A. PENGERTIANa. Pendekatan AnalitisPendekatan analitis merupakan salah satu pendekatan di antara sejumlah pendekatan yang telah dikemukakan oleh J. N. Hook. Pengertian pendekatan analitis menurut Aminuddin (2004:163) adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehingga mampu membangun adanya kesalarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya. Pengertian ini masih bersifat umum karena rumusan pengertian tersebut belum mengacu pada salah satu genre sastra tertentu, apakah itu prosa fiksi ataukah puisi.
Pengertian pendekatan analitis dalam mengapresiasi puisi adalah pendekatan yang secara sistematis objektif berusaha memahami unsur-unsur intrinsik dalam puisi, mengidentifikasi peranan setiap unsur intrinsik dalam puisi serta berusaha memahami bagaimana hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya (Aminuddin, 2004:164).
Menurut Aminuddin (2004:163), ciri-ciri pendekatan analitis dalam mengapresiasi puisi adalah sebagai berikut.
- Dalam pendekatan analitis, penelaah menyikapi puisi sebagai realitas yang memiliki keunikannya sendiri dan berbeda dengan realitas yang terdapat dalam bacaan lain.
- Dalam pendekatan analitis, penelaah menyikapi puisi sebagai suatu kesatuan yang dibentuk oleh unsur-unsur intrinsik tertentu. Setiap unsur intrinsik dalam puisi dapat dianalisis secara terpisah meskipun akhirnya harus membuahkan kesimpulan yang mendukung suatu kesatuan.
- Berbeda dengan bentuk pendekatan lainnya, pendekatan analitis dalam mengapresiasi puisi adalah suatu pendekatan yang paling bersifat literer karena pendekatan tersebut berusaha menganalisis keseluruhan unsur intrinsik dalam puisi serta berusaha memahami dan menyimpulkannya.
- Pendekatan analitis dalam mengapresiasi puisi harus membuahkan kesimpulan yang objektif dan sistematis. Oleh sebab itu, ciri metode kerja dalam pendekatan analitis haruslah bersifat saintifik, dalam arti penelaah harus memiliki landasan teori yang jelas, maupun bersikap objektif serta bekerja secara sistematis.
- Hasil penerapan pendekatan analitis harus mampu menggambarkan peranan setiap unsur intrinsik suatu puisi serta mampu menggambarkan bagaimana hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainnya dalam rangka membangun suatu kesatuan.
b. Pendekatan Strukturalisme GenetikLucien Goldmann adalah orang yang mengembangkan fenomena hubungan antara sastra dengan masyarakat dengan teorinya yang dikenal dengan dengan nama strukturalisme genetik. Dalam hal ini, Goldmann mengemukakan bahwa fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna. Semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Menurut Goldmann dalam Fananie (2000:164), sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya. Karya sastra yang besar oleh Goldmann dianggap sebagai fakta sosial dan subjek transindividual karena merupakan hasil aktivitas yang objeknya merupakan alam semesta dan kelompok manusia.
Strukturalisme genetik adalah hubungan genetik yang merupakan keterikatan antara pandangan dunia penulis dalam sebuah karya dengan pandangan dunia pada ruang dan waktu tertentu (Fananie, 2000:118). Menurut Teeauw dalam Fananie (2000:118), dalam pengertian ini karya sastra dapat dipahami asalnya dan kejadiannya.
Menurut Goldmann dalam Fananie (2000:120), sebuah analisis strukturalisme genetik didasarkan faktor kesejarahan karena tanpa menghubungkan dengan fakta-fakta sejarah pada suatu subjek kolektif dimana karya tersebut diciptakan, tidak seorang pun akan mampu memahami secara komprehensif worldview atau hakikat makna dari karya yang dipelajari.
