Kamis, 19 Agustus 2010

Seribu Kunang-Kunang di Kaki Arjuna


Cerpen Hafi Zha

Pagi.

Udara dingin menusuk tulang. Kabut masih menutup jalan. Linda masih kelihatan mengantuk, wajahnya kusut dengan rambut panjangnya yang acak-acakan. Matanya setengah terpejam ketika seorang laki-laki separuh baya duduk di sampingnya.

”Permisi, Nak.”

”Oh, monggo[1] Pak.”

Segera Linda merapikan dirinya. Tak ingin ia kelihatan kumal di hadapan seorang bapak yang berpakaian rapi dengan peci bertengger di kepalanya. Linda melemparkan senyum ke bapak yang telah duduk di sampingnya. Bapak itu pun membalas senyum Linda.

”Nyuwun sewu[2], Pak. Bapak ke Surabaya juga?”

Linda membuka percakapan. Ia berusaha untuk ramah dengan orang yang baru dikenalnya. Ini bisa jadi pelajaran pertama buatku di hari ini, pikir Linda dalam hati.

”Inggih[3], Nak. Nak sendiri?”

”Sama, Pak. Kerja.”

”Cah bagus....”

Linda menunggu lanjutan kata-kata bapak itu namun tak kunjung ia dengar. Ia pandangi wajah laki-laki itu yang sekarang berubah muram, seakan ada awan mendung yang menyelimutinya dan siap menurunkan hujan. Linda begitu tertarik untuk terus memandangi wajah yang tidak lagi muda itu, namun ada sesuatu yang tersembunyi di balik gurat-gurat wajah itu. Linda tak meneruskan niatnya, tak sopan pikirnya. Linda mengalihkan matanya ke bawah, mengamati sepatu bututnya yang setia menemaninya pergi kerja. Diliriknya kaki yang ada di sebelahnya. Hitam legam karena sering tersengat matahari dengan urat-urat yang nampak. Bapak ini mestlah seorang pekerja keras. Linda merasakan kerinduan yang membuncah tiba-tiba kepada ayahnya. Tersentak Linda dari lamunannya ketika mendengar laki-laki di sampingnya menghembuskan nafas seakan-akan ada beban yang menghimpit dirinya. Linda kembali menoleh kepada bapak tersebut.

”Cah bagus. Andai saja anakku kayak kamu, Le. Bapak pasti bahagia tenan... la iki cah iku ndak bisa....”

Kata-katanya kembali terputus. Bapak itu yang semula tenang menjadi emosi. Linda bingung ketika Bapak tersebut tertunduk dan terisak. Pastilah ada beban yang begitu berat yang disimpan Bapak ini sampai menangis seperti ini. Laki-laki pantang untuk menitikkan air mata di hadapan orang, ayah Linda berpesan kepadanya.

”Pak, Pak, sudah Pak...setiap masalah pasti dikasih jalan keluar sama Gusti Allah.”

Linda memberanikan diri menyentuh pundak bapak yang sedang terisak tersebut. Ia heran sendiri ketika ia bisa berkata seperti itu kepada orang yang jauh lebih tua darinya. Aku ini kok sok bijaksana to, pikir Linda. Ia terus berusaha untuk menenangkan bapak di sampingnya. Bayangan ayahnya berkelebat di benak Linda. Inikah yang dulu ayah alami waktu dulu. Suara derum bis mengiringi isakan Bapak yang terus memegang mukanya berusaha untuk menutupi wajahnya yang kelam. Tidak seperti tadi dimana penumpang masih sepi, bis sudah penuh dengan orang-orang yang punya kesibukan masing-masing di hari ini. Remaja putri berseragam putih biru cekikikan bersama teman-temannya, asyik dengan obrolan mereka. Kondektur bus yang berteriak,”Suroboyo, Suroboyo....”. Wanita dengan rok mininya dan make up-nya yang tebal baru saja naik, melempar senyum pada Linda yang memang persis duduk dekat pintu masuk bis. Linda tak membalas karena ia jengah dengan wanita yang berdandan seronok seperti itu. Ah, mungkin itu adalah tuntutan kerjanya tapi mbok ya jangan berlebihan, Linda membatin. Linda kembali menekuri Bapak yang di sampingnya yang isaknya mulai berkurang, mungkin karena sadar ia berada di tempat umum dan setiap saat orang bisa memperhatikannya.

”Maaf, Le. Bapak kebawa perasaan. Bapak ingat anak Bapak, mungkin seumuran kamu, Le.”

Linda menghela nafas, barulah dia mengerti apa yang sedang dialami Bapak dihadapannya sekarang. Kembali ia teringat kata-kata ayahnya.

”Kowe iki, cah lanang siji-sijine, ora iso diatur. Ayah Ibumu didik kowe biar dadi wong apik. Ayah iki wis tua, Da, sudah dekat dengan kematian. Sopo sing neruskan usaha Ayah jika Ayah mati, yo kowe, Le.”

Malam yang takkan pernah Linda lupakan. Ibu menangis ketika Linda tak jua mau mendengarkan kata-kata Ayah. Srikandi, adik perempuannya juga turut menangis. Terasa hawa rumah membara, siap untuk meledak karena penghuninya saat itu tak ada yang mau mengalah. Linda tetap dengan keinginannya untuk hidup dengan gunung-gunungnya, cintanya pada tempat yang yang tinggi di atas bumi. Linda ingin bebas, hidup dengan impiannya sendiri tanpa ingin diusik dengan urusan-urusan yang mengikat dirinya, termasuk meneruskan usaha meubel Ayahnya.

Malam itu juga, Linda memutuskan untuk angkat kaki dari rumahnya. Meninggalkan tangis Ibu dan Srikandi serta nasihat-nasihat Ayahnya. Linda ingin bebas walau ia harus mengorbankan orang-orang dicintainya demi gunung-gunung yang tegak menjulang di muka bumi. Seminggu, dua minggu, sebulan, enam bulan Linda berkelana dari satu gunung ke gunung lain. Hingga sampailah ia di gunung Arjuna. Di sinilah pengembaraan Linda berakhir. Ia serasa menemukan tempat kelahirannya. Linda Arjunaswara bertekuk lutut di kaki Arjuna. Ia tak merasa kalah. Namun sebaliknya ia menemukan kemenangan di sini. Ia mendapat arti hidup yang sebenarnya. Slamet, Gede, Salak, Merapi tak mampu mengantarkannya pada dunia yang tak pernah ia sentuh. Cahaya yang datang menyinari hatinya yang gulita, setitik air yang menyiram kegersangan hatinya, kerinduannya pada Ibu dan Srikandi. Semuanya terobati ketika ia mengenal bidadari di Arjuna. Wulan, wanita yang mampu meruntuhkan tembok kekerasan yang membentengi hati Linda. Wulan yang mengenalkannya pada kedamaian hakiki. Ah, Wulanku, kau bidadariku, penyelamatku.

”Dia ora iso diatur, dinasihati mendhal kabeh. Bapak kepengen dia dadi wong apik. Kerja sing bener. Ora nongkrong-nongkrong lupa waktu, dolin ae... Joko, Joko... saiki ora ngerti cah iku dimana. Bapak wis nyerah nuturi, Le,” Kata-kata Bapak itu terpotong oleh kernet yang berteriak pada penumpang.

”Nusa Dua, Nusa Dua...yo Nusa Dua!”

Bis berhenti menurunkan penumpang yang turun di Nusa Dua, termasuk wanita yang berpenampilan seronok tadi. Kembali wanita itu melemparkan senyum kepada Linda, Linda membuang muka. Ia ingat wajah Wulan yang ayu nan lembut di rumah.

”Bapak bangga kalo punya anak kayak kamu. Biar pun dari penampilan rodo sangar tapi mau nyambut gawe, pagi-pagi wis berangkat kerja.”

Linda merasa tersindir mendengar kata-kata bapak itu tapi ada perasaan bahagia karena usahanya dihargai. Andai Ayah masih hidup tentu juga bangga melihat aku yang sekarang, pikir Linda.

”Bapak terlalu membesarkan. Saya mesti kerja buat ngasih makan anak istri saya, Pak.”

