Kamis, 19 Agustus 2010

Seribu Kunang-Kunang di Kaki Arjuna


Cerpen Hafi Zha

Pagi.

Udara dingin menusuk tulang. Kabut masih menutup jalan. Linda masih kelihatan mengantuk, wajahnya kusut dengan rambut panjangnya yang acak-acakan. Matanya setengah terpejam ketika seorang laki-laki separuh baya duduk di sampingnya.

”Permisi, Nak.”

”Oh, monggo[1] Pak.”

Segera Linda merapikan dirinya. Tak ingin ia kelihatan kumal di hadapan seorang bapak yang berpakaian rapi dengan peci bertengger di kepalanya. Linda melemparkan senyum ke bapak yang telah duduk di sampingnya. Bapak itu pun membalas senyum Linda.

”Nyuwun sewu[2], Pak. Bapak ke Surabaya juga?”

Linda membuka percakapan. Ia berusaha untuk ramah dengan orang yang baru dikenalnya. Ini bisa jadi pelajaran pertama buatku di hari ini, pikir Linda dalam hati.

”Inggih[3], Nak. Nak sendiri?”

”Sama, Pak. Kerja.”

”Cah bagus....”

Linda menunggu lanjutan kata-kata bapak itu namun tak kunjung ia dengar. Ia pandangi wajah laki-laki itu yang sekarang berubah muram, seakan ada awan mendung yang menyelimutinya dan siap menurunkan hujan. Linda begitu tertarik untuk terus memandangi wajah yang tidak lagi muda itu, namun ada sesuatu yang tersembunyi di balik gurat-gurat wajah itu. Linda tak meneruskan niatnya, tak sopan pikirnya. Linda mengalihkan matanya ke bawah, mengamati sepatu bututnya yang setia menemaninya pergi kerja. Diliriknya kaki yang ada di sebelahnya. Hitam legam karena sering tersengat matahari dengan urat-urat yang nampak. Bapak ini mestlah seorang pekerja keras. Linda merasakan kerinduan yang membuncah tiba-tiba kepada ayahnya. Tersentak Linda dari lamunannya ketika mendengar laki-laki di sampingnya menghembuskan nafas seakan-akan ada beban yang menghimpit dirinya. Linda kembali menoleh kepada bapak tersebut.

”Cah bagus. Andai saja anakku kayak kamu, Le. Bapak pasti bahagia tenan... la iki cah iku ndak bisa....”

Kata-katanya kembali terputus. Bapak itu yang semula tenang menjadi emosi. Linda bingung ketika Bapak tersebut tertunduk dan terisak. Pastilah ada beban yang begitu berat yang disimpan Bapak ini sampai menangis seperti ini. Laki-laki pantang untuk menitikkan air mata di hadapan orang, ayah Linda berpesan kepadanya.

”Pak, Pak, sudah Pak...setiap masalah pasti dikasih jalan keluar sama Gusti Allah.”

Linda memberanikan diri menyentuh pundak bapak yang sedang terisak tersebut. Ia heran sendiri ketika ia bisa berkata seperti itu kepada orang yang jauh lebih tua darinya. Aku ini kok sok bijaksana to, pikir Linda. Ia terus berusaha untuk menenangkan bapak di sampingnya. Bayangan ayahnya berkelebat di benak Linda. Inikah yang dulu ayah alami waktu dulu. Suara derum bis mengiringi isakan Bapak yang terus memegang mukanya berusaha untuk menutupi wajahnya yang kelam. Tidak seperti tadi dimana penumpang masih sepi, bis sudah penuh dengan orang-orang yang punya kesibukan masing-masing di hari ini. Remaja putri berseragam putih biru cekikikan bersama teman-temannya, asyik dengan obrolan mereka. Kondektur bus yang berteriak,”Suroboyo, Suroboyo....”. Wanita dengan rok mininya dan make up-nya yang tebal baru saja naik, melempar senyum pada Linda yang memang persis duduk dekat pintu masuk bis. Linda tak membalas karena ia jengah dengan wanita yang berdandan seronok seperti itu. Ah, mungkin itu adalah tuntutan kerjanya tapi mbok ya jangan berlebihan, Linda membatin. Linda kembali menekuri Bapak yang di sampingnya yang isaknya mulai berkurang, mungkin karena sadar ia berada di tempat umum dan setiap saat orang bisa memperhatikannya.