B. PENDEKATAN ANALITIS DAN STRUKTURALISME GENETIK DALAM PUISI MEMBACA TANDA-TANDA KARYA TAUFIK ISMAILMembaca Tanda-tandaAda sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan dan meluncur lewat sela-sela jari kitaAda sesuatu yang mulanya tidak begitu jelas tapi kita kini mulai merindukannyaKita saksikan udara abu-abu warnanyaKita saksikan air danau yang semakin surut jadinyaBurung-burung keciltak lagi berkicau pergi hariHutan kehilangan rantingRanting kehilangan daunDaun kehilangan dahanDahan kehilangan hutanKita saksikan zat asam didesak asam arangdan karbon dioksid itu menggilas paru-paruKita saksikan Gunung memompa abuAbu membawa batuBatu membawa linduLindu membawa longsor Longsor membawa airAir membawa banjirBanjir membawa air air mataKita telah saksikan seribu tanda-tandaBisakah kita membaca tanda-tanda?AllahKami telah membaca gempaKami telah disapu banjirKami telah dihalau api dan hamaKami telah dihujani api dan batu AllahAmpunilah dosa-dosa kamiBeri kami kearifan membacaSeribu tanda-tandaKarena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan dan meluncur lewat sela-sela jari Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas tapi kini kami mulai merindukannyaKarya: Taufik Ismail
Menurut Ismail dalam Santosa (2002:214) karya-karyanya yang dibuat bertolak dari: angan-angan, kenyataan, kepekaan, kepekakan, kekenyangan, kelaparan, nyeri, cinta, ketidakpastian, penindasan, penyesalan, kecongkakan, kekebalan, tekad, ketidakpastian, kelahiran, maut, kefanaan, dan ke-Yang Gaiban” . Dengan demikian, titik tolak keberangkatan Taufik Ismail dalam kepenyairannya adalah realitas hidup manusia. Dari realitas hidup yang bermacam-macam itu kemudian dilakukan pembacaan yang seluas-luasnya, selanjutnya ia berkarya, menulis kisah sajakan yang menghibur dan bermuatan pendidikan, serta pada akhirnya ia menyampaikan kabar itu kepada pembaca atau pendengarnya.
Realitas hidup yang dihadapi penyair yang dikategorikan oleh H. B. Jassin (1968) sebagai “Penyair Angkatan 66” ini adalah dua dunia yang saling beroposisi atau berpasangan. Ada suka dan ada duka, ada angan-angan dan ada kenyataan, ada kelahiran dan ada kematian, ada kecongkakan dan ada pula kesantunan, ada kekacauan dan ada kedamaian, dan sebagainya.
Sebagai seorang muslim, visi dan misi kepenyairan Taufik Ismail dalam segala tindakannya, termasuk dalam hal menciptakan puisi, berkewajiban mengamalkan isi Al-Quran sebagai tuntunan hidupnya. Menurut Santosa (2002:215), tindakan yang dilakukan oleh Taufik Ismail ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imran:190-191.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda ke-Maha Esa-an Allah bagi orang-orang yang menggunakan pikiran, yaitu orang-orang yang mengingat Allah waktu berdiri, waktu duduk, dan waktu berbaring, dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah sia-sia Engkau menciptakan ini semua! Maha Suci Engkau! Lindungilah kami dari siksaan api neraka.’”
Ayat di atas memberikan petunjuk kepada kita bahwa orang yang menggunakan pikirannya wajib menangkap dan meyakini bahwa semua gejala alam yang terbentang di dunia ini-bergeraknya angin, bergantinya siang dan malam, berputarnya bumi mengelilingi matahari, tersebarnya bintang-bintang di langit, daun yang gugur, dan semua makhluk ciptaan Allah-itu merupakan tanda keagungan , kebijaksanaan, keadilan, dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu, orang yang memiliki pikiran tidak akan leka siang maupun malam, waktu kapan saja-baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring-selalu menggunakannya untuk dapat “membaca tanda-tanda” atau fenomena alam agar semua yang diciptakan Allah tidaklah sia-sia. Membaca (iqra’) dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk membaca tanda-tanda gejala alam, jelas merupakan petunjuk Allah kepada kita agar memiliki kearifan menangkap “kalam ikhtibar”, sastra yang tidak tertuliskan atau firman yang tidak terlisankan (Santosa, 2002:215).
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia yang menciptakan dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. Al ‘Alaq:1-5)
Melalui puisi “Membaca Tanda-tanda” Taufik Ismail ingin mengajak pembaca melakukan kegiatan membaca terhadap gejala-gejala alam yang terjadi di sekitar kita. Kemampuan Taufik Ismail membaca tanda-tanda zaman tersebut sebagai suatu kabar kepada kita agar memperhatikan gejala alam yang semakin lama lepas dari genggaman tangan kita. Ada sesuatu yang hilang, ada sesuatu yang harus kita raih kembali seperti mulanya. Manusia tentu akan merindukan suasana yang alami, yang semurni-murninya, suasana alam sebelum terjamah oleh tangan-tangan teknologi manusia.
Membaca tanda-tanda zaman seperti yang dilakukan oleh Taufik Ismail itu sebagai suatu respon atau tanggapannya terhadap realitas, seperti pengakuannya: “Saya merasa lega karena lewat puisi saya dapat merespon secara estetis berbagai peristiwa dan masalah bangsa terkini, baik itu politik, ekonomi, hukum, keamanan, dan kemasyarakatan (Kakilangit dalam Santosa, 2002:218). Selain itu juga, puisi-puisi karya Taufik Ismail merupakan puisi naratif, puisi berkabar, yang merespon situasi yang terjadi di dalam masyarakat. Dan tidaklah salah bila Taufik Ismail dikategorikan penyair yang berjiwa sosial yang tinggi.
