Cerpen Hafi Zha
Seperti biasa, Putri pergi ke sekolah bersama Arin, sahabatnya. Mereka berdua sudah bersahabat sejak kelas 1 SD hingga sekarang, kelas 4 SD. Selain berangkat sekolah bersama-sama, Arin sering bermain dan belajar ke rumah Putri. Rumah Putri memang dekat dengan rumahnya. Arin senang bermain dan belajar di rumah Putri. Selain karena Putri punya banyak mainan dan buku, Arin betah di rumah Putri yang besar. Tidak seperti rumahnya yang kecil dan sempit.
“Rin, jangan lupa ya, pulang sekolah nanti ke rumahku,” kata Putri kepada Arin.
Mereka berjalan berdampingan sambil bergandeng tangan. Mereka pun sampai di halaman sekolah. Ternyata di sana sudah ramai dengan siswa-siswa.
“Memangnya ada apa, Put? Bukannya sore nanti aku ke rumahmu buat kerja kelompok?” tanya Arin keheranan.
Arin memandangi Putri. Pagi itu rambut Putri diikat dengan pita merah. Putri tampak semakin cantik, pikir Arin. Putri tersenyum manis kepadanya. Arin yang berambut keriting itu membalas senyuman Putri.
“Iya, nanti sore kita kerja kelompok. Tapi, pulang sekolah nanti kamu mampir sebentar ke rumahku buat ambil sesuatu,” jelas Putri.
Arin berhenti berjalan. Ia merasa penasaran setelah mendengar penjelasan Putri tadi. Keningnya berkerut. Ia kembali memandangi Putri.
“Sesuatu, Put? Apa?” tanya Arin. Putri berpaling ke arah Arin yang berada di belakangnya.
“Nanti kamu juga tahu. Pokoknya kamu bakalan senang deh. Yuk, masuk kelas, kita kan hari ini piket kebersihan,” ujar Putri sambil mengerdipkan matanya.
Lalu Putri menggandeng tangan sahabatnya itu. Keduanya berjalan dengan riang melewati para siswa yang asyik bermain. Dalam hatinya, Arin semakin penasaran dengan sesuatu yang dijanjikan Putri kepadanya.
***
Teeeet….
Bel pulang sekolah berbunyi. Arin merasa senang ketika mendengarnya. Sejak pagi tadi, ia terus memikirkan sesuatu yang dijanjikan oleh Putri. Perasaannya tidak karuan karena penasaran. Untunglah ia masih bisa mengikuti penjelasan dari guru waktu pelajaran berlangsung.
“Rin, yuk pulang. Kok bengong sih kayak sapi ompong. Hehehe …,” kata Putri mencandai Arin.
Arin tersentak kaget. Buru-buru ia mengambil tasnya dari rak meja. Menyampirkannya ke bahu. Lalu berlari kecil mengejar Putri yang sudah keluar kelas.
“Putri, tunggu!” teriak Arin. Yang dipanggil menghentikan langkahnya. Ia berbalik menunggu Arin.
Arin tiba di dekat Putri. Nafasnya ngos-ngosan. Walaupun larinya Cuma pelan, ternyata bisa membuat dia capai. Maklum, badan Arin padat berisi alias gemuk.
“Kok aku ditinggal sih, Put? Hosh … hosh …,” kata Arin dengan hidung yang kembang kempis.
“Habis kamu kelamaan bengong sih. Sudah aku ajak pulang, tapi diam aja,” sahut Putri.
“Maaf deh, Put. Aku tadi mikir yang kamu bilang tadi pagi. Aku penasaran, Put,” kata Arin sambil menyeka keringat di dahinya. Putri jadi kasihan melihat sahabatnya kecapaian.
“Ya sudah, kalau begitu kita cepat-cepat ke rumahku. Biar kamu nggak penasaran lagi. Yuk …,” ajak Putri sambil menggandeng tangan Arin.
Mereka pun sampai di rumah Putri. Putri langsung mengajak Arin ke kamarnya. Setelah memberikan es sirop kepada Arin, Putri mengambil sesuatu dari lemari.
“Ini buat kamu, Rin.”
Putri menyodorkan sebuah kotak. Kotak itu dibungkus dengan kertas kado warna coklat. Dengan ragu-ragu Arin menerimanya.
“Apa ini, Put?” tanya Arin.
Arin meletakkan kotak itu di pangkuannya. Lumayan berat.
“Buka aja, Rin. Mudah-mudahan kamu senang. Terus, semoga bermanfaat buat kamu,” kata Putri sambil duduk di sebelah Arin.
Arin perlahan-lahan membuka bungkusan coklat di pangkuannya itu. Wajahnya berseri-seri ketika melihat isi kotak tersebut. Ia langsung memeluk Putri dan menciumi pipi sahabatnya itu.
“Makasih ya, Put. Aku seneng banget menerimanya,” kata Arin.
Arin tersenyum. Ia merasa bahagia karena mendapat buku-buku bacaan dari Putri. Ia memang tidak mampu untuk membeli buku-buku yang sebenarnya ia inginkan. Ibunya hanya penjual nasi dan ayahnya sudah meninggal saat ia berumur lima tahun.
“Sama-sama, Rin. Ini sebagai kado ulang tahun buat kamu. Kemarin kan aku belum ngasih kado. Jadi, hanya ini yang bisa kuberi.”