”Maaf, Le. Bapak kebawa perasaan. Bapak ingat anak Bapak, mungkin seumuran kamu, Le.”

Linda menghela nafas, barulah dia mengerti apa yang sedang dialami Bapak dihadapannya sekarang. Kembali ia teringat kata-kata ayahnya.

”Kowe iki, cah lanang siji-sijine, ora iso diatur. Ayah Ibumu didik kowe biar dadi wong apik. Ayah iki wis tua, Da, sudah dekat dengan kematian. Sopo sing neruskan usaha Ayah jika Ayah mati, yo kowe, Le.”

Malam yang takkan pernah Linda lupakan. Ibu menangis ketika Linda tak jua mau mendengarkan kata-kata Ayah. Srikandi, adik perempuannya juga turut menangis. Terasa hawa rumah membara, siap untuk meledak karena penghuninya saat itu tak ada yang mau mengalah. Linda tetap dengan keinginannya untuk hidup dengan gunung-gunungnya, cintanya pada tempat yang yang tinggi di atas bumi. Linda ingin bebas, hidup dengan impiannya sendiri tanpa ingin diusik dengan urusan-urusan yang mengikat dirinya, termasuk meneruskan usaha meubel Ayahnya.

Malam itu juga, Linda memutuskan untuk angkat kaki dari rumahnya. Meninggalkan tangis Ibu dan Srikandi serta nasihat-nasihat Ayahnya. Linda ingin bebas walau ia harus mengorbankan orang-orang dicintainya demi gunung-gunung yang tegak menjulang di muka bumi. Seminggu, dua minggu, sebulan, enam bulan Linda berkelana dari satu gunung ke gunung lain. Hingga sampailah ia di gunung Arjuna. Di sinilah pengembaraan Linda berakhir. Ia serasa menemukan tempat kelahirannya. Linda Arjunaswara bertekuk lutut di kaki Arjuna. Ia tak merasa kalah. Namun sebaliknya ia menemukan kemenangan di sini. Ia mendapat arti hidup yang sebenarnya. Slamet, Gede, Salak, Merapi tak mampu mengantarkannya pada dunia yang tak pernah ia sentuh. Cahaya yang datang menyinari hatinya yang gulita, setitik air yang menyiram kegersangan hatinya, kerinduannya pada Ibu dan Srikandi. Semuanya terobati ketika ia mengenal bidadari di Arjuna. Wulan, wanita yang mampu meruntuhkan tembok kekerasan yang membentengi hati Linda. Wulan yang mengenalkannya pada kedamaian hakiki. Ah, Wulanku, kau bidadariku, penyelamatku.

”Dia ora iso diatur, dinasihati mendhal kabeh. Bapak kepengen dia dadi wong apik. Kerja sing bener. Ora nongkrong-nongkrong lupa waktu, dolin ae... Joko, Joko... saiki ora ngerti cah iku dimana. Bapak wis nyerah nuturi, Le,” Kata-kata Bapak itu terpotong oleh kernet yang berteriak pada penumpang.

”Nusa Dua, Nusa Dua...yo Nusa Dua!”

Bis berhenti menurunkan penumpang yang turun di Nusa Dua, termasuk wanita yang berpenampilan seronok tadi. Kembali wanita itu melemparkan senyum kepada Linda, Linda membuang muka. Ia ingat wajah Wulan yang ayu nan lembut di rumah.

”Bapak bangga kalo punya anak kayak kamu. Biar pun dari penampilan rodo sangar tapi mau nyambut gawe, pagi-pagi wis berangkat kerja.”

Linda merasa tersindir mendengar kata-kata bapak itu tapi ada perasaan bahagia karena usahanya dihargai. Andai Ayah masih hidup tentu juga bangga melihat aku yang sekarang, pikir Linda.

”Bapak terlalu membesarkan. Saya mesti kerja buat ngasih makan anak istri saya, Pak.”

”O, dadi wis duwe istri to? Yen wis berkeluarga yo mesti tanggung jawab, nyambut gawe. Kerja napa, Le?”

“Usaha meubel, Pak. Neruskan usaha Ayah.”

“Bagus, bagus….Bapak doakan moga lancar usahane.”

“Amin, matur suwun, Pak.”

Linda dan Bapak tua terdiam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kondektur terus meneriakkan tempat yang dituju oleh penumpangnya. Bis menderu di antara kendaraan-kendaraan lainnya. Membelah arus lalu lintas yang mulai padat. Bis sudah hampir sampai di terminal Bungurasih. Tiba-tiba bapak tua itu menyentuh pundak Linda.