Di dalam puisi “Membaca Tanda-tanda”, banyak gejala alam yang Taufik Ismail ambil sebagai sumber inspirasinya., misalnya dalam bait kedua, ketiga, keempat, sampai dengan bait ketujuh.
…Kita saksikan udara/ abu-abu warnanya/ Kita saksikan air danau/ yang semakin surut jadinya/ Burung-burung kecil/ tak lagi berkicau pagi hari//Hutan kehilangan ranting/ Ranting kehilangan daun/ Daun kehilangan dahan/ Dahan kehilangan hutan// Kita saksikan zat asam/ didesak asam arang/ dan karbon dioksid itu menggilas paru-paru// Kita saksikan/ Gunung memompa abu/ Abu membawa batu/ Batu membawa lindu/ Lindu membawa longsor/ Longsor membawa air/ Air membawa banjir/ Banjir membawa air/ air/ mata//…Taufik Ismail ingin mengajak pembaca untuk memperhatikan, mengamati perubahan alam yang terjadi, merenungi semua yang telah dilakukan yang di dalam puisinya memakai pilihan kata “membaca”: membaca gempa, disapu banjir, dihalau api dan hama, dihujani abu dan batu (bait ketujuh).
Bait pertama sebagai pengantar menuju isi merupakan ungkapan Taufik Ismail yang merasa kehilangan sesuatu, yang dirasakan juga oleh insan manusia yang lain, namun sesuatu itu belum jelas dan masih gamang. Tetapi, pada bait selanjutnya, Taufik Ismail memberikan tanda-tanda yang membuatnya merasa kehilangan dan dilanda kerinduan, tanda-tanda itu diantaranya: udara yang telah berwarna abu-abu (lambang untuk pencemaran udara yang terjadi pada saat ini), air danau yang semakin surut, burung-burung yang tak lagi berkicau (akibat tak ada tempat bagi mereka untuk bersarang, penebangan hutan/ pohon/ perburuan).
Pencemaran udara, penebangan hutan, perburuan liar, dan sebagainya telah membawa dan mengundang berbagai macam bencana, mulai dari gunung berapi, gempa bumi, longsor, dan banjir yang semuanya itu memakan korban jiwa:
Kita saksikan/ Gunung memompa abu/ Abu membawa batu/ Batu membawa lindu/ Lindu membawa longsor/ Longsor membawa air/ Air membawa banjir/ Banjir membawa air/ air/ mata//Manusia yang lalai akan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya sebagai khalifah di muka bumi, telah merusak keseimbangan alam sehingga timbullah berbagai bencana alam yang terjadi. Namun semuanya tidak lepas dari kehendak Sang Pencipta dan Yang Maha Memiliki. Dia tengah menguji makhluk-Nya dengan ditimpakannya musibah dan bencana, apakah makhluk itu sabar dan sadar terhadap segala apa yang telah diperbuatnya.
Pada bait ketujuh, kedelapan, dan kesembilan menandakan suatu kesadaran dan rasa ingin kembali, doa, dan pengampunan dosa seorang hamba kepada Sang Khalik.
…Allah/ ampunilah dosa-dosa kami// Beri kami kearifan membaca/ Seribu tanda-tanda//…Kemudian, dalam bait kesepuluh dan kesebelas berisi tentang pernyataan ulang tentang sesuatu yang dirasa telah hilang dan kini mulai dirindukan, yaitu suasana alami yang semurni-murninya, suasana alam sebelum terjamah oleh tangan-tangan teknologi manusia.
Pilihan kata yang dipakai oleh Taufik Ismail sebagian besar mengandung sindiran dan refleksi terhadap diri pribadi manusia sebagai hamba Allah. Dalam mengungkapkan mulai rusak dan punahnya hutan Taufik Ismail menggunakan kata kehilangan:
Hutan kehilangan ranting/ Ranting kehilangan daun/ Daun kehilangan dahan/ Dahan kehilangan hutan//. Begitu juga pengungkapan bencana alam seperti banjir, gempa, longsor, gunung meletus yang ada di bait kelima. Banyak terdapat kata konkret di dalam puisi Taufik Ismail ini, diantaranya udara, air danau, burung kecil, hutan, ranting, daun, dahan, gunung, abu, batu, longsor, banjir, dan sebagainya. Hal yang menarik dari puisi ini adalah kata ganti yang dipakai “kami” dan “kita”. Kata ganti yang dipakai di dalam puisi ini memberikan kesan bahwa Taufik Ismail mengajak pembaca turut merasakan apa yang dirasakannya, turut merenung terhadap apa yang telah kita perbuat terhadap alam lingkungan sekitar, dan memohon ampunan terhadap dosa-dosa yang telah dilakukan.
