Kamis, 19 Agustus 2010

Katakan Cinta dengan Memasak


Sebelum menikah, saya mengatakan kepada calon suami saya, yang sekarang jadi suami saya bahwa saya “tidak bisa memasak”. Perkataan saya memancing calon suami saya untuk berkelakar serius, “Ingin saya beri pisau biar mati saja. Hanya orang mati yang nggak bisa melakukan apa-apa, termasuk masak.” Mendengar hal tersebut, spontan saya tertawa sekaligus mencerna kelakarnya. Berarti ada yang keliru dengan ucapan saya sebelumnya tentang memasak.

Saya juga mendapat masukan yang seragam dari teman-teman saya. Belajarlah memasak! Bahkan ada yang berkata, ”Dengan makanan yang kita masak, suami akan tambah sayang dengan kita.” Hal ini juga pernah saya baca di buku persiapan menikah. Berhubung kuliah saya saat itu sudah rampung, maka ada banyak waktu luang di rumah. Saya pun terjun ke dapur dengan semangat yang membara, membantu ibu yang tak heran melihat keanehan saya. Sedikit-sedikit saya mulai mengetahui tentang perkumpulan bumbu dapur dan beberapa resep masakan dari ibu saya.

Waktu bergerak maju. Setelah menikah, saya memutuskan untuk bekerja sebagai pengajar. Otomatis, saya menjalani dua tugas, yaitu sebagai seorang istri dan staf pengajar. Pada saat itu, saya bersyukur sekali karena mempunyai pendamping yang sangat pengertian. Saya tak sempat (atau tak menyempatkan diri) untuk memasakkannya. Padahal jam kerja saya tidak menempatkan diri saya untuk seharian di luar rumah. Walhasil, kami sering membeli makan di luar rumah. Terkadang kami mendapat kiriman makanan dari ibu mertua saya. Bekal makan siang suami saya juga dimasakkan oleh ibu mertua.

Suara hati sebagai seorang istri terkadang mengusik saya. Walaupun suami saya tak pernah protes karena saya jarang sekali memasak, saya merasa ada yang kurang dalam hidup saya. Saya disebut istri tetapi saya merasa bukanlah sebagai istri sepenuhnya.

Akhirnya, sampailah saya pada titik yang membuat saya berubah 180 derajat. Saya mendapatkan anugerah sekaligus ujian dari Allah SWT. Saya mengandung empat bulan dan terkena typus. Dalam tahap penyembuhan, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan saya. Ternyata, keputusan yang saya ambil membawa hikmah berharga untuk saya.

Saya mulai mengorek-ngorek kembali resep masakan dari rumah. Mengumpulkan resep dari majalah dan buku-buku masakan. Lalu mempraktikkannya secara perlahan. Alhamdulillah, rasa masakan yang saya olah sedap juga. Masakan-masakan yang dulu saya anggap sulit karena kaya akan bumbu dan rempah bisa saya masak. Ada kebanggaan yang begitu berharga dalam diri saya, yaitu dapat memasak untuk suami saya.

Dari pengalaman saya tersebut, saya membuktikan bahwa perkataan teman saya dulu benar. Ketika lidah suami kita merasakan makanan yang kita masak, akan menambah rasa sayangnya. Apalagi jika kita memasak dengan perasaan ikhlas dan penuh rasa cinta. Suami kita juga akan merasakan cinta dalam masakan kita. Dari mulutnya akan terangkai doa untuk kita. Dan, insyaallah, Allah membukakan pintu pahala bagi keikhlasan kita. Selain itu, memasak sendiri menghemat pengeluaran rumah tangga kita.

Oleh karena itu, bagi para wanita yang sudah menikah, bekerja, dan mempunyai pengalaman yang sama dengan saya, maka mulai dari sekarang aturlah waktu, buang rasa malas, dan sempatkan diri memasak untuk keluarga. Bagi yang belum menikah atau akan menikah, paksakanlah diri untuk belajar memasak. Jangan pernah berkata, “Saya tidak bisa memasak,” tapi katakanlah, “Saya belum bisa memasak.” Ingatlah bahwa hanya orang mati yang tidak bisa melakukan apa-apa, termasuk memasak.***

Related Articles :


Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kata Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha