Cerpen Hafi Zha
Di kamar hotel ini, yang menurutku teramat sangat mewah, aku termangu di atas ranjang. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang didominasi warna merah maron. Merah maron membuatku terlena, terbawa suasana romantis. Ditambah lagi dengan alunan sexophone Kenny G. yang keluar dari alat pemutar CD, terletak di sudut ruangan ini dekat jendela—jendela yang menyuguhkan pemandangan metropolitan di malam hari. Mataku menyapu tiap sudut kamar ini. Ruangan yang artistik dan nyaman, lengkap dengan televisi, kulkas, permadani yang indah—dan tentunya mahal—juga ada kamar mandi yang pintunya berhadapan dengan satu-satunya jendela di sini.
Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Dan…oh, aku terpesona dengan apa yang kulihat. Kamar mandinya hampir sama luasnya dengan kamar tadi. Bersih, berkilauan seolah-olah tak pernah ada orang yang pernah memakainya. Jauh sekali dengan kamar mandi di rumah. Sempit, kusam, dan tentu saja baunya tidak nyaman. Aku masuk ke dalamnya. Telapak kakiku berjingkat. Dingin. Kusentuh bak mandi yang berbentuk oval memanjang. Mengkilat, tak ada bekas yang menunjukkan ada orang yang pernah mandi di sana. Aku sudah tak asing lagi dengan benda ini karena sering kulihat di sinetron-sinetron—berkisah tentang orang kaya yang punya rumah mewah dan segala macamnya. Bathtub, ya itu namanya. Aku terkekeh-kekeh sendiri. Membayangkan aku akan mandi dan berendam di sana. Sepuasnya, sambil tidur. Kupuaskan rasa kekagumanku di ruangan putih ini sembari menyentuh, memegang, dan membelai tiap benda yang kujumpai. Aku menikmatinya.
Puas aku di kamar mandi. Aku kembali menuju ruang tidur. Ketika melihat ranjang king-size, aku tak dapat menahan keinginanku untuk segera menikmatinya. Kuberlari kegirangan dan kuhempaskan tubuhku di atasnya. Empuk sekali. Kali ini aku kembali teringat akan kasurku di rumah yang selalu membuat tubuhku linu ketika bangun tidur. Aku berguling-guling. Tingkahku seperti anak kecil yang baru saja mendapat mainan yang sejak lama diinginkan. Aku tak sadar ternyata dia sudah lama berada dalam ruangan ini, memperhatikan tingkahku dengan mata elangnya.
“Kau suka?”
Aku berhenti dari keasyikanku. Memandang ke arahnya. Aku tertunduk malu sembari turun dari ranjang.
“Lo, kenapa turun? Kau tak suka ya?”
Kini aku berdiri di samping ranjang. Kuberanikan menatap matanya.
“Bukan…maksudku…aku suka, sangat suka malah. Ini terlalu mewah untukku.”
Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Kepolosanku telah ditangkap olehnya. Kini ia berada dekat dihadapanku. Tentu ia jelas melihat kekikukanku.
“Semua ini untukmu, cintaku. Apa pun akan kuberikan, asal itu bisa membuatmu bahagia.”
“Terimakasih…”
Belum sempat kuselesaikan kalimatku, serta merta ia telah memelukku. Erat sekali hingga aku susah menghirup udara. Aku sedikit terbatuk. Tersadar akan apa yang telah diperbuatnya, ia merenggangkan pelukannya.
“Oh, maaf sayang, aku tak sengaja. Kau baik-baik saja kan?”
“Eh, iya.”
Kali ini aku berani membalas pelukannya. Sedikit kaku. Kusandarkan kepalaku ke dada bidangnya. Detak jantungnya tertangkap telingaku.
Malam ini, malam pertamaku bersamanya. Setelah seharian kami disibukkan oleh para undangan yang hadir di pesta perkawinan kami. Aku tak pernah membayangkan akan menikah dengan dia, yang kuanggap sebagai seorang pangeran dari kerajaan antah berantah. Aku tak menyangka ia mau menikahi seorang upik babu, aku. Benar-benar sebuah dongeng yang kualami saat ini.
****
Dengan berlinangan air mata, aku mendengarkan putusan hakim. Bu Isye mencoba menguatkanku, tapi kepedihanku begitu mendalam. Aku tak mempercayai ini semua. Usai persidangan, aku langsung dikerubuti para kuli tinta. Aku menghindar dari mereka dengan terus berjalan menuju mobilku. Untunglah ada petugas yang mengamankanku.
“Sudahlah, Ana. Kau harus sabar dengan ini semua.”
Kuusap ingus yang keluar dari hidungku. Air mataku tak jua mampu berhenti. Mungkin inilah sebuah konsekuensi yang harus kuterima karena menikah dengan seorang publik figur. Diberitakan macam-macam. Dituduh yang tidak-tidak. Dan akhirnya diceraikan.
“Aku…aku belum bisa menerima ini semua, Bu. Aku masih mencintainya. Sangat mencintainya. Pernikahan kami belum genap dua tahun tapi dia….”
Aku tak kuasa meneruskan kalimatku. Geram jika kuingat perempuan yang telah merebut si mata elang dariku.
“Ana, kau harus kuat. Kau tidak rugi, dia telah menyeahkan harta gono-gini bagianmu. Seharusnya kau bersyukur dengan apa yang telah kau dapat, Ana.”
“Itu semua tidak berarti apa-apa, Bu Isye, tanpa ada dia di sampingku. Tanpa ada cinta tak ada artinya semua bagiku.”
Suzuki APV-ku melaju di jalan raya, membawaku menuju rumah—dulunya adalah rumahku dan suamiku—yang sekarang adalah milikku. Aku memadang keluar jendela mobil. Pohon-pohon di tepi jalan berjalan lalu seiring jalan mobilku. Hari ini begitu cerah, langit tak bermega. Tak panas juga tak mendung. Sungguh bisa membuatku sedikit tenang. Aku ingin segera sampai di rumah. Lalu berbaring di atas ranjang yang empuk.
****
“Nduk, kamu tega meninggalkan emak sendirian?”
“Mak, aku pergi ke Jakarta bukan untuk hura-hura. Aku pengen cari hidup yang lebih baik, buat kita Mak. Mak ndak pengen kan kita hidup susah terus-terusan?”
“Iya, Mak tahu kamu anak baik, pengen mengangkat hidup kita. Tapi, nduk, kenapa ndak di sini saja cari kerjanya atau ke kota, ndak usah jauh-jauh ke Jakarta sana. Mak khawatir.”
“Mak ndak usah khawatir, aku akan jaga diri. Lagi pula aku ndak sendiri di sana, ada Mbak Rara juga Mbak Citra. Mak tahukan, mereka berdua sukses di sana. Mereka bisa bangun rumah buat keluarganya di sini.”
“Tapi, nduk…”
“Wis, Mak. Aku ndak mau berdebat lagi. Pokoknya, aku akan berangkat ke Jakarta. Dengan atau tanpa restu Mak.”
Keesokan harinya, gadis berparas ayu itu berangkat menuju Jakarta. Seorang perempuan tua dengan setia mengantarkannya ke terminal hingga bis yang ditumpangi anak gadisnya tak kelihatan lagi.
Gadis desa yang saat itu masih berusia dua puluh tahun, dengan wajah berbunga-bunga membayangkan kehidupan yang enak ketika ia sudah berada di Jakarta nanti. Konon, kata orang-orang kampung yang pernah kerja di sana, gaji di sana gede—tapi mereka tak pernah menjelaskan kerja apa di sana. Makanya, kalau pulang kampung mereka pasti membagi-bagikan sebagian rezekinya—waktu lebaran apalagi—rumah mereka yang dulu reot dan hampir roboh direnovasi hingga rumahnya jadi bagus. Gadis itu tak ingin melihat lagi Emaknya bekerja serabutan—tukang cuci, jualan kue, jadi petani upahan, dan segala macamnya—setelah ia bisa mendapatkan pekerjaan dan mendapat gaji yang gede nantinya.
“Mbak, aku pengen cari kerja di sini. Mbak bisa nyarikan buat aku?”
“Duh, nduk nduk, kamu kok nekat tenan tho? Emak kamu sing wis tuwek kamu tinggalin dhewe?”
“Aku ke sini juga untuk Emak, Mbak. Wis ta lah Mbak, urusan Mak biar jadi urusanku. Sing penting, saiki aku dicarikan pekerjaan. Mbak bilang cari kerja di sini gampang.”
Seperti mimpi saja yang dialami gadis rupawan itu. Sebulan berlalu, tanpa sengaja ia berkenalan dengan seorang agen model. Akhirnya, ia pun berjalan menuju dunia model—sedikit terseok-seok. Rekan-rekannya tak bisa menerimanya sebagai partner kerja. Mereka merasa tersaingi dengan kecantikannya, juga merasa lebih tinggi darinya yang hanya berasal dari kampung.
Namun, ia terus berjalan. Dan akhirnya, ia dipertemukan dengan model kenamaan di kota besar ini. Ia begitu baik padanya, membantunya untuk meniti jembatan karir mode yang tengah dibangunnya. Gadis itu beruntung, sangat beruntung, laki-laki tampan itu jatuh cinta padanya. Layaknya sebuah dongeng Cinderella, ia dan laki-laki itu akhirnya menikah. Emaknya di kampung begitu bahagia, tak sia-sia kegigihan anaknya untuk merantau ke Jakarta. Hidupnya kini telah enak, malah lebih dari berkecukupan di kampungnya.
Tapi hidup hanyalah hidup, roda yang terus berputar. Satu momen manusia akan berada di atas, di lain waktu ia akan berada di bawah. Terus-menerus akan berputar, dan setiap manusia akan merasakan kenyamanan dan ketaknyamanan hidup. Orang yang telah menyiapkan dirinya untuk menghadapi kesusahan dalam hidupnya, akan lapang menerimanya. Bahkan berusaha mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapinya. Berbeda dengan orang yang terlena dengan kenikmatan yang ia dapatkan. Tak sempat ia menyiapkan bekalnya. Ia merasakan keguncangan yang luar biasa. Ia tak ridha dengan apa yang diterimanya, ia pun protes terhadap Tuhan—yang sebenarnya tengah mengujinya.
Dan kini….
Gadis itu kini menjelma menjadi seorang wanita muda, aku. Tertelungkup di atas ranjang dengan berlinangan air mata. Karir telah aku tinggalkan demi suamiku tercinta. Aku mencintai dunia model tapi laki-laki yang bermata elang itu lebih aku cintai. Pernikahanku baik-baik saja pada awalnya. Kebahagiaanlah yang selalu meliputi aku dan suamiku. Kemesraan tak pernah jauh dari kami. Malah karena semua itu keluarga kecil kami mendapat penghargaan dari masyarakat sebagai pasutri yang adem ayem.
“Kenapa semua harus terjadi? Wanita itu seharusnya tidak muncul dalam kehidupan kami. Brengsek!! Kau tak adil, Tuhan! Kenapa Kau berikan aku hidup yang harus berakhir pahit seperti ini.”
Aku terus saja berteriak histeris. Api amarah yang ada dalam dadaku membuatku panas. Kuminum beberapa teguk air dingin, tetap saja panas yang kurasakan. Berkobar seolah-olah aku terbakar olehnya.
Aku belum jua dapat tenang. Kutelan beberapa butir obat penenang. Semenjak aku dan dia sering bertengkar, obat inilah yang menjadi pelarianku. Aku tetap bertahan untuk tidak bercerai dengannya karena aku sangat mencintainya. Tapi, dia telah dibutakan oleh wanita itu. Dia berubah. Mengungkit bahwa aku adalah wanita desa yang telah diangkatnya ke tempat yang lebih bagus. Padahal aku berusaha sendiri membangun karirku di dunia model, yang aku berkorban dengan hidup sesederhana mungkin demi membuat Emak bahagia di kampung. Bekali-kali dia melemparkan kata-kata kasar yang menusuk hatiku. Berkali-kali juga aku mendapati mereka bermesraan. Tapi, tetap aku tak bisa membencinya. Aku sangat mencintainya. Aku benci wanita itu.
“Brengsek!! Kurang ajar!!”
Aku meratap sejadi-jadinya di atas ranjang.
Beberapa jenak, kantuk mulai menyerangku. Aku ingin tidur sebentar. Hatiku sedikit tenang akibat pengaruh obat yang kuminum tadi. Aku menghela nafas sedalam-dalamnya. Lalu terlelap…
****
“Roh! Kamu tega ninggalin Emak lagi. Emak saiki dhewean, nduk.”
Aku terbangun mendengar jerit tangis suara wanita yang sangat kukenal, Emak. Aku membuka mata dan melihat Emak duduk membelakangiku, duduk di sisi ranjangku. Kulihat juga Bu Isye yang menangis tersedu-sedu. Penasaran kudekati mereka dan aku tertegun pada seraut wajah pucat yang adalah aku terbaring kaku di ranjang.
“Roh, kenapa kamu mati seperti ini. Emak ndak nyangka kamu nekat bunuh diri. Roh…”
“Sudah, Bu. Kasihan Rohana, biarkan dia tenang di sana tanpa harus diratapi seperti ini. Sudah Bu.. Ibu yang sabar.”
Bu Isye menenangkan Ibu yang terus-menerus meratapi jasadku. Aku ketakutan sendiri di sini, duduk lemas di samping jasadku. Siapa yang akan menolongku di duniaku yang sekarang ini. Tuhan? Aku telah lama meninggalkannya bahkan detik-detik terakhirku aku menghujatnya atas semua yang kualami
You are Here: Home > Roh
Kamis, 19 Agustus 2010
Roh
Malang, September 2006
Related Articles :
Label: Cerpen, Cerpen Dewasa
0 komentar:
Posting Komentar