Tipografi puisi yang digunakan oleh Taufik Ismail merupakan gabungan dari bentuk yang konvensional dan inkonvensional. Bentuk yang inkonvesional terdapat pada bait pertama, kedua, keempat, kesepuluh, dan kesebelas. Bentuknya yang menggantung dengan huruf besar di baris pertamanya yang kemudian pada awal baris berikutnya diawali dengan huruf kecil. Bila kita membacanya seperti kita membaca prosa atau naskah biasa maka akan kita dapat bahwa itu merupakan satu kalimat, namun dalam puisi ini dibentuk sedemikian rupa sehingga ide tidak kelihatan tampak biasa tetapi menjadi luar biasa. Dengan bentuk yang seperti ini juga mempengaruhi nada dan suasana ketika membaca puisi ini. Nada dan suasana yang ada dalam puisi ini sedih, sunyi, penuh resapan hati.
Permainan bunyi juga digunakan Taufik Ismail dalam puisinya ini. Asonansi a mendominasi pada bait pertama. Pada bait pertama juga terdapat rima dalam. Selain pada bait pertama, asonansi a juga terdapat dalam bait keenam. Sedangkan kakofoni ada pada bait ketiga, keempat, dan kelima. Di bait pertama dan keenam terdapat rima dalam, sedangkan untuk rima akhir terdapat pada bait kedua, ketiga, dan kelima. Rima identik juga menghiasi puisi ini, diantaranya pada bait pertama dan kedua, bait kesepuluh dan kesebelas, berikut salah satu kutipannya.
Kita saksikan zat asam
Didesak asam arang
…
Kita saksikan
Gunung memompa abu
…
Aliterasi nampak jelas pada bait ketiga yaitu adanya aliterasi /n/ yang menambah suasana gundah, mendukung kakofoni.
Gaya bahasa juga turut berperan serta dalam menciptakan suasan yang sunyi, gundah, dan sendu. Paradoks yang terdapat pada bait kedua baris pertama, kedua, dan ketiga: Ada sesuatu yang mulanya/ tidak begitu jelas/ tapi kini kita mulai merindukannya. Anafora juga menghiasi bait kedua dengan pengulangan kata kita saksikan di awal baris. Di bait ketiga terdapat gaya bahasa mesodiplosis, yaitu adanya pengulangan kata kehilangan yang semuanya terdapat pada tengah baris. Di bait kelima juga terdapat mesodiplosis, yaitu pengulangan kata membawa. Anafora pada bait kedua dengan pengulangan kata kita saksikan di awal baris namun masih dalam satu bait, juga pada bait ketujuh. Gaya bahasa polisidenton di bait keempat dengan penggunaan kata yang sama maknanya yaitu kata asam arang dan karbon dioksid. Gaya bahasa satire terdapat pada bait keenam: Bisakah kita membaca tanda-tanda? Gaya bahasa klimaks dipergunakan pada bait kelima yang menyatakan suatu kejadian yang memuncak dari berbagai bencana yang terjadi yaitu mendatangkan tangis, jeritan, yang bisa saja mewakili keadaan yang sangat sedih atau kematian.
Citraan yang banyak digunakan oleh Taufik Ismail dalam puisi ini adalah citra perasaan dan penglihatan. Citra perasaan bisa dilihat di bait pertama dan kesepuluh, dimana bisa diidentifikasikan melalui kata “yang rasanya”. Sedangkan untuk citra penglihatan ada pada bait kedua, keempat, dan kelima yang menggunakan kata “saksikan”.
Pemakaian majas sangat minim sekali. Majas yang digunakan oleh Taufik Ismail adalah majas personifikasi dalam bait kelima.
Dari semua unsur-unsur intrinsik itu mendukung ide atau gagasan yang ingin diungkapkan oleh Taufik Ismail. Semuanya membentuk satu kesatuan yang membuat suasana dalam puisi mengajak pembaca untuk turut serta merasakan apa yang dirasakan oleh sang penyair. Suasana yang sendu dan sunyi karena seorang hamba memohon ampun kepada Sang Khalik atas dosa-dosanya (berdoa), gundah karena merasa kehilangan sesuatu dan merindukannya, sedih karena alam yang mulai tidak bersahabat kepada manusia.