”O, dadi wis duwe istri to? Yen wis berkeluarga yo mesti tanggung jawab, nyambut gawe. Kerja napa, Le?”

“Usaha meubel, Pak. Neruskan usaha Ayah.”

“Bagus, bagus….Bapak doakan moga lancar usahane.”

“Amin, matur suwun, Pak.”

Linda dan Bapak tua terdiam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kondektur terus meneriakkan tempat yang dituju oleh penumpangnya. Bis menderu di antara kendaraan-kendaraan lainnya. Membelah arus lalu lintas yang mulai padat. Bis sudah hampir sampai di terminal Bungurasih. Tiba-tiba bapak tua itu menyentuh pundak Linda.

”Bapak turun duluan yo, Le. Hati-hati. Matur suwun mau mendengarkan cerita Bapak. Assalamu’alaikum.”

“Sama-sama, Pak. Wa’alaikumsalam.”

Bapak itu pun turun bersama penumpang lainnya sebelum bis sampai di Bungurasih. Linda menghembus nafas. Ada kelegaan yang ia rasa. Ia masih sempat menemukan jalan untuk kembali. Jalan kembali menuju harapan-harapan ayah ibunya. Walau tak sempat ayah melihatku yang sekarang, tentu ayah bangga di alam sana.

Bis sudah masuk Bungurasih. Hampir jam sembilan, terminal sudah ramai. Penuh dengan penumpang yang masuk dan keluar Bungurasih. Para pedangang asongan, loper koran, calo-calo simpang siur. Di antara laki-laki, perempuan, anak kecil, tentulah para copet sedang bersiap untuk melancarkan aksi mereka. Di sini memang rawan kalau tidak berhati-hati, waspada. Sudah berapa kali bis keluar masuk, suara mesinnya yang membisingkan telinga ditambah dengan musik dangdut koplo yang diputar penjual VCD di emperan terminal, bikin telinga jadi pekak. Lekas Linda mengayunkan langkah menuju angkot yang ia tuju. Salah satu rutinitas yang harus ia lalui tiap pagi sebelum tiba di tempat usahanya. Aku sih betah tinggal di rumah, memandangi Wulan yang makin hari makin cantik, apalagi sekarang Wulan mengandung anak kami yang pertama. Pikiran nakalku main. Ah piye to Linda, kowe mesti nyari duit buat Wulan dan anakmu yang mo lahir. Cepat-cepat Linda naik angkot yang sudah hendak berangkat. Sekali lagi ia merasakan kelegaan.

Sore hari.

Sehari sudah terlewati oleh Linda. Ia bersemangat untuk segera sampai di rumah. Bertemu dengan Wulan dan kembali mengusap-ngusap perut Wulan. Selepas ashar, Linda sudah berada kembali di dalam bis. Udara sore hari membuat Linda merasa nyaman. Ia hirup dalam-dalam hingga paru-parunya terisi penuh dengan udara yang sejuk. Sama seperti pagi tadi, ia dapat menempati tempat duduk yang duduk dekat jendela. Tempat yang strategis karena ia bisa menikmati pemandangan yang disuguhkan di sepanjang perjalanan pulangnya, di sore hari.

Linda kembali teringat Bapak yang ia temui di bis pagi tadi. Tak sempat ia menanyakan alamatnya. Jika aku tahu alamatnya tentu sekali waktu aku bisa datang berkunjung, sekedar menghibur beliau. Bis telah masuk Lawang. Linda terpaku pada pemandangan alam di luar bis. Ia lirik arloji yang menempel di pergelangan kirinya, lima lima belas. Sebentar lagi lukisan alam akan disuguhkan kepadanya. Linda hafal benar kapan pemandangan itu akan tampil penuh dengan pesona. Cahaya itu menghidupkan hatinya. Tingginya mengingatkan ia terhadap kuasa Tuhan. Keindahannya membuat ia tak henti bersyukur. Saat ini belum ia temukan suguhan yang sebenarnya. Sebentar lagi...ya sebentar lagi. Dan... Ya akhirnya, lukisan alam kini terhampar di depan matanya, ia lihat seutuhnya. Cahayanya yang tersebar di kakinya. Berkelap-kelip seolah-olah kunang-kunang yang hinggap di hijaunya batang pohon yang besar. Berkelap-kelip di kaki Arjuna. Arjuna, tempat ia menemukan cahaya yang sesungguhnya, tempat ia menemukan belahan hatinya, tempat ia merasa terlahir kembali dengan nama yang ia bangga menyandangnya, Linda Arjunaswara. Beberapa saat Linda terhanyut dalam keasyikannya menikmati Arjuna dengan kelap-kelip kunang-kunang di kakinya. Tiba-tiba pundaknya ditepuk dengan sangat lembut dari samping. Tersentak Linda dari keasyikannya. Menoleh ke sumber tepukan tadi.

”Pa Kabar, Nak?”

Bapak yang tadi pagi? Linda menjerit dalam hati. Kapan beliau naik, rasanya bis tidak berhenti menaikkan penumpang.

”Eh...Bapak, saya kira sapa, Pak.”

Bapak itu tersenyum Senyumnya kali ini tampak lebih lepas. Pecinya masih bertengger rapi di kepalanya. Sorot matanya tak lagi menyiratkan kegelisahan. Linda kembali merasa lega.

”Alhamdulillah, baek, Pak.”

”Alhamdulillah....”

”Bapak badhe wangsul?”

Linda merasa kikuk mendapatkan tatapan lembut Bapak tua itu. Kembali ia teringat Ayahnya. Bapak tua itu mengangguk pelan dengan senyum yang terus menghias wajah keriputnya.

”Ya, Le. Wangsul. Bapak lega, Le. Kepulangan Bapak pasti ditunggu istri Bapak. Bapak senang bisa kumpul lagi dengan istri Bapak. Sudah setahun kami ndak bersama-sama.”

Linda mengernyitkan dahi. Tidak berkumpul selama setahun, emangnya istrinya dimana? Linda merasa ada kejanggalan tapi ia tak bernai bertanya lebih lanjut. Takut mencampuri urusan pribadi orang.

”O.... Memang, Pak, seharian ndak ktemu ma istri dadi kangen, Pak.”

Keduanya tertawa. Linda sempat melihat perempuan yang duduk di depannya menoleh padanya. Tatapan matanya aneh. Begitu juga dengan laki-laki yang duduk paling depan, turut menatapnya dengan heran. Linda tak mengacuhkan mereka. Kembali ia berbicara dengan Bapak tua.

”Bapak turun dimana?”

”Di depan, sebentar lagi.”

Linda kebingungan melanjutkan percakapannya dengan Bapak tua. Seolah-olah mengerti apa yang ada dibingungkan oleh Linda, Bapak itu kembali berceloteh.

”Dari tadi Bapak perhatikan, kamu ngliatin Arjuna trus. Pernah ke sana to?”

Linda tertegun. Darimana Bapak ini tahu kalau aku sedang memperhatikan Arjuna? Rasanya belum sampai lima menit Bapak ini duduk di sini. Aneh. Linda menepis rasa penasarannya. Sempat ia lirik jam di tangannya, hampir pukul enam. Adzan maghrib pun sudah dikumandangkan.

”Oh...dulu pernah, Pak. Di sanalah saya ktemu dengan istri saya.”

”Oalah...makane serius tenan ngliatin Arjuna.”

Bapak itu kembali tersenyum. Sungguh sangat berbeda dengan sosoknya yang dijumpai Linda tadi pagi. Tapi, Linda menangkap ada hal yang aneh dari sosok laki-laki di hadapannya. Sedari tadi memang Bapak itu tersenyum dan wajahnya tampak bahagia, namun semua itu tidak menutupi kepasiannya. Wajahnya putih pasi. Seakan disinari oleh cahaya yang entah darimana datangnya. Seperti cahaya kunang-kunang di kaki Arjuna, Linda betah untuk menerima cahaya yang memancar dari wajah Bapak tua itu.

”Nyuwun sewu, Bapak sakit? Wajah Bapak pucat.”

Bapak itu tetap tenang, tak lupa senyumnya masih bertengger di bibirnya yang hitam. Tiba-tiba Bapak itu mengarahkan telunjuknya ke arah Arjuna. Kontan Linda mengikuti arah yang ditunjuk oleh Bapak itu.

Dilihat oleh Linda, Arjuna tampak semakin gagah. Di keremangan cahaya senja, Arjuna menjadi misterius. Senja yang indah dengan kelap-kelip cahaya lampu neon dari rumah di kaki Arjuna. Seratus, lima ratus, tujuh rarus, atau bahkan seribu cahaya yang menghias Arjuna. Kunang-kunang yang indah, membuat Arjuna semakin indah. Linda takjub, seakan ia menyatu dengan apa yang terhampar di depannya sekarang. Ia adalah bagian dari semua itu. Akan ia ceritakan sesampainya di rumah kepada istrinya tentang apa yang dilihatnya sekarang ini.

Khusyuk Linda terusik oleh teriakan kernet, bis berhenti menurunkan penumpang. Yang turun adalah seorang perempuan. Linda lantas berpaling hendak berbicara kepada Bapak tua. Namun, Bapak tua tak ada lagi di sampingnya. Linda terkaget, kapan beliau turun? Linda melihat ke sekelilingnya, mungkin saja Bapak tua itu pindah tempat duduk yang lebih nyaman. Tidak ada. Linda hanya mendapati kembali tatapan aneh dari laki-laki yang duduk di depannya.

”Napa, Mas? Wis sadar ta? Dari tadi saya liat Mas ngomong dhewe...Sudah saya tegur tapi Mas ndak merhatiin.”

Laki-laki itu geleng-geleng kepala, tersenyum seakan menertawakan kebodohan Linda. Ngomong sendiri? Linda semakin bingung, dia tadi sedang bercakap-cakap dengan Bapak tua itu, kenapa dia dianggap ngomong sendiri.

”Saya ndak ngomong sendiri kok, Pak. Tadi ada Bapak tua ngobrol-ngobrol ma saya. Mosok Bapak ndak liat?”

“Mas iki ojo ngawur to? Capek yo capek, Mas, tapi ojo dadi wong sing ndak waras.”

“Bener, Mas. Mas dari tadi ngomong sendiri. Saya juga dah negur Mas...eh tapi ndak digubris.”

Perempuan yang juga tadi melihat Linda dengan tatapan aneh ikut memberikan penjelasan kepada Linda. Linda semakin tidak mengerti. Ia merasa benar-benar sedang bercakap-cakap dengan Bapak tua itu. Lalu bapak itu kemana sekarang. Apa memang benar aku ngomong sendiri yo? Linda merasa ia terbawa perasaannya, rindu terhadap sosok ayahnya yang terwakili dengan hadirnya Bapak tua tadi. Itulah yang ada di benak Linda sekarang. Ia tak habis pikir, kenapa ia menjadi seperti ini. Dua orang yang mengatakannya berbicara sendiri. Apakah tidak cukup kuat untuk membuktikan itu semua. Linda menggeleng-gelengkan kepalanya. Menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia membuang muka ke jendela. Arjuna sudah tak kelihatan lagi. Di luar hari semakin gelap.

Dengan rasa penasaran yang masih tersimpan di kepalanya. Arjuna bangkit dari tempat duduknya. Ia akan turun di depan. Sebelum beranjak, laki-laki yang tadi berpesan kepadanya, ”Hati-hati, Mas. Ojo nglamun ae...engku kesambet.” Linda tersenyum kecut padanya. Linda berdiri dekat sang kernet dan memberi isyarat agar bis berhenti di depan. Namun, bis direm mendadak oleh si sopir. Linda terkejut, untung pegangannya cukup kuat pada palang besi.

”Oalah...ono kecelakaan ning ngarep.”

Si sopir berbicara keras. Sengaja agar penumpang tahu apa yang mengakibatkannya mengerem bis tiba-tiba.

”Turun di sini saja, Mas. Daripada turun di depan.”

Akhirnya Linda turun sebelum tempat dimana seharusnya ia turun. Linda berjalan menyisiri jalan yang lumayan macet gara-gara ada kecelakaan tersebut. Polisi sibuk mengatur lalu lintas agar tidak bertambah macet. Orang-orang ikut-ikutan meramaikan kemacetan itu. Mereka penasaran dengan korban yang ternyata masih ada di sana. Linda heran kenapa orang-orang tidak merasa ngeri, mereka malah mencari-cari tahu si korban yang telah ditutupi koran. Tabrak lari. Laki-laki tua ditabrak kijang yang ngebut. Selintas Linda mendengarnya sembari ia terus berjalan menuju perhentian angkot di depan. Linda tidak terlalu menghiraukan situasi itu, ia terus berjalan sembari mengingat-ingat kejadian di bis tadi. Langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah peci hitam. Peci yang tergeletak di pinggir jalan, tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia langsung teringat bapak tua dengan pecinya. Ia berlari kembali ke tempat korban kecelakaan yang sudah ia lalui. Terlambat. Korban mulai diangkat ke ambulance. Di tengah desakan orang-orang, Linda menangkap wajah korban yang kainnya tersingkap. Tidak jelas memang. Tapi wajah itu disinari cahaya yang entah darimana datangnya. Wajah yang ia dapati tadi di bis.



Jombang di siang hari, 12 Juni 2006



Footnote

[1] silahkan

[2] permisi

[3] iya


Belajar Peka dari Puisi Orang Aceh


Judul: Lagu Pilu Orang Kuyu
Penulis: Mohd. Harun al Rasyid
Penerbit: LaPena, Banda Aceh
Cetakan: I, Juli 2005
Tebal Buku: 108 hal + vii

“Lagu Pilu Orang Kuyu” adalah buku kumpulan puisi yang puisi-puisinya lahir dari pengalaman dan pengamatan kehidupan penulisnya. Sebagai penulis, Bapak Rasyid begitu peka terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Nama yang tercantum dalam buku ini adalah salah satu nama pena beliau. Nama asli beliau adalah Mohd. Harun. Selain Mohd. Harun al Rasyid, nama pena beliau yang lain adalah C. Harun al Rasyid. Beliau penulis dari Aceh sehingga dalam buku ini, sebagian besar berkisah tentang Aceh. Masih ingat kan bencana tsunami yang melanda Aceh pada tanggal 26 Desember dua tahun silam? Pasti dong.

Nah, dalam buku ini juga ada puisi yang ditulis 16 hari sebelum tsunami yang secara tersirat menunjukkan kegelisahan penulisnya karena terdapat baris yang berbunyi: aku ingin larut dalam gelombang itu... (semacam pertanda yang mampu dirasakan oleh Bapak Rasyid). Pada saat itu beliau sedang pulang kampung dari studinya di Malang dan berkumpul dengan istri dan kedua anaknya. Ada juga puisi yang diperuntukkan untuk anak sulung beliau yang hilang dalam tsunami, Inong Nabila Harza. Judul puisinya Kenangan dalam Keikhlasan. Puisi ini berkisahkan tentang keikhlasan ayah (Pak Rasyid) melepaskan anaknya untuk tidur tenang dan abadi di sisi Tuhan. Coba deh teman-teman baca sendiri, pasti inget akan pengorbanan ayah dan ibu kita...hiks jadi terharu.

Kembali ke isi buku, total puisi yang ada dalam buku ini berjumlah 85 buah yang sebagian besar ditulis di Banda Aceh. Selain di Banda Aceh, ada juga puisi yang ditulis di Darussalam sebanyak 9 buah, Sigli 8 buah, Malang 5 buah, dan yang sisanya ada yang ditulis di Jakarta, Bukit Tinggi, Selat Malaka, Aceh, Pidie, dan daerah di wilayah Aceh lainnya. Puisi-puisi yang ada dalam buku ini ditulis antar tahun 1987 sampe tahun 2005. Tema yang diangkat mulai dari kemanusiaan, keprihatinan sosial, sampe kasih sayang dan ketuhanan. Pokoknya dijamin lengkap deh.

Sesuai kodratnya, segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia kemungkinan besar ada kekurangannya. Begitu juga dengan buku ini. Apa sih kekurangannya? Puisi yang termuat dalam buku ini disusun tidak urut sesuai dengan tahun penulisannya. Seandainya disusun berdasarkan tahun yang paling awal (1987 sampe 2005) tentu pembaca bisa mengetahui perkembangan atau pun perubahan yang terjadi dalam puisi-puisi yang ditulis Bapak Rasyid. Akan tetapi, hal ini tidak terlalu besar pengaruhnya karena mungkin saja penulis sengaja membiarkan pembaca menyusun sendiri puisi-puisinya berdasarkan tahun penulisan. Intinya, buku ini bagus dan cocok buat dibaca teman-teman agar pengetahuan puisi (sastra) semakin luas dan mengasah kepekaan kita terhadap orang lain, masyarakat, dan bangsa. Buku ini masih termasuk langka di pasaran, namun temna-teman tidak perlu kecewa karena bisa menemukannya di perpustakaan UM. (Fi)


Roh


Cerpen Hafi Zha

Di kamar hotel ini, yang menurutku teramat sangat mewah, aku termangu di atas ranjang. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang didominasi warna merah maron. Merah maron membuatku terlena, terbawa suasana romantis. Ditambah lagi dengan alunan sexophone Kenny G. yang keluar dari alat pemutar CD, terletak di sudut ruangan ini dekat jendela—jendela yang menyuguhkan pemandangan metropolitan di malam hari. Mataku menyapu tiap sudut kamar ini. Ruangan yang artistik dan nyaman, lengkap dengan televisi, kulkas, permadani yang indah—dan tentunya mahal—juga ada kamar mandi yang pintunya berhadapan dengan satu-satunya jendela di sini.

Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Dan…oh, aku terpesona dengan apa yang kulihat. Kamar mandinya hampir sama luasnya dengan kamar tadi. Bersih, berkilauan seolah-olah tak pernah ada orang yang pernah memakainya. Jauh sekali dengan kamar mandi di rumah. Sempit, kusam, dan tentu saja baunya tidak nyaman. Aku masuk ke dalamnya. Telapak kakiku berjingkat. Dingin. Kusentuh bak mandi yang berbentuk oval memanjang. Mengkilat, tak ada bekas yang menunjukkan ada orang yang pernah mandi di sana. Aku sudah tak asing lagi dengan benda ini karena sering kulihat di sinetron-sinetron—berkisah tentang orang kaya yang punya rumah mewah dan segala macamnya. Bathtub, ya itu namanya. Aku terkekeh-kekeh sendiri. Membayangkan aku akan mandi dan berendam di sana. Sepuasnya, sambil tidur. Kupuaskan rasa kekagumanku di ruangan putih ini sembari menyentuh, memegang, dan membelai tiap benda yang kujumpai. Aku menikmatinya.

Puas aku di kamar mandi. Aku kembali menuju ruang tidur. Ketika melihat ranjang king-size, aku tak dapat menahan keinginanku untuk segera menikmatinya. Kuberlari kegirangan dan kuhempaskan tubuhku di atasnya. Empuk sekali. Kali ini aku kembali teringat akan kasurku di rumah yang selalu membuat tubuhku linu ketika bangun tidur. Aku berguling-guling. Tingkahku seperti anak kecil yang baru saja mendapat mainan yang sejak lama diinginkan. Aku tak sadar ternyata dia sudah lama berada dalam ruangan ini, memperhatikan tingkahku dengan mata elangnya.

“Kau suka?”

Aku berhenti dari keasyikanku. Memandang ke arahnya. Aku tertunduk malu sembari turun dari ranjang.

“Lo, kenapa turun? Kau tak suka ya?”

Kini aku berdiri di samping ranjang. Kuberanikan menatap matanya.

“Bukan…maksudku…aku suka, sangat suka malah. Ini terlalu mewah untukku.”

Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Kepolosanku telah ditangkap olehnya. Kini ia berada dekat dihadapanku. Tentu ia jelas melihat kekikukanku.

“Semua ini untukmu, cintaku. Apa pun akan kuberikan, asal itu bisa membuatmu bahagia.”

“Terimakasih…”

Belum sempat kuselesaikan kalimatku, serta merta ia telah memelukku. Erat sekali hingga aku susah menghirup udara. Aku sedikit terbatuk. Tersadar akan apa yang telah diperbuatnya, ia merenggangkan pelukannya.

“Oh, maaf sayang, aku tak sengaja. Kau baik-baik saja kan?”

“Eh, iya.”

Kali ini aku berani membalas pelukannya. Sedikit kaku. Kusandarkan kepalaku ke dada bidangnya. Detak jantungnya tertangkap telingaku.

Malam ini, malam pertamaku bersamanya. Setelah seharian kami disibukkan oleh para undangan yang hadir di pesta perkawinan kami. Aku tak pernah membayangkan akan menikah dengan dia, yang kuanggap sebagai seorang pangeran dari kerajaan antah berantah. Aku tak menyangka ia mau menikahi seorang upik babu, aku. Benar-benar sebuah dongeng yang kualami saat ini.

****

Dengan berlinangan air mata, aku mendengarkan putusan hakim. Bu Isye mencoba menguatkanku, tapi kepedihanku begitu mendalam. Aku tak mempercayai ini semua. Usai persidangan, aku langsung dikerubuti para kuli tinta. Aku menghindar dari mereka dengan terus berjalan menuju mobilku. Untunglah ada petugas yang mengamankanku.

“Sudahlah, Ana. Kau harus sabar dengan ini semua.”

Kuusap ingus yang keluar dari hidungku. Air mataku tak jua mampu berhenti. Mungkin inilah sebuah konsekuensi yang harus kuterima karena menikah dengan seorang publik figur. Diberitakan macam-macam. Dituduh yang tidak-tidak. Dan akhirnya diceraikan.

“Aku…aku belum bisa menerima ini semua, Bu. Aku masih mencintainya. Sangat mencintainya. Pernikahan kami belum genap dua tahun tapi dia….”

Aku tak kuasa meneruskan kalimatku. Geram jika kuingat perempuan yang telah merebut si mata elang dariku.

“Ana, kau harus kuat. Kau tidak rugi, dia telah menyeahkan harta gono-gini bagianmu. Seharusnya kau bersyukur dengan apa yang telah kau dapat, Ana.”

“Itu semua tidak berarti apa-apa, Bu Isye, tanpa ada dia di sampingku. Tanpa ada cinta tak ada artinya semua bagiku.”

Suzuki APV-ku melaju di jalan raya, membawaku menuju rumah—dulunya adalah rumahku dan suamiku—yang sekarang adalah milikku. Aku memadang keluar jendela mobil. Pohon-pohon di tepi jalan berjalan lalu seiring jalan mobilku. Hari ini begitu cerah, langit tak bermega. Tak panas juga tak mendung. Sungguh bisa membuatku sedikit tenang. Aku ingin segera sampai di rumah. Lalu berbaring di atas ranjang yang empuk.

****

“Nduk, kamu tega meninggalkan emak sendirian?”

“Mak, aku pergi ke Jakarta bukan untuk hura-hura. Aku pengen cari hidup yang lebih baik, buat kita Mak. Mak ndak pengen kan kita hidup susah terus-terusan?”

“Iya, Mak tahu kamu anak baik, pengen mengangkat hidup kita. Tapi, nduk, kenapa ndak di sini saja cari kerjanya atau ke kota, ndak usah jauh-jauh ke Jakarta sana. Mak khawatir.”

“Mak ndak usah khawatir, aku akan jaga diri. Lagi pula aku ndak sendiri di sana, ada Mbak Rara juga Mbak Citra. Mak tahukan, mereka berdua sukses di sana. Mereka bisa bangun rumah buat keluarganya di sini.”

“Tapi, nduk…”

“Wis, Mak. Aku ndak mau berdebat lagi. Pokoknya, aku akan berangkat ke Jakarta. Dengan atau tanpa restu Mak.”

Keesokan harinya, gadis berparas ayu itu berangkat menuju Jakarta. Seorang perempuan tua dengan setia mengantarkannya ke terminal hingga bis yang ditumpangi anak gadisnya tak kelihatan lagi.