”Bapak turun duluan yo, Le. Hati-hati. Matur suwun mau mendengarkan cerita Bapak. Assalamu’alaikum.”

“Sama-sama, Pak. Wa’alaikumsalam.”

Bapak itu pun turun bersama penumpang lainnya sebelum bis sampai di Bungurasih. Linda menghembus nafas. Ada kelegaan yang ia rasa. Ia masih sempat menemukan jalan untuk kembali. Jalan kembali menuju harapan-harapan ayah ibunya. Walau tak sempat ayah melihatku yang sekarang, tentu ayah bangga di alam sana.

Bis sudah masuk Bungurasih. Hampir jam sembilan, terminal sudah ramai. Penuh dengan penumpang yang masuk dan keluar Bungurasih. Para pedangang asongan, loper koran, calo-calo simpang siur. Di antara laki-laki, perempuan, anak kecil, tentulah para copet sedang bersiap untuk melancarkan aksi mereka. Di sini memang rawan kalau tidak berhati-hati, waspada. Sudah berapa kali bis keluar masuk, suara mesinnya yang membisingkan telinga ditambah dengan musik dangdut koplo yang diputar penjual VCD di emperan terminal, bikin telinga jadi pekak. Lekas Linda mengayunkan langkah menuju angkot yang ia tuju. Salah satu rutinitas yang harus ia lalui tiap pagi sebelum tiba di tempat usahanya. Aku sih betah tinggal di rumah, memandangi Wulan yang makin hari makin cantik, apalagi sekarang Wulan mengandung anak kami yang pertama. Pikiran nakalku main. Ah piye to Linda, kowe mesti nyari duit buat Wulan dan anakmu yang mo lahir. Cepat-cepat Linda naik angkot yang sudah hendak berangkat. Sekali lagi ia merasakan kelegaan.

Sore hari.

Sehari sudah terlewati oleh Linda. Ia bersemangat untuk segera sampai di rumah. Bertemu dengan Wulan dan kembali mengusap-ngusap perut Wulan. Selepas ashar, Linda sudah berada kembali di dalam bis. Udara sore hari membuat Linda merasa nyaman. Ia hirup dalam-dalam hingga paru-parunya terisi penuh dengan udara yang sejuk. Sama seperti pagi tadi, ia dapat menempati tempat duduk yang duduk dekat jendela. Tempat yang strategis karena ia bisa menikmati pemandangan yang disuguhkan di sepanjang perjalanan pulangnya, di sore hari.

Linda kembali teringat Bapak yang ia temui di bis pagi tadi. Tak sempat ia menanyakan alamatnya. Jika aku tahu alamatnya tentu sekali waktu aku bisa datang berkunjung, sekedar menghibur beliau. Bis telah masuk Lawang. Linda terpaku pada pemandangan alam di luar bis. Ia lirik arloji yang menempel di pergelangan kirinya, lima lima belas. Sebentar lagi lukisan alam akan disuguhkan kepadanya. Linda hafal benar kapan pemandangan itu akan tampil penuh dengan pesona. Cahaya itu menghidupkan hatinya. Tingginya mengingatkan ia terhadap kuasa Tuhan. Keindahannya membuat ia tak henti bersyukur. Saat ini belum ia temukan suguhan yang sebenarnya. Sebentar lagi...ya sebentar lagi. Dan... Ya akhirnya, lukisan alam kini terhampar di depan matanya, ia lihat seutuhnya. Cahayanya yang tersebar di kakinya. Berkelap-kelip seolah-olah kunang-kunang yang hinggap di hijaunya batang pohon yang besar. Berkelap-kelip di kaki Arjuna. Arjuna, tempat ia menemukan cahaya yang sesungguhnya, tempat ia menemukan belahan hatinya, tempat ia merasa terlahir kembali dengan nama yang ia bangga menyandangnya, Linda Arjunaswara. Beberapa saat Linda terhanyut dalam keasyikannya menikmati Arjuna dengan kelap-kelip kunang-kunang di kakinya. Tiba-tiba pundaknya ditepuk dengan sangat lembut dari samping. Tersentak Linda dari keasyikannya. Menoleh ke sumber tepukan tadi.

”Pa Kabar, Nak?”

Bapak yang tadi pagi? Linda menjerit dalam hati. Kapan beliau naik, rasanya bis tidak berhenti menaikkan penumpang.

”Eh...Bapak, saya kira sapa, Pak.”

Bapak itu tersenyum Senyumnya kali ini tampak lebih lepas. Pecinya masih bertengger rapi di kepalanya. Sorot matanya tak lagi menyiratkan kegelisahan. Linda kembali merasa lega.

”Alhamdulillah, baek, Pak.”

”Alhamdulillah....”

”Bapak badhe wangsul?”

Linda merasa kikuk mendapatkan tatapan lembut Bapak tua itu. Kembali ia teringat Ayahnya. Bapak tua itu mengangguk pelan dengan senyum yang terus menghias wajah keriputnya.

”Ya, Le. Wangsul. Bapak lega, Le. Kepulangan Bapak pasti ditunggu istri Bapak. Bapak senang bisa kumpul lagi dengan istri Bapak. Sudah setahun kami ndak bersama-sama.”

Linda mengernyitkan dahi. Tidak berkumpul selama setahun, emangnya istrinya dimana? Linda merasa ada kejanggalan tapi ia tak bernai bertanya lebih lanjut. Takut mencampuri urusan pribadi orang.

”O.... Memang, Pak, seharian ndak ktemu ma istri dadi kangen, Pak.”

Keduanya tertawa. Linda sempat melihat perempuan yang duduk di depannya menoleh padanya. Tatapan matanya aneh. Begitu juga dengan laki-laki yang duduk paling depan, turut menatapnya dengan heran. Linda tak mengacuhkan mereka. Kembali ia berbicara dengan Bapak tua.

”Bapak turun dimana?”

”Di depan, sebentar lagi.”

Linda kebingungan melanjutkan percakapannya dengan Bapak tua. Seolah-olah mengerti apa yang ada dibingungkan oleh Linda, Bapak itu kembali berceloteh.

”Dari tadi Bapak perhatikan, kamu ngliatin Arjuna trus. Pernah ke sana to?”

Linda tertegun. Darimana Bapak ini tahu kalau aku sedang memperhatikan Arjuna? Rasanya belum sampai lima menit Bapak ini duduk di sini. Aneh. Linda menepis rasa penasarannya. Sempat ia lirik jam di tangannya, hampir pukul enam. Adzan maghrib pun sudah dikumandangkan.

”Oh...dulu pernah, Pak. Di sanalah saya ktemu dengan istri saya.”

”Oalah...makane serius tenan ngliatin Arjuna.”

Bapak itu kembali tersenyum. Sungguh sangat berbeda dengan sosoknya yang dijumpai Linda tadi pagi. Tapi, Linda menangkap ada hal yang aneh dari sosok laki-laki di hadapannya. Sedari tadi memang Bapak itu tersenyum dan wajahnya tampak bahagia, namun semua itu tidak menutupi kepasiannya. Wajahnya putih pasi. Seakan disinari oleh cahaya yang entah darimana datangnya. Seperti cahaya kunang-kunang di kaki Arjuna, Linda betah untuk menerima cahaya yang memancar dari wajah Bapak tua itu.

”Nyuwun sewu, Bapak sakit? Wajah Bapak pucat.”

Bapak itu tetap tenang, tak lupa senyumnya masih bertengger di bibirnya yang hitam. Tiba-tiba Bapak itu mengarahkan telunjuknya ke arah Arjuna. Kontan Linda mengikuti arah yang ditunjuk oleh Bapak itu.

Dilihat oleh Linda, Arjuna tampak semakin gagah. Di keremangan cahaya senja, Arjuna menjadi misterius. Senja yang indah dengan kelap-kelip cahaya lampu neon dari rumah di kaki Arjuna. Seratus, lima ratus, tujuh rarus, atau bahkan seribu cahaya yang menghias Arjuna. Kunang-kunang yang indah, membuat Arjuna semakin indah. Linda takjub, seakan ia menyatu dengan apa yang terhampar di depannya sekarang. Ia adalah bagian dari semua itu. Akan ia ceritakan sesampainya di rumah kepada istrinya tentang apa yang dilihatnya sekarang ini.

Khusyuk Linda terusik oleh teriakan kernet, bis berhenti menurunkan penumpang. Yang turun adalah seorang perempuan. Linda lantas berpaling hendak berbicara kepada Bapak tua. Namun, Bapak tua tak ada lagi di sampingnya. Linda terkaget, kapan beliau turun? Linda melihat ke sekelilingnya, mungkin saja Bapak tua itu pindah tempat duduk yang lebih nyaman. Tidak ada. Linda hanya mendapati kembali tatapan aneh dari laki-laki yang duduk di depannya.