C. PENDEKATAN ANALITIS DAN STRUKTURALISME GENETIK DALAM PUISI EPISODE KARYA W. S. RENDRAEpisodeKami duduk berduadi bangku halaman rumahnya.Pohon jambu di halaman ituberbuah dengan lebatnyadan kami senang memandangnya.Angin yang lewatmemainkan daun yang berguguranTiba-tiba ia bertanya:“Mengapa sebuah kancing bajumulepas terbuka?”Aku hanya tertawa.Lalu ia sematkan dengan mesrasebuah peniti menutup bajuku.Sementara itu aku bersihkanguguran bungan jambuyang mengotori rambutnya.(1971)Episode, sebuah puisi karya Rendra yang didasarkan pada sesuatu yang berasal dari alam. Sesuatu yang berasal dari alam ini kemudian diambil oleh penyair dalam karyanya karena dianggap mampu mewakili isi atau maksud yang hendak disampaikan penyair kepada pembaca. Coba simak baris kedua sampai dengan ketujuh dari puisi di atas. Di bangku halaman rumahnya, kalau kita perhatikan di dunia nyata, bukankah sering kita lihat sebuah rumah yang memiliki bangku. Bangku itu sering digunakan oleh pemilik rumah untuk duduk santai atau menerima tamu yang menginginkan suasana yang tidak resmi, dan bahkan juga digunakan oleh sepasang kekasih yang sedang bercengkrama. Bangku yang terdapat di halaman rumah tentu saja selalu ada yang meneduhinya dan biasanya peneduh itu adalah pepohonan yang sengaja ditanam di halaman rumah. Pohon-pohon yang biasa ditanam di halaman rumah biasanya mangga, rambutan, belimbing, atau pohon jambu. Namun, dalam puisi ini Rendra benar-benar terinspirasi dengan pohon jambu (jambu air) yang bunganya mampu diterbangkan oleh angin hingga sering berserakan di bawah pohonnya. Di sinilah letak kejelian Rendra karena dengan menggunakan pohon jambu ia mendapatkan ide yang benar-benar menjadi inti dari puisi ini, yaitu yang terdapat pada baris keenam belas dan ketujuh belas:
…aku bersihkan/ guguran bunga jambu/ yang mengotori rambutnya//Puisi ini mewakili kehidupan nyata dan mungkin juga pengalaman dari seorang Rendra. Dua sejoli yang tengah duduk di halaman rumah, di bawah pohon jambu. Suasana ini kemungkinan besar terjadi di waktu sore hari dimana angin bertiup sepoi-sepoi:
…Angin yang lewat/ memainkan daun yang berguguran// Kejadian ini tentu tidak mungkin terjadi di siang hari yang terik dan jarang angin bertiup. Sejak duduk pertama kali di bangku itu, dua sejoli itu masih saling malu-malu dan hanya mampu memandang pohon jambu yang tengah berbuah lebatnya sebagai temapt mengalihkan perhatian pasangannya agar tidak melihat rasa kegelisahannya:
…Pohon jambu di halaman itu/ berbuah dengan lebatnya/ dan kami senang memandangnya//. Namun, rasa kaku di antara mereka mencair karena tiba-tiba sang kekasih bertanya kepada pasangannya “Mengapa sebuah kancing bajumu lepas terbuka?”. Hal ini merupakan tanda perhatian sang kekasih terhadap pasangannya karena secara diam-diam ia memperhatikan orang yang duduk di sampingnya. Si pasangan bersikap cuek terhadap hal tersebut dan hanya tertawa. Kejadian selanjutnya adalah hal puncak dari kekakuan mereka bersikap sejak pertama duduk di bawah pohon jambu. Sang kekasih dengan mesra menyematkan sebuah peniti (yang entah darimana ia temukan atau mungkin ia selalu membawa peniti kemanapun ia pergi) menutup baju pasangannya. Akhirnya pasangannya pun berani membersihkan guguran bunga jambu yang mengotori rambut sang kekasihnya sekaligus membelai rambutnya.
Gagasan tersebut terjalin apik dalam puisi itu dengan dibalut unsur-unsur intrinsik puisi yang mendukungnya. Tidak semuanya memang unsur-unsur intrinsik ada dalam puisi tersebut. Puisi ini miskin akan majas, hanya majas personifikasi yang menghiasi puisi ini yaitu ada pada baris keenam dan ketujuh:
…Angin yang lewat/ memainkan daun yang berguguran//Unsur intrinsik yang mendominasi adalah diksi dan bunyi. Kata-kata yang dipakai oleh Rendra adalah kata yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, misalnya bangku, halaman, rumah, pohon, jambu, dan sebagainya dan semuanya juga termasuk kata konkret. Puisi ini memang termasuk puisi naratif yang berisi tentang sebuah cerita sehingga kata-kata yang dipilih adalah kata-kata yang sederhana, yang mudah dimengerti sehingga pembaca tidak merasa kesulitan untuk memahaminya dsan mengikuti jakan cerita (episode). Hal ini juga mungkin disengaja oleh Rendra yang biasanya dalam puisinya tercantum simbol-simbol yang perlu diparafrasekan dulu untuk dapat memahaminya.
Banyak terdapat asonansi a dalam puisi ini. Hampir tiap larik didominasi vokal a dan sisanya adalah bunyi vokal u. Hal ini memang sesuai dengan suasana yang diinginkan oleh Rendra dalam puisinya yaitu suasana riang, gembira, bahagia, seperti yang terdapat pada larik kesebelas:
…Aku hanya tertawa//. Hal ini sudah dapat menunjukkan suasana yang gembira.
Gaya bahasa yang digunakan oleh Rendra sangat minim sekali, yaitu totem pro parte pada baris keduabelas dan ketigabelas:
…Lalu ia sematkan dengan mesra/ sebuah peniti menutup bajuku//. Sedangkan untuk majas terdapat majas personifikasi pada larik keenam dan ketujuh: …Angin yang lewat/ memainkan daun yang berguguran//. Sekilas ketika kita membaca puisi ini, seolah-olah semuanya terkesan lugas. Gaya bercerita yang ada dalam puisi ini memang hampir sama dengan gaya bercerita yang terdapat di prosa, akan tetapi karena penyusunan larik-larik yang ditata sedemikian rupa menjadikannya memiliki nilai estetika. Selain itu, jika kita perhatikan lebih dalam, Rendra memiliki kepiawaian yang khusus dalam menata tiap “episode” dengan bantuan hal-hal alami yang ia masukkan dalam puisi tersebut. Episode pertama adalah dua sejoli yang duduk di bangku halaman rumah di bawah pohon jambu. Episode yang kedua mereka berdua masih tampak kaku dan akhirnya pohon jambulah yang dijadikan sebagai tempat mengalihkan perhatian kegelisahan mereka. Episode yang ketiga ternyata sang kekasih mencuri-curi pandang terhadap pasangannya hingga ia menemukan kancing baju pasangannya terbuka. Selanjutnya, ia menyematkan peniti untuk menutup baju pasangannya. Episode terakhir adalah sang lelaki akhirnya memberanikan diri untuk membersihkan bunga jambu yang jatuh di rambut sang kekasih. Dari semua episode di atas maka tepatlah pemberian judul puisi di atas dengan judul “Episode”.
Dalam puisi ini banyak terdapat citraan penglihatan. Pembaca seolah-olah bisa melihat dua sejoli duduk di bangku halaman rumah. Di halaman rumah tersebut ada pohon jambu yang sedang berbuah dengan lebat. Daun yang berguguran ditiup angin dan seterusnya. Semua ini terwujud karena pilihan kata tadi.
Walaupun puisi Rendra ini tidak dapat dianalisis secara keseluruhan dengan menggunakan pendekatan analitis diakibatkan karena unsur-unsur intrinsiknya yang minim, akan tetapi apa yang ada di dalam puisi ini (dengan unsur intrinsik yang terbatas) tetap membentuk satu kesatuan sehingga terjalin sebuah episode.
D. PENDEKATAN ANALITIS DAN STRUKTURALISME GENETIK DALAM PUISI DALAM DOAKU KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO
Dalam DoakuDalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima suara-suaraKetika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskilkepada angin yang mendesau entah dari manaDalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga ituMagrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat pelahan dari nun di sana, yang bersijingkat di jalan kecil itu menyusup di celah-celah jendela dan pintu dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi dan bulu-bulu mataku(Sapardi Djoko Damono)Puisi karya Sapardi ini menggambarkan pergantian waktu dari terbitnya fajar (subuh) hingga senja hari (magrib). Puisi ini menggambarkan seorang pemeluk agama Islam yang beribadah di subuh hari, siang hari, petang hari, dan senja hari. Kata yang digunakan untuk mewakili istilah beribadah adalah dalam doaku. Dan Sapardi memang benar-benar pintar dalam meilih kata-kata hingga puisi ini bersifat universal, bisa dibaca oleh siapa pun dengan latar agama selain Islam. Namun bagi pembaca yang beragama Islam tentu saja langsung akan tertuju dengan istilah sholat, yang juga adalah ritual berdoa kepada Allah dengan waktu yang telah ditentukan pelaksanaannya. Dalam agama Islam istilah beribadah itu adalah sholat: sholat subuh, dzuhur, ashar, magrib, dan isya’.
Pada bait pertama adalah penggambaran suasana subuh. Dimana si aku khusyuk berdoa di tengah suasana subuh yang masih hening, sepi, dengan langit yang bersih, membentang luas, dan siap menerima sinar matahari pertama kali. Si aku begitu takjub akan kebesaran Sang Pencipta dan Yang Maha Memiliki langit di waktu subuh.
Dalam bait kedua menggambarkan waktu siang hari, waktu dzuhur: Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,…. Si aku merasakan Sang Khalik begitu dekat dengannya, seakan-akan Ia menjelma pucuk-pucuk cemara yang selalu hijau. Angin yang mendesau memberikan kesejukan di tengah hari yang biasanya begitu panas, namun dengan adanya pucuk-pucuk cemara yang hijau seakan-akan semuanya menjadi segar dan sejuk.
Pada bait berikutnya adalah gambaran suasana sore hari yang sedang gerimis. Angin yang mendesau di siang hari ternyata menandakan suasana yang hendak hujan. Si aku kembali berdoa di sore hari dan melihat ada seekor burung gereja yang hinggap di ranting pohon jambu. Burung gereja itu kehujanan di tengah gerimis dan tampak gelisah lalu hinggap di dahan mangga. Burung gereja diibaratkan hidayah dari Allah oleh si aku. Ia hinggap dimana pun ia mau, begitu juga dengan hidayah akan turun kepada manusia yang berusaha dan Allah menghendakinya.
Kemudian pada bait terakhir adalah suasana di senja hari, waktu magrib, dan si aku kembali berdoa. Si aku merasa Sang Khalik begitu dekat dengannya dengan menjelma menjadi angin yang turun sangat perlahan, yang bersijingkat dan menyusup di celah-celah jendela dan pintu yang kemudian menyentuh dahi dan bulu mata serta rambut si aku. Kita membayangkan mungkin saja si aku sedang bersujud. Suasana yang hening dan damai membuat si kau dapat merasakan perjalanan angin menuju ke arahnya. Angin yang merupakan berkah dari Allah.
Puisi Sapardi ini mengingatkan kita akan pentingnya waktu. Waktu yang tidak kita gunakan sebaik-baiknya untuk kegiatan yang berguna atau beribadah kepada-Nya akan menjadi sia-sia dan tidak menghasilkan apapun. Kita akan menjadi orang yang merugi. Masalah waktu memang sangat penting dalam agama Islam, waktu adalah pedang, jika kita tidak pandai menggunakannya maka waktu itu akan melukai kita. Dalam Islam waktu beribadah yang wajib sudah ditentukan yaitu sholat. Di luar itu umat Islam bisa menggunakannya untuk ibadah yang lain dan amalan sholeh lainnya. Seperti yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-‘Asr:1-3.
“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”
Yang dimaksud orang-orang beriman dalam agama Islam diantaranya adalah orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya, seperti yang termaktub dalam Q. S. Al-Mu’minun:1-6.
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam sholatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang yang menuanikan zakat, dan orang yang memelihara kemaluaannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki , maka sesungguhnya mereka tidak tercela.”
Begitu dalam makna puisi karya Sapardi, sebuah pencapaian seorang hamba yang tekun beribadah kepada Sang Khalik menemukan kedamaian dan kekhusyukan.
Bila kita analisis unsur-unsur intrinsiknya satu persatu maka akan kita temukan permainan bunyi yang memakau pembaca. Coba perhatikan larik demi larik puisi tersebut, pasti terdapat permainan bunyi yang menarik. Dalam bait pertama misalnya dapat kita temukan paduan vokal a dan u.
Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak
memejamkan mata yang meluas bening siap menerima
cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan
menerima suara-suara
Paduan vokal a dan u ini menimbulkan suasana yang gembira namun tetap khusyuk. Begitu juga yang terdapat pada bait kedua, adanya paduan vokal a dan u.
Irama yang ada dalam puisi ini juga menarik karena adanya perulangan bunyi yang berturut-turut dan bervariasi, diantaranya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Seperti yang disebutkan di atas bahwa puisi ini didominasi asonansi a dan u. Aliterasi yang ada dalam puisi ini tampak jelas pada bait kedua dan ketiga.
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku
kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa,
yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil
kepada angin yang mendesau entah dari mana
Aliterasi /ng/ dan /n/ tampak jelas dalam bait puisi di atas. Dengan adanya aliterasi ini menimbulkan irama yang benar-benar membuat pembaca tidak bosan untuk terus melanjutkan membaca puisi ini. Sedangkan sajak yang paling banyak ada dalam puisi ini adalah sajak mutlak. Rima identik juga menghiasi puisi ini, yaitu antara bait pertama dan ketiga.
Majas metafora banyak digunakan dalam puisi ini. Menjelma langit, menjelma pucuk-pucuk cemara, menjelma seekor burung gereja, dan menjelma angin. Majas personifikasi juga ada dalam puisi ini.
…kau menjelma langit yang semalaman tak
memejamkan mata yang meluas bening siap menerima
cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan
menerima suara-suara
Dalam bait kedua, ketiga, dan keempat pun terdapat majas personifikasi.
Pilihan kata yang digunakan oleh Sapardi adalah kata-kata yang sudah kita kenal. Sangat sederhana memang dalam pilihan kata yang dipakai tapi dengan diksi yang sederhana mampu menciptakan suasana yang bersahaja dan mampu membuat pembaca hanyut ke dalam puisi ini. Penggambaran waktu subuh yang damai dengan menggunakan kata langit yang semalaman yang tak memejamkan mata yang meluas bening….. Begitu juga dengan penggambaran waktu siang hari: matahari yang mengambang tenang di atas kepala….