Gadis desa yang saat itu masih berusia dua puluh tahun, dengan wajah berbunga-bunga membayangkan kehidupan yang enak ketika ia sudah berada di Jakarta nanti. Konon, kata orang-orang kampung yang pernah kerja di sana, gaji di sana gede—tapi mereka tak pernah menjelaskan kerja apa di sana. Makanya, kalau pulang kampung mereka pasti membagi-bagikan sebagian rezekinya—waktu lebaran apalagi—rumah mereka yang dulu reot dan hampir roboh direnovasi hingga rumahnya jadi bagus. Gadis itu tak ingin melihat lagi Emaknya bekerja serabutan—tukang cuci, jualan kue, jadi petani upahan, dan segala macamnya—setelah ia bisa mendapatkan pekerjaan dan mendapat gaji yang gede nantinya.

“Mbak, aku pengen cari kerja di sini. Mbak bisa nyarikan buat aku?”

“Duh, nduk nduk, kamu kok nekat tenan tho? Emak kamu sing wis tuwek kamu tinggalin dhewe?”

“Aku ke sini juga untuk Emak, Mbak. Wis ta lah Mbak, urusan Mak biar jadi urusanku. Sing penting, saiki aku dicarikan pekerjaan. Mbak bilang cari kerja di sini gampang.”

Seperti mimpi saja yang dialami gadis rupawan itu. Sebulan berlalu, tanpa sengaja ia berkenalan dengan seorang agen model. Akhirnya, ia pun berjalan menuju dunia model—sedikit terseok-seok. Rekan-rekannya tak bisa menerimanya sebagai partner kerja. Mereka merasa tersaingi dengan kecantikannya, juga merasa lebih tinggi darinya yang hanya berasal dari kampung.

Namun, ia terus berjalan. Dan akhirnya, ia dipertemukan dengan model kenamaan di kota besar ini. Ia begitu baik padanya, membantunya untuk meniti jembatan karir mode yang tengah dibangunnya. Gadis itu beruntung, sangat beruntung, laki-laki tampan itu jatuh cinta padanya. Layaknya sebuah dongeng Cinderella, ia dan laki-laki itu akhirnya menikah. Emaknya di kampung begitu bahagia, tak sia-sia kegigihan anaknya untuk merantau ke Jakarta. Hidupnya kini telah enak, malah lebih dari berkecukupan di kampungnya.

Tapi hidup hanyalah hidup, roda yang terus berputar. Satu momen manusia akan berada di atas, di lain waktu ia akan berada di bawah. Terus-menerus akan berputar, dan setiap manusia akan merasakan kenyamanan dan ketaknyamanan hidup. Orang yang telah menyiapkan dirinya untuk menghadapi kesusahan dalam hidupnya, akan lapang menerimanya. Bahkan berusaha mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapinya. Berbeda dengan orang yang terlena dengan kenikmatan yang ia dapatkan. Tak sempat ia menyiapkan bekalnya. Ia merasakan keguncangan yang luar biasa. Ia tak ridha dengan apa yang diterimanya, ia pun protes terhadap Tuhan—yang sebenarnya tengah mengujinya.

Dan kini….

Gadis itu kini menjelma menjadi seorang wanita muda, aku. Tertelungkup di atas ranjang dengan berlinangan air mata. Karir telah aku tinggalkan demi suamiku tercinta. Aku mencintai dunia model tapi laki-laki yang bermata elang itu lebih aku cintai. Pernikahanku baik-baik saja pada awalnya. Kebahagiaanlah yang selalu meliputi aku dan suamiku. Kemesraan tak pernah jauh dari kami. Malah karena semua itu keluarga kecil kami mendapat penghargaan dari masyarakat sebagai pasutri yang adem ayem.

“Kenapa semua harus terjadi? Wanita itu seharusnya tidak muncul dalam kehidupan kami. Brengsek!! Kau tak adil, Tuhan! Kenapa Kau berikan aku hidup yang harus berakhir pahit seperti ini.”

Aku terus saja berteriak histeris. Api amarah yang ada dalam dadaku membuatku panas. Kuminum beberapa teguk air dingin, tetap saja panas yang kurasakan. Berkobar seolah-olah aku terbakar olehnya.

Aku belum jua dapat tenang. Kutelan beberapa butir obat penenang. Semenjak aku dan dia sering bertengkar, obat inilah yang menjadi pelarianku. Aku tetap bertahan untuk tidak bercerai dengannya karena aku sangat mencintainya. Tapi, dia telah dibutakan oleh wanita itu. Dia berubah. Mengungkit bahwa aku adalah wanita desa yang telah diangkatnya ke tempat yang lebih bagus. Padahal aku berusaha sendiri membangun karirku di dunia model, yang aku berkorban dengan hidup sesederhana mungkin demi membuat Emak bahagia di kampung. Bekali-kali dia melemparkan kata-kata kasar yang menusuk hatiku. Berkali-kali juga aku mendapati mereka bermesraan. Tapi, tetap aku tak bisa membencinya. Aku sangat mencintainya. Aku benci wanita itu.

“Brengsek!! Kurang ajar!!”

Aku meratap sejadi-jadinya di atas ranjang.

Beberapa jenak, kantuk mulai menyerangku. Aku ingin tidur sebentar. Hatiku sedikit tenang akibat pengaruh obat yang kuminum tadi. Aku menghela nafas sedalam-dalamnya. Lalu terlelap…

****

“Roh! Kamu tega ninggalin Emak lagi. Emak saiki dhewean, nduk.”

Aku terbangun mendengar jerit tangis suara wanita yang sangat kukenal, Emak. Aku membuka mata dan melihat Emak duduk membelakangiku, duduk di sisi ranjangku. Kulihat juga Bu Isye yang menangis tersedu-sedu. Penasaran kudekati mereka dan aku tertegun pada seraut wajah pucat yang adalah aku terbaring kaku di ranjang.

“Roh, kenapa kamu mati seperti ini. Emak ndak nyangka kamu nekat bunuh diri. Roh…”

“Sudah, Bu. Kasihan Rohana, biarkan dia tenang di sana tanpa harus diratapi seperti ini. Sudah Bu.. Ibu yang sabar.”

Bu Isye menenangkan Ibu yang terus-menerus meratapi jasadku. Aku ketakutan sendiri di sini, duduk lemas di samping jasadku. Siapa yang akan menolongku di duniaku yang sekarang ini. Tuhan? Aku telah lama meninggalkannya bahkan detik-detik terakhirku aku menghujatnya atas semua yang kualami

Malang, September ‏ 2006


Katakan Cinta dengan Memasak


Sebelum menikah, saya mengatakan kepada calon suami saya, yang sekarang jadi suami saya bahwa saya “tidak bisa memasak”. Perkataan saya memancing calon suami saya untuk berkelakar serius, “Ingin saya beri pisau biar mati saja. Hanya orang mati yang nggak bisa melakukan apa-apa, termasuk masak.” Mendengar hal tersebut, spontan saya tertawa sekaligus mencerna kelakarnya. Berarti ada yang keliru dengan ucapan saya sebelumnya tentang memasak.

Saya juga mendapat masukan yang seragam dari teman-teman saya. Belajarlah memasak! Bahkan ada yang berkata, ”Dengan makanan yang kita masak, suami akan tambah sayang dengan kita.” Hal ini juga pernah saya baca di buku persiapan menikah. Berhubung kuliah saya saat itu sudah rampung, maka ada banyak waktu luang di rumah. Saya pun terjun ke dapur dengan semangat yang membara, membantu ibu yang tak heran melihat keanehan saya. Sedikit-sedikit saya mulai mengetahui tentang perkumpulan bumbu dapur dan beberapa resep masakan dari ibu saya.

Waktu bergerak maju. Setelah menikah, saya memutuskan untuk bekerja sebagai pengajar. Otomatis, saya menjalani dua tugas, yaitu sebagai seorang istri dan staf pengajar. Pada saat itu, saya bersyukur sekali karena mempunyai pendamping yang sangat pengertian. Saya tak sempat (atau tak menyempatkan diri) untuk memasakkannya. Padahal jam kerja saya tidak menempatkan diri saya untuk seharian di luar rumah. Walhasil, kami sering membeli makan di luar rumah. Terkadang kami mendapat kiriman makanan dari ibu mertua saya. Bekal makan siang suami saya juga dimasakkan oleh ibu mertua.

Suara hati sebagai seorang istri terkadang mengusik saya. Walaupun suami saya tak pernah protes karena saya jarang sekali memasak, saya merasa ada yang kurang dalam hidup saya. Saya disebut istri tetapi saya merasa bukanlah sebagai istri sepenuhnya.

Akhirnya, sampailah saya pada titik yang membuat saya berubah 180 derajat. Saya mendapatkan anugerah sekaligus ujian dari Allah SWT. Saya mengandung empat bulan dan terkena typus. Dalam tahap penyembuhan, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan saya. Ternyata, keputusan yang saya ambil membawa hikmah berharga untuk saya.

Saya mulai mengorek-ngorek kembali resep masakan dari rumah. Mengumpulkan resep dari majalah dan buku-buku masakan. Lalu mempraktikkannya secara perlahan. Alhamdulillah, rasa masakan yang saya olah sedap juga. Masakan-masakan yang dulu saya anggap sulit karena kaya akan bumbu dan rempah bisa saya masak. Ada kebanggaan yang begitu berharga dalam diri saya, yaitu dapat memasak untuk suami saya.

Dari pengalaman saya tersebut, saya membuktikan bahwa perkataan teman saya dulu benar. Ketika lidah suami kita merasakan makanan yang kita masak, akan menambah rasa sayangnya. Apalagi jika kita memasak dengan perasaan ikhlas dan penuh rasa cinta. Suami kita juga akan merasakan cinta dalam masakan kita. Dari mulutnya akan terangkai doa untuk kita. Dan, insyaallah, Allah membukakan pintu pahala bagi keikhlasan kita. Selain itu, memasak sendiri menghemat pengeluaran rumah tangga kita.

Oleh karena itu, bagi para wanita yang sudah menikah, bekerja, dan mempunyai pengalaman yang sama dengan saya, maka mulai dari sekarang aturlah waktu, buang rasa malas, dan sempatkan diri memasak untuk keluarga. Bagi yang belum menikah atau akan menikah, paksakanlah diri untuk belajar memasak. Jangan pernah berkata, “Saya tidak bisa memasak,” tapi katakanlah, “Saya belum bisa memasak.” Ingatlah bahwa hanya orang mati yang tidak bisa melakukan apa-apa, termasuk memasak.***


Selasa, 17 Agustus 2010

Upaya Konversi Uang untuk Anjal


Oleh Hafi Zha

Anak jalanan kumbang metropolitan/ Selalu ramai dalam kesepian/ Anak jalanan korban kemunafikan/ Selalu kesepian di keramaian/ Tiada tempat untuk mengadu/ Tempat mencurahkan isi kalbu/…

Petikan dari lagu The Rollies di atas boleh jadi merupakan gambaran kondisi saat ini. Anak jalanan (anjal) menjadi kumbang yang terbang ke sana kemari di tengah kota besar. Mulai dari mengamen, menjual koran hingga mengemis mereka lakukan demi mencari sesuap nasi. Keluarga yang seharusnya sebagai tempat untuk mengadu dan mencurahkan perasaannya tidak pernah mereka dapatkan walaupun mereka masih mempunyai orang tua yang masih lengkap. Sumber dari munculnya masalah anak jalanan adalah ekonomi yang melanda keluarga mereka.

Indonesia yang mengalami pascakrisis ekonomi menyebabkan hampir setengah dari penduduk di Indonesia tergolong ke dalam kelompok miskin. Sebab kemiskinan ekonomi akan berdampak pada kualitas kesehatan, kecerdasan, dan tingkat pendidikan. Secara tidak langsung hal ini mengenai anak-anak yang berasal dari keluarga miskin untuk menjadi anjal secara terpaksa (dipaksa).

Dewasa ini jumlah anjal kian membludak. Dari data Dinas Sosial jumlah anjal pada 2003 sebesar 2.310 anak dan pada 2005 sebesar 2.477 anak. Hal ini tidak dibarengi dengan upaya penanganan terhadap anjal. Upaya penanganan terhadap masalah ini hingga kini masih sangat terbatas. Padahal secara konseptual, penanganan masalah anjal dijamin oleh peraturan-peraturan yang ada. Survei terhadap 100 anjal yang dilakukan Data Informasi Anak / YKAI menunjukkan hanya 10% anjal yang pernah terjangkau oleh program penanganan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat. Lalu adakah cara lain untuk mengatasi masalah ini?

***

Faktor ekonomi memang mendominasi munculnya masalah anjal sehingga pemerintah dan lembaga sosial dituntut untuk memberdayakan ekonomi keluarga(khususnya keluarga miskin) secara intensif dan menyeluruh. Namun ternyata program-program bantuan hanya bersifat seremonial saja, sama sekali tidak menyentuh lansung anjal. Hal ini disebabkan tidak ada kekonsekuenan dan ketidaktegasan pemerintah menjalankannya.

Cara lain yang sekarang ini kian menjamur adalah adanya rumah singgah. Di rumah singgah ini mereka diberikan bimbingan pendidikan, keterampilan, dan pemberian kesempatan kerja. Ironisnya, mereka bertahan hanya beberapa bulan lalu kembali ke jalan. Beberapa anak disekolahkan dan ditanggung biaya hidupnya pun kembali ke jalan. Hal ini diakibatkan mereka lebih mudah memperoleh uang di jalan daripada bekerja atau kembali ke sekolah.

Menurut teori reinforcement: “sesuatu yang menyenangkan akan sealu diulang, sesuatu yang tidak menyenangkan akan dihindari”. Mereka (anjal) menganggap sekolah adalah sesuatu yang tidak menyenangkan (punishment) dan dengan mengamen atau meminta-minta di jalan adalah sesuatu yang menyenangkan (reward) karena akan mendapatkan banyak uang untuk bersenang-senang.

Anjal tidak juga berkurang jumlahnya dengan kedua solusi di atas karena ternyata diri kita pun turut andil dalam menyuburkan masalah ini. Sadar atau tidak, rasa kasihan kita menjadi senjata bagi anjal untuk memperoleh uang akibatnya mereka lebih memilih kembali ke jalan daripada bersekolah atau bekerja. Uang yang kita beri kepada mereka menimbulkan kemalasan, kebodohan, tingkat kriminalitas serta masa depan yang suram bagi mereka secara tidak langsung.

Kita bisa tetap memberikan uang kepada mereka dengan upaya konversi terhadap uang yang kita berikan. Ada lima upaya konversi yang bisa dilakukan. Pertama, uang dapat kita konversi dengan bantuan pangan dengan mengadakan bazar sembako murah (tidak secara gratis). Hal ini disebabkan rakyat marginal tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena tingginya harga sembako. Kedua, dengan latar belakang pendidikan yang rendah serta lingkungan yang tidak sehat mengakibatkan anjal rentan dengan penyakit. Kesadaran mereka terhadap kesehatan masih sangat rendah. Uang dapat dirubah menjadi penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan untuk awareness, subsidi obat-obatan serta subsidi perawatan kesehatan.

Ketiga, pendampingan terhadap anjal untuk memulihkan percaya diri mereka. Uang dapat dialihkan dengan waktu yang kita berikan untuk mendampingi mereka. Keempat, uang dapat kita konversi menjadi “beasiswa” atau membantu mereka dalam pendampingan bimbingan belajar, memberikan kesempatan mereka untuk sekolah lagi. Dan terakhir adalah penyediaan lapangan pekerjaan. Sebagai contoh yang baik, Carrefour melakukan terobosan yang sangat bagus dengan menerima 4 anjal yang cukup umur untuk bekerja di perusahaannya. Bayangkan jika terdapat “Carrefour” yang laiinnya, mungkin jalanan akan sepi dengan anjal. Kepedulian terhadap anjal adalah baik adanya, namun jika dilakukan dengan kurang tepat terkadang bukan sedang menolong mereka melainkan membunuh secara perlahan masa depan mereka. Dengan adanya upaya konversi terhadap “uang” yang diberikan, diharapkan dapat meningkatkan minat anjal untuk keluar dari jalanan kembali ke dalan kehidupan normal.


Apresiasi Pementasan Teater Naskah “Polisi” Karya Slawamir Mrozek, terjemahan Djam’an


Oleh Hafi Zha

Pada hari Selasa, 23 Mei 2006, pukul 19.00 WIB di Auditorium Universitas Negeri Malang diadakan pementasan teater naskah ”Polisi” oleh Teater Pelangi. Pementasan ini dimainkan oleh lima pemain, yaitu Andrean Fahreza Nur Wicaksono, Agus Triono, M. Fatoni Rahman, Mochammad Zaini Leo D., dan Fitratur Rosyidah. Andre (sapaan akrab Andrean Fahreza Nur Wicaksono) bermain sebagai Kepala Polisi, Aga (Agus Triono) memainkan tokoh tawanan dan Letnan, Toni (M. Fatoni Rahman) bermain sebagai sersan, Leo (Mochammad Zaini Leo D.) memainkan tokoh jendral, dan istri sersan dimainkan oleh Ida (Fitratur Rosyida). Pementasan yang berdurasi kurang lebih dua jam ini akan diapresiasi dari segi intrinsiknya. Berikut adalah hasil apresiasi terhadap pementasan teater naskah ”Polisi”.

Sinopsis
Negara merupakan suatu struktur kehidupan yang dinamis dan kompleks. Jika kemakmuran dilihat dari gerakan-gerakan antipemerintah, tindakan-tindakan subversif, dan pemberontakan terhadap kemapanan, sedangkan tatanan-tatanan kosong dan semua rakyat begitu setia kepada pemerintah. Apa yang harus dilakukan? Bukankah ini berarti kehidupan mandeg? Dan apa fungsi angkatan kepolisian?

Hal inilah yang terjadi dalam naskah ”Polisi”. Diceritakan bahwa terdapat suatu negara yang dipimpin oleh Raja Muda dan Baginda Wali sebagai wakilnya. Negara tersebut begitu damai dan bebas dari sikap-sikap tidak puas dari rakyatnya. Hal ini dikarenakan negara itu makmur, hasil panen yang berlimpah ruah, kekayaan alam yang digunakan semestinya untuk kepentingan rakyat. Rakyat begitu setia terhadap Raja Muda dan Baginda Wali sehingga tidak ada pihak yang membangkang dan membuat kekacauan di negara tersebut. Kepemimpinan Raja Muda dan Baginda Wali ternyata dikagumi oleh seorang tawanan kepolisian. Sebutlah tawanan 9512 (karena memakai baju tahanan dengan nomor tersebut), dia adalah bekas revolusioner yang ditangkap kepolisian dan ditahan selama 10 tahun. Semua teman-teman angkatannya telah dibebaskan karena telah menandatangani surat kesetiaan terhadap negara. Hal ini membuatnya juga ingin bebas dengan kesetujuannya menandatangani surat kesetiaan terhadap Raja Muda dan Baginda Wali.

Ternyata hal ini sulit didapatkannya karena Kepala Polisi bertele-tele untuk menyerahkan surat tersebut kepadanya untuk ditandatanganinya. Pada akhirnya, tawanan 9512 dibebaskan oleh Kepala Polisi dan ternyata kelak menjadi Letnan, ajudan Jendral. Kepolisian mendapati bahwa mereka tidak mempunyai tawanan lagi sehingga Kepala Polisi menyuruh Sersan untuk membuat keonaran agar dapat memancing masyarakat untuk berbuat anarkis sehingga pelakunya bisa ditahan. Sersan tiap harinya menyamar menjadi warga sipil dan melepaskan seragam polisinya demi menjalankan perintah Kepala Polisi. Namun, semua yang dilakukan Sersan gagal, tidak membuahkan hasil. Akibatnya Kepala Polisi menyusun sebuah rencana dengan Sersan, yaitu Sersan akan pura-pura ditangkap dan ditahan. Sersan yang sedikit bodoh menyetujuinya tapi apa yang didapatnya? Ia menjadi tawanan sesungguhnya dan kasusnya diselidiki oleh Jendral secara langsung.

Penokohan
Tokoh utama: Kepala Polisi
Tokoh pembantu: istri Sersan dan Jendral
Tokoh mayor: Kepala Polisi, Sersan, dan tawanan 9512 (Letnan)
Tokoh minor: Jendral dan istri Sersan.
Tokoh protagonis: istri Sersan, Jendral, Sersan, tawanan (Letnan)
Tokoh antagonis: Kepala Polisi.

Perwatakan
Perwatakan Kepala Polisi

Segi fisik: berpostur badan tinggi, kurus, tegap, berambut cepak, berkulit coklat, berseragam rapi, berkumis, bermata tajam dengan pandangan menyelidik.
Segi psikologis: berwibawa, berbicara dengan tegas, sombong dan angkuh, pandai bersilat lidah, pintar memprovokasi, suka cemas dan khawatir.
Segi sosiologis: mempunyai jabatan yang cukup penting di kepolisian sebagai kepala polisi, suka minum-minuman keras (secara sembunyi-sembunyi), disegani oleh bawahannya.

Perwatakan Sersan

Segi fisik: sedikit gemuk, bertampang bodoh, hidung pesek, berkulit putih, rambut sedikit ikal, tinggi badan kira-kira 165 cm, berseragam rapi.
Segi psikologis: patuh pada perintah atasan, sedikit bodoh, suka melucu, tidak bisa berpikir panjang, gila jabatan, suka dipuji, disiplin, pasrah.
Segi sosiologis: anggota kepolisian yang berpangkat sersan, ayah dari dua anak, mempunyai istri cantik, mengemban misi rahasia dari kepolisian dengan menyamar sebagai warga sipil.

Perwatakan Tawanan9512 (Letnan)

Segi fisik: saat masih jadi tawanan berambut gondrong, berkumis dan berjambang, kurus, penampilan acak-acakan, suara tegas dan nyaring, memakai baju tahanan dengan nomor 9512, memakai sandal; setelah menjadi letnan rambutnya cepak, berkumis, berseragam rapi, tegap. Kurus, berpostur badang lumayan tinggi, berkulit coklat, berambut lurus, bermata tajam.

Segi psikologis: cerdas, suka humor, pandai berbicara, sedikit suka minum minuman keras, pemberani, vokal, pantang menyerah, tidak mudah terpengaruh, ketika menjadi letnan berwibawa, setia, serius, suka mengumpulkan perangko.
Segi sosiologis: seorang tahanan kepolisian selam 10 tahun, mantan revolusioner, diangkat menjadi letnan oleh Jendral.

Perwatakan Jendral

Segi fisik: gemuk, besar dengan badan yang pendek, berkulit putih, berkumis, berambut pendek, tatapan mata tajam dan menyelidik, berbicara dengan suara yang tegas, berseragam rapi dan lengkap, membawa tongkat sebagai salah satu atribut seragamnya.

Segi psikologis: bisa melucu, berwibawa, mudah terpengaruh dan terkdang kurang tegas terhadap bawahannya.

Segi sosiologis: seorang jendral, disegani oleh bawahannya, terpandang di negara tersebut.

Perwatakan istri sersan

Segi fisik: tinggi semampai, langsing, berkulit hitam manis, rambut panjang yang diikat, berpakaian sedikit mewah, feminim, bermata jeli, berbicara dengan pelan, suara tegas, sedikit genit.

Segi psikologis: penurut, penyayang terhadap Sersan, perhatian, hati-hati, sopan.
Segi sosiologis: istri seorang sersan, cukup terpandang di lingkungan rumahnya, mengenal para tetangganya.

Setting

Pementasan ini terbagi menjadi tiga babak di mana antara babak yang satu menggunakan setting tempat yang berbeda. Babak pertama bertempat di sebuah penjara. Di tempat ini bermain tokoh Kepala Polisi, Tawanan 9512, dan Sersan. Di babak yang kedua mengambil tempat di rumah Sersan, di sini bermain istri Sersan, Kepala Polisi, dan Sersan. Selanjutnya di babak terakhir bertempat di penjara, yang bermain di sini adalah Sersan, Kepala Polisi, Jendral, dan Letnan.