”Napa, Mas? Wis sadar ta? Dari tadi saya liat Mas ngomong dhewe...Sudah saya tegur tapi Mas ndak merhatiin.”

Laki-laki itu geleng-geleng kepala, tersenyum seakan menertawakan kebodohan Linda. Ngomong sendiri? Linda semakin bingung, dia tadi sedang bercakap-cakap dengan Bapak tua itu, kenapa dia dianggap ngomong sendiri.

”Saya ndak ngomong sendiri kok, Pak. Tadi ada Bapak tua ngobrol-ngobrol ma saya. Mosok Bapak ndak liat?”

“Mas iki ojo ngawur to? Capek yo capek, Mas, tapi ojo dadi wong sing ndak waras.”

“Bener, Mas. Mas dari tadi ngomong sendiri. Saya juga dah negur Mas...eh tapi ndak digubris.”

Perempuan yang juga tadi melihat Linda dengan tatapan aneh ikut memberikan penjelasan kepada Linda. Linda semakin tidak mengerti. Ia merasa benar-benar sedang bercakap-cakap dengan Bapak tua itu. Lalu bapak itu kemana sekarang. Apa memang benar aku ngomong sendiri yo? Linda merasa ia terbawa perasaannya, rindu terhadap sosok ayahnya yang terwakili dengan hadirnya Bapak tua tadi. Itulah yang ada di benak Linda sekarang. Ia tak habis pikir, kenapa ia menjadi seperti ini. Dua orang yang mengatakannya berbicara sendiri. Apakah tidak cukup kuat untuk membuktikan itu semua. Linda menggeleng-gelengkan kepalanya. Menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia membuang muka ke jendela. Arjuna sudah tak kelihatan lagi. Di luar hari semakin gelap.

Dengan rasa penasaran yang masih tersimpan di kepalanya. Arjuna bangkit dari tempat duduknya. Ia akan turun di depan. Sebelum beranjak, laki-laki yang tadi berpesan kepadanya, ”Hati-hati, Mas. Ojo nglamun ae...engku kesambet.” Linda tersenyum kecut padanya. Linda berdiri dekat sang kernet dan memberi isyarat agar bis berhenti di depan. Namun, bis direm mendadak oleh si sopir. Linda terkejut, untung pegangannya cukup kuat pada palang besi.

”Oalah...ono kecelakaan ning ngarep.”

Si sopir berbicara keras. Sengaja agar penumpang tahu apa yang mengakibatkannya mengerem bis tiba-tiba.

”Turun di sini saja, Mas. Daripada turun di depan.”

Akhirnya Linda turun sebelum tempat dimana seharusnya ia turun. Linda berjalan menyisiri jalan yang lumayan macet gara-gara ada kecelakaan tersebut. Polisi sibuk mengatur lalu lintas agar tidak bertambah macet. Orang-orang ikut-ikutan meramaikan kemacetan itu. Mereka penasaran dengan korban yang ternyata masih ada di sana. Linda heran kenapa orang-orang tidak merasa ngeri, mereka malah mencari-cari tahu si korban yang telah ditutupi koran. Tabrak lari. Laki-laki tua ditabrak kijang yang ngebut. Selintas Linda mendengarnya sembari ia terus berjalan menuju perhentian angkot di depan. Linda tidak terlalu menghiraukan situasi itu, ia terus berjalan sembari mengingat-ingat kejadian di bis tadi. Langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah peci hitam. Peci yang tergeletak di pinggir jalan, tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia langsung teringat bapak tua dengan pecinya. Ia berlari kembali ke tempat korban kecelakaan yang sudah ia lalui. Terlambat. Korban mulai diangkat ke ambulance. Di tengah desakan orang-orang, Linda menangkap wajah korban yang kainnya tersingkap. Tidak jelas memang. Tapi wajah itu disinari cahaya yang entah darimana datangnya. Wajah yang ia dapati tadi di bis.



Jombang di siang hari, 12 Juni 2006



Footnote

[1] silahkan

[2] permisi

[3] iya

Related Articles :


Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

1 komentar:

rumah kepompong mengatakan...

judulnya mirip s"Seribu Kunang-Kunang di Manhatan", ternyata isinya beda

Posting Komentar

 

Rumah Kata Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha