukanlah sekadar karya fiksional yang melukiskan goresan fakta menjadi fiksi tetapi juga catatan sebuah kesaksian atas satu atau serentetan peristiwa pada saat tertentu. Akibatnya, ketika cerpen itu lahir ia akan menjadi cerminan sosial dari suatu masa.
Sangat jelas bagi pembaca bahwa Denny Prabowo sebagai pengarang cerpen “Pieter Akan Mati Hari Ini” tidak hidup dan menyaksikan langsung sejarah Kampung Peca’ Kulit dan peristiwa lainnya. Dengan kata lain, masa terjadinya fakta sejarah dengan proses imajinatif Denny Prabowo sangat jauh berbeda. Walhasil, Denny Prabowo dalam cerpen tersebut sekadar memotret dan merekam apa yang dibaca dan ditemukannya dalam buku sejarah. Sebuah sejarah Kampung Peca’ Kulit dengan Pieter sebagai tokoh terkenalnya.
Di sisi lain, Denny Prabowo melalui cerpennya ternyata menawarkan pandangan lain bagi pembaca mengenai kelogisan sebuah sejarah lahirnya nama kampung Peca’ Kulit[1]. Dalam masyarakat Betawi, ada dua asal usul penamaan kampung Peca’ Kulit1. Pertama, penamaan tersebut diambil dari nama usaha penyamakan kulit Erbelveld senior. Penyamakan dalam bahasa Betawi menjadi pecak, pengucapannya peca’. Kedua, nama kampung Peca’ Kulit diambil dari peristiwa tragis yang dialami Pieter sebagai penerus bisnis ayahnya. Hukuman mati yang ia terima dilaksanakan dengan cara tubuhnya ditarik empat ekor kuda dengan arah berlawanan. Tubuhnya hancur dan kulitnya pecah-pecah. Jika kita telisik dua versi sejarah tersebut kita mendapat dugaan yang lebih kuat bahwa nama Peca’ Kulit diambil dari nama bisnis penyamakan kulit keluarga Erbelveld. Julukan tersebut bagi kampung Jacatraweg sudah lebih dulu terkenal daripada peristiwa eksekusi yang menimpa Pieter. Pendapat ini dapat ditemukan di dalam cerpen seperti kutipan di bawah ini.
Sejak usaha leerlooierij Erberveld senior tersohor, nama Jacatraweg menjadi tenggelam. Orang lebih mengenal tempat itu sebagai kampung Peca’ Kulit.
Sungguhpun demikian, fakta sejarah yang ada di dalam cerpen itu tidak serta merta menjadikannya sebagai sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara faktual. Mengingat cerpen tersebut tidak terlepas dari kreasi imajinatif pengarangnya. Akan tetapi, nilai penting yang dapat diambil dari cerpen tersebut tercapai, yaitu sastra (dalam hal ini cerpen) mampu memberikan pantulan-pantulan tertentu tentang perkembangan pemikiran, perasaaan, dan orientasi pengarangnya[2]. Hal ini ditunjukkan dengan kalimat yang berbunyi “sejarah memang harus dituliskan” dalam cerpen itu yang dituliskan berulang-ulang oleh Denny Prabowo. Di sana terdapat suatu penekanan mengenai pentingnya pencatatan sebuah sejarah (tidak hanya sejarah Kampung Peca’ Kulit) yang telah dimaknai dan ditafsirkan oleh Denny Prabowo untuk menyampaikan catatan kritisnya mengenai sejarah tersebut.
Ada hal yang menarik sekaligus menunjukkan perbedaan fakta sejarah dengan fiksionalisasi sejarah dari cerpen Denny Prabowo. Alur dan plot dari peristiwa yang bersumber pada sejarah digarap secara tidak kronologis, tidak terikat pada tuntutan metodologis. Rekonstruksi peristiwanya berlangsung secara sepotong-potong (fragmen) dengan alur campuran. Berbeda dengan dokumen sejarah yang harus ditulis secara metodologis, objektif, taat mengikuti prosedur, dan memperhatikan ketertiban ruang dan waktu. Hal ini merupakan bukti bahwa ada kaitan erat antara kesubjektivitasan pengarang dengan usaha penafsiran dan pemaknaan pengarang terhadap peristiwa masa lalu.
Fiksionalisasi sejarah telah mengubah sifat fakta menjadi fiktif di dalam karya sastra. Peristiwa yang sebelumnya faktual telah menjelma menjadi fiksional. Jadi, fakta yang disampaikan oleh pengarang di dalam karyanya tidak harus dipertanggungjawabkan kebenaran fakta dan prosedurnya.