Gaya bahasa Sapardi banyak repetisi sehingga tampak memperjelas maksud yang ingin disampaikannya. Dalam satu bait banyak terulang kata-kata yang sama namun dengan hal tersebut mampu menggambarkan suatu keadaan kepada pembaca.
Magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat
pelahan dari nun di sana, yang bersijingkat di jalan kecil
itu menyusup di celah-celah jendela dan pintu dan
menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi
dan bulu-bulu mataku
Bentuk tipografi puisi yang dipakai oleh Sapardi pun turut menyumbang dukungan terhadap kesatuan puisi ini. Setiap penggambaran waktu yang berbeda, ditulis dalam bait baru sedangkan baris di bawahnya ditulis menjorok (menggantung) ke dalam seolah-olah memberi penekanan pada awal bait di baris pertama begitu istimewa.
Pengimajian juga begitu kuat dalam puisi ini. Pembaca seakan-akan merasakan apa yang dirasakan oleh si aku dalam doanya. Citraan perasaanlah yang mendominasi dalam puisi ini dan hampir tiap bait terdapat citraan ini. Citraan perabaan terdapat pada bait keempat: menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi dan bulu-bulu mataku. Citraan penglihatan tampak pada bait pertama, kedua, dan ketiga.
Semua unsur-unsur intrinsik itu telah berhasil menghasilkan sebuah puisi yang bersahaja dalam pilihan katanya dan maknanya.
E. PERBANDINGAN HASIL APRESIASI PUISI DARI KETIGA PUISI DI ATASDari hasil apresiasi ketiga puisi di atas, yaitu, puisi “Membaca Tanda-tanda” karya Taufik Ismail, “Episode” karya W. S. Rendra, dan “Dalam Doaku” karya Sapardi Djoko Damono terdapat persamaan dalam hal penggunaan unsur-unsur intrinsiknya tidak semuanya dipakai lengkap. Ketiga penyair tidak terlalu mementingkan kelengkapan unsur-unsur intrinsik karena puisi mereka tergolong puisi naratif yang hendak menceritakan sesuatu kepada pembaca. Jadi, tidak ada sesuatu yang disembunyikan oleh penyair, penyair tidak bersembunyi di balik kata-kata yang untuk memahaminya pembaca perlu memparafrase terlebih dahulu. Puisi karya Taufik Ismail hampir memiliki ide yang sama dengan puisi karya Sapardi yaitu tentang ketuhanan, namun dalam puisi Taufik Ismail masalah ketuhanan didahului dengan masalah sosial yang terjadi di sekitarnya. Sedangkan puisi W. S. Rendra adalah bercerita tentang pengalaman pribadinya dan tidak menyinggung masalah sosial.
Taufik Ismail dan Sapardi sama-sama menggunakan gaya bahasa repetisi dalam menyampaikan gagasannya dalam puisinya. Sedangkan Rendra tidak menggunakannya. Puisi Rendra yang berjudul “Episode” ini miskin akan gaya bahasa dan majas, permainan bunyi pun hampir tidak ada, berbeda halnya dengan puisi karya Taufik dan Sapardi. Bunyi-bunyi ditata sedemikian rupa oleh Taufik dan Sapardi sehingga suasana yang tecipta benar-benar membuat pembaca hanyut di dalamnya. Namun, Rendra begitu pandai dalam mengatur episode-episode sehingga terjalinlah cerita yang romantis dan membuat pembaca turut tersenyum ketika membacanya.
Tipografi yang digunakan oleh ketiga penyair ini hampir memiliki kemiripan, sama-sama tidak mengikuti bentuk lazimnya puisi. Puisi Rendra yang hanya memiliki satu bait mampu mewadahi gagasan yang ingin disampaikannya. Berbeda halnya dengan puisi karya Taufik dan Sapardi, bentuk puisi mereka menggantung dan sangat panjang sekali. Namun, pembaca tidak bosan untuk menghabiskan puisi tersebut karena pilihan kata yang dipakai begitu sederhana dan tidak membuat pusing pembaca.
Dengan semua persamaan dan perbedaan yang ada di antara ketiga penyair tersebut membuktikan bahwa memang benar adanya jika Taufik Ismail, Rendra, dan Sapardi digolongkan oleh Jassin dalam satu angkatan yaitu angkatan 66.
F. DAFTAR RUJUKANAminuddin. 2004.
Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Fananie, Zainuddin. 2000.
Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University
Press.
Santosa, Puji dkk. 2002.
Bahasa dan Sastra Indonesia, Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI. Yogyakarta: Gama Media.