Keduanya saling berpelukan. Arin semakin sayang dengan Putri. Putri juga begitu. Ia menganggap Arin seperti saudaranya sendiri karena ia tidak mempunyai kakak atau adik.
Arin lalu pamit untuk pulang. Nanti sore Arin akan kembali lagi ke rumah Putri karena mereka akan mengerjakan tugas kelompok. Arin tiba di rumahnya. Disambut ibunya dan kedua adiknya yang masih kecil.
“Kak Arin bawa apa?” tanya Dewi, adiknya yang duduk di bangku kelas 1 SD.
“Iya, apa itu, Rin? Darimana kamu dapatnya?” tanya ibunya yang sedang memangku Ari yang masih berusia empat tahun.
“Ini buku, Bu. Tadi diberi Putri sebagai kado ulang tahun Arin,” jawab Arin sambil memperlihatkannya kepada ibu dan Dewi.
“Baik sekali ya Putri. Walaupun anak orang kaya tapi tidak sombong. Kamu sudah berterimakasih kan, Rin?” tanya ibunya lembut. Arin mengangguk.
Ia kemudian berganti pakaian. Ditinggalkannya buku-buku dari Putri di meja tamu karena Dewi sedang asyik membuka-bukanya. Adiknya juga turut senang karena ada beberapa buku cerita bergambar di sana.
Setelah makan siang, Arin menuju meja di ruang tamu. Ia ingin merapikan buku-bukunya. Betapa terkejutnya ia ketika dilihatnya ada satu buku yang sobek halamannya. Ia lalu menjerit dan menangis. Dewi yang ada sedang asyik membuka-buka buku terkejut melihat kakaknya menangis.
“Dewi, kamu ya yang sobek buku kakak?!” kata Arin setengah berteriak. Arin menuduh Dewi yang tidak tahu apa-apa.
“Bukan, Kak. Dewi nggak sobek kok. Sejak tadi, Dewi cuma buka-buka aja,” jelas Dewi kepada kakaknya. Ia hampir saja menangis. Untunglah ibu segera datang karena mendengar suara Arin yang keras.
“Ada apa, Rin? Kok menangis,” tanya ibunya.
Arin yang masih menangis memegangi bukunya yang sobek. Halaman yang sobek itu tidak ada di tempatnya.
“Buku Arin sobek. Bu. Padahal Arin kan belum baca. Pasti Dewi yang menyobeknya, Bu,” kata Arin sambil terisak.
Dewi lalu menangis ketika ia dituduh menyobek buku kakaknya. Ibu berusaha mendiamkan Dewi yang menangis.
“Bukan Dewi, Bu. Dewi cuma liat-liat aja tadi,” kata Dewi membela dirinya.
“Iya, ibu percaya sama Dewi. Sudah jangan nangis lagi. Arin, jangan menuduh adikmu sembarangan. Ia sudah berkata jujur, tidak mungkin dia bohong,” nasihat Ibu dengan sabar.
“Lalu siapa, Bu, yang nyobek buku Arin?” tanya Arin sambil mengusap air matanya. Seketika itu juga, Ari masuk sambil memain-mainkan kertas yang ia jadikan seolah-olah layang-layang. Betapa terkejutnya Arin ketika melihat kertas yang dimainkan Ari. Itu adalah halaman yang hilang dari bukunya. Ia lalu tertunduk karena merasa bersalah.
“Kak liat, layang-layang Ari bagus kan, Kak?” Ari dengan polos memperlihatkan layang-layangnya kepada Arin. Arin semakin sedih dan malu kepada ibu dan Dewi. Ia telah menuduh adiknya sembarangan.
“Nanti ibu ganti buku yang sobek itu. Ari tidak tahu apa-apa, jangan dimarahi ya, Rin,” kata ibu khawatir.
Mendengar hal itu, hati Arin langsung terenyuh. Ia tahu ibunya tak punya uang untuk beli buku-buku sebagus itu. Karena pasti buku itu harganya mahal. Ia pun merasakan betapa ibunya sangat menyayanginya dan kedua adiknya. Arin langsung berlari menuju ibunya lalu memeluknya erat-erat.
“Arin minta maaf, Bu. Arin malu sama ibu, sama Dewi.” Arin menangis di pelukan ibunya. Ibunya membelai rambut Arin.
“Sudah … nggak usah nangis. Malu sama adik-adikmu,” kata ibu lembut. Arin mengusap air matanya. Ia berusaha tersenyum. Begitu juga dengan Dewi yang sudah berhenti menangis.
“Ibu nggak usah ganti buku sobek itu, Bu. Arin nggak apa-apa kok, Bu. Kan buku yang lain masih banyak,” ujar Arin.
“Iya, tapi nanti kalau ibu punya uang lebih, ibu belikan buku bacaan buat kamu dan adik-adikmu, insya’allah. Sekarang kamu minta maaf dulu sama Dewi.” Arin mendekati Dewi. Dewi tertunduk karena takut dibentak Arin.
“Maafin kakak, ya Dewi. Kakak sayang Dewi,” kata Arin sambil memeluk adiknya erat-erat. Dewi mengangguk dan membalas pelukan kakaknya. Lalu kedua bersaudara itu dipeluk ibu mereka dengan hangat.
You are Here: Home > Kado Ulang Tahun Arin
Rabu, 04 Agustus 2010
Kado Ulang Tahun Arin
Malang, 15 Maret 2007
Related Articles :
Label: Cerpen, Cerpen Anak, Hafi Zha
0 komentar:
Posting Komentar