Fakta Sejarah
Pembicaraan mengenai fakta sejarah masyarakat Betawi di dalam cerpen Denny Prabowo bisa dimulai dari latar peristiwa. Kisah tragis Pieter di dalam cerpen tersebut berlatar di Batavia, di Jacatraweg. Jacatraweg lantas terkenal dengan sebutan kampung Peca’ Kulit karena usaha leelooierij Erbelveld senior tersohor kemana-mana. Dari dua versi kisah yang beredar di dalam masyarakat Betawi mengenai asal mula penamaan kampung Peca’ Kulit, Denny Prabowo memanfaatkan sumber kisah yang pertama untuk diangkat ke dalam cerpennya. Hal ini menunjukkan logika cerita yang dipakai Denny Prabowo tidak serta merta ditinggalkan dalam pengolahan fakta sejarah menjadi fiksi.
Berikutnya, fakta sejarah yang juga dipakai sebagai landasan cerita adalah tokoh-tokoh ceritanya. Tokoh Pieter Erberveld sangat dikenal oleh masyarakat Betawi, khususnya orang-orang dari kampung Peca’ Kulit. Tokoh tersebut menjadi sebuah legenda yang kemudian berkembang dan bercampur dengan dongeng di dalam masyarakat. Seperti halnya tokoh Pitung, jagoan Betawi, yang sangat terkenal. Tokoh cerita lainnya yang pernah ada adalah Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon. Di dalam catatan sejarah, Zwaardecroon diangkat sebagai gubernur jenderal oleh Ratu Belanda pada tanggal 13 November 1718[3]. Pada masa Zwaardecroon inilah, tepatnya bulan Agustus—Desember 1721, terjadi huru-hara di Batavia. Hal ini berujung pada meruaknya isu akan terjadinya pemberontakan. Peristiwa ini juga tak luput dari pengamatan Denny Prabowo untuk digunakan sebagai bagian dari plot dalam ceritanya, yaitu Pieter dituduh sebagai otak dari pemberontakan tersebut. Tokoh yang paling menarik kedudukannya di dalam cerpen Denny Prabowo adalah tokoh Jan. Jan menjadi narator di dalam cerita (akuan sebagai pelaku sampingan). Ia seorang penyair soneta yang bertutur tentang nasib Pieter, seperti kutipan cerita berikut.
Menuliskannya dalam baris-baris soneta. Apa boleh buat, aku hanya seorang pujangga.
Sejarah mencatat nama lengkap Jan adalah Jan de Marre, seorang penyair Belanda terkemuka di zaman Pieter[4]. Ia menulis syair tentang Pieter di dalam bukunya Batavia sebagai ungkapan simpati dan rasa tidak sukanya terhadap kesewenangan penguasa saat itu. Jika kita tengok ke dalam cerita Denny Prabowo, tokoh Jan menjadi orang serba tahu tentang apa yang dialami Pieter. Bahkan di akhri cerita, Jan diajak untuk ikut dalam pelarian ke tempat Raden Pangantin. Ini berarti antara Pieter dan Jan mempunyai hubungan. Padahal di dalam sejarah tidak satu pun menyebutkan adanya hubungan tersebut. Di situlah letak daya imajinasi Denny Prabowo untuk mengolah fakta sejarah menjadi sebuah fiksi.
Selanjutnya, nama-nama organisasi pemerintahan Hindia Belanda pada zaman dulu di Batavia yang disebut di dalam cerpen juga termasuk ke dalam fakta sejarah. Het College van Heemraaden dalam catatan sejarah didirikan pada tahun 1664[5]. Het College van Heemraaden merupakan suatu dewan kota yang mengurus tanah emrat, yaitu tanggul, polder, dan tanah urug. Raad van Justitie sebagai lembaga peradilan di masa gubernur jenderal Hindia Belanda juga memang pernah ada.
Begitulah fakta sejarah dan fiksi yang ada di dalam cerpen Denny Prabowo. Jika fiksionalisasi sejarah telah mengubah sifat fakta menjadi fiktif di dalam karya sastra, maka cerpen Denny Prabowo tetaplah diperlakukan sebagai sebuah fakta dalam karya sastra, bukan sebagai fakta dalam kehidupan nyata. Cerpen tersebutlah hanya fiksi yang dihasilkan dari proses perenungan dan proses imajinatif, serta bukan merupakan suatu kebohongan. Cerpen tersebut ditawarkan kepada pembaca sebagai wadah menuangkan gagasan, pandangan, dan pemaknaan pengarang terhadap sejarah kampung Peca’ Kulit.
Footnote
- Lihat Saidi, Ridwan.1987.Profil Orang Betawi—Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, Jakarta: PT Gunara Kata
- Lihat Mahayana, Maman S. (hlm.362). 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing.
- Lihat Saidi, Ridwan (hlm.183).1987.Profil Orang Betawi—Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, Jakarta: PT Gunara Kata
- Ibid , hlm.188
- Ibid, hlm. 182
0 komentar:
Posting Komentar