Setting waktu saat terjadinya peristiwa dalam setiap babak juga berbeda-beda. Di babak pertama terjadi antara waktu pagi hari sampai menjelang sore (kemungkinan besar pagi menjelang siang). Hal ini dibuktikan dengan bebasnya Tawanan 9512 (seorang tahanan tentu kemungkinan besar dibebaskan di siang hari, jarang terjadi bahkan tidak pernah tahanan dibebaskan pada malam hari). Babak kedua mengambil waktu di malam hari dan malam tersebut hujan. Hal ini dibuktikan dengan bertamunya Kepala Polisi ke rumah Sersan dengan memakai jas hujan dan ketika sampai di rumah Sersan mengucapkan selamat malam. Babak terakhir terjadi di siang hari. Buktinya adalah kunjungan Jendral untuk melihat langsung kondisi Sersan yang ditahan dan mengecek hasil introgasi oleh Kepala Polisi.

Dialog

Dialog yang digunakan dalam pementasan ini panjang, sehingga tiap babak memakan waktu kurang lebih 40 menit. Dialog berjalan apa adanya. Antara pemain saling merespon dialog pemain yang lainnya. Bahasa yang digunakan dalam dialog adalah bahasa Indonesia formal namun tidak tertutup kemungkinan digunakannya bahasa daerah seperti bahasa Jawa. Dialog tidak terlalu kaku karena pemain bisa dan terkadang menyelipkan humor di antaranya.

Alur dan Tahapan Peristiwa

Alur yang digunakan adalah alur maju. Babak pertama menceritakan tentang tawanan 9512 yang ingin bebas setelah sepuluh tahun dipenjara. Ia dipenjara karena dituduh melakukan tindakan anarkis terhadap pemerintah (gerakan revolusi). Setelah berbelit-belit, Kepala Polisi terpaksa melepaskannya. Datanglah Sersan yang ternyata ditugasi untuk melakukan provokasi terhadap masyarakat yang setia terhadap pemerintah sehingga kepolisian tidak memiliki lagi tahanan (akibat terlalu damainya negara tersebut dipimpin oleh Raja Muda dan Baginda Wali). Babak kedua berkisah tentang kunjungan Kepala Polisi ke rumah Sersan untuk mengajaknya melakukan sebuah rencana yang akan membawa Sersan masuk penjara. Sersan yang sangat patuh terhadap perintah Kepala Polisi serta gila jabatan mau melaksanakan rencana tersebut. Ia akan pura-pura ditangkap agar kepolisian memiliki kasus untuk ditangani. Babak terakhir menceritakan terpenjaranya Sersan dan rasa penyesalan serta ketidakmengertian Sersan kenapa dia ditahan lama. Juga diceritakan tentang nasib Tawanan 9512 yang telah menjadi Letnan, ia menemani Letnan mengecek kasus Sersan ke penjara. Di sana Letnan (mantan tawanan) bertemu dengan Kepala Polisi yang akhirnya saling menjatuhkan di hadapan Jendral.

Tahapan peristiwa dalam pementasan ini setiap babaknya berisi tahap perkenalan dari masing-masing tokohnya. Tahapan penanjakan adalah ketika Tawanan 9512 dibebaskan dari penjara. Kepala Polisi kebingungan karena penjara telah kosong dan tidak ada kasus yang ditangani. Klimaks terjadi ketika Sersan setuju untuk melakukan rencana Kepala Polisi dengan berpura-pura sebagai pengacau dan pembantah negara. Sersan akhirnya ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Tahapan penurunan adalah ketika Jendral datang bersama Letnan untuk mengecek kasus Sersan. Sempat terjadi adanya upaya untuk membunuh Jendral dengan granat – merupakan barang bukti tawanan 9512 – yang diserahkan kepada Sersan yang bodoh. Namun, Jendral selamat karena lari bersembunyi di kamar mandi. Akhirnya penyelesaian cerita adalah ketika Jendral menengahi perselisihan antara Kepala Polisi dengan Letnan.

Tata Panggung, Tata Suara, Musik, Tata Rias, dan Tata Busana
Penataan panggung sudah cukup bagus dan mampu menciptakan suasana yang dimaksud dalam tiap adegan. Dalam menciptakan suasana dalam penjara pada babak pertama dan ketiga, panggung didekorasi sesuai suasana penjara itu sendiri. Terdapat meja Kepala Polisi beserta peralatan-peralatan tulisnya serta dokumen dan surat-surat penting. Terdapat tayangan multimedia yang berisi sebuah sel dan foto pemimpin negara tersebut, yaitu Raja Muda dan Baginda Wali. Terdapat juga bangku panjang (digunakan sebagai tempat tidur tahanan). Di babak kedua, penataan panggungnya dilengkapi satu set kursi tamu karena settingnya adalah di ruang tamu di rumah Sersan. Masih ada foto yang dipajang di tembok yaitu foto Raja Muda dan Baginda Wali, terdapat pula penyekat ruangan di mana di baliknya digunakan sebagai tempat berganti pakaian oleh Sersan.

Pencahayaan yang digunakan untuk mendukung suasana juga sudah cukup bagus.

Tata suara kurang berhasil dalam pementasan ini. Terkadang ada suara dari pemain yang kurang bisa ditangkap oleh penonton (saya, khususnya, walaupun saya duduk di barisan kelima). Suara pemain timbul tenggelam, seperti suara Kepala Polisi, di awal-awal cerita masih terdengar jelas namun berikutnya sulit untuk ditangkap karena mungkin Kepala Polisi selalu tampil di setiap babak. Musik pengiringnya bagus dan berhasil menciptakan suasana cerita yang dibawakan oleh para pemain.

Tata rias bagus karena mampu membantu pemain dalam menampilkan karakter yang dibawakannya. Make up sudah sesuai dengan karakter para pemainnya. Kepala Polisi yang make up-nya lumayan tebal telah mampu menampilkan sosok yang tegas dilihat dari wajahnya dan kelicikannya juga terpancar dari matanya yang juga dirias tebal. Sersan yang babak belur juga diberi make up yang sudah sesuai dan tidak terlalu tebal karena karakter Sersan yang sedikit bodoh. Busana yang digunakan pemain juga sudah sesuai dan tidak berlebihan. Atribut-atribut kepolisian yang lumayan lengkap walaupun tidak seperti kepolisian asli.

Akting Para Pemain

Para pemain, secara garis besar, sudah bermain lumayan bagus dan berhasil dalam membawakan cerita. Hanya saja terdapat kekurangan dimana terkadang karakter tokoh yang dibawakan tidak terlalu kuat karakternya, misalnya saja Kepala Polisi di awal-awal cerita masih mengambang dan tidak jelas karakternya bagaimana. Hal ini berakhir ketika Kepala Polisi mulai membujuk Sersan untuk melakukan rencananya. Selain itu, karena dialog yang terlalu panjang agak sedikit membosankan penonton dalam mengikuti ceritanya. Kepala Polisi yang tampil dari awal hingga akhir juga sedikit membosankan karena tidak ada kejutan akting yang dibuatnya.

Tema

Tema yang diangkat dari pementasan ini adalah kesetiaan tanpa kelogisan berpikir. Hal ini dibuktikan dengan tindakan Kepala Polisi yang bersikeras untuk tidak melepaskan Tawanan 9512 karena dia takut kepolisian akan menganggur, tidak ada kasus yang ditangani, fasilitas pengadilan yang terbengkalai karena negara begitu makmurnya dan amannya. Kepala Polisi menunjukkan kesetiaannya terhadap kepolisian dengan berbuat hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang anggota polisi. Kesetiaan juga ditunjukkan oleh Sersan yang sanggup melakukan rencana dari Kepala Polisi tanpa ia mau berpikir baik-buruknya. Ia sanggup melaksanakan rencana dengan mengorbankan fisik dan waktunya. Tawanan 9512 yang ingin bebas karena ingin setia terhadap Raja Muda dan Baginda Wali. Istri Sersan juga setia terhadap suaminya dengan setia menunggunya yang pulang malam.

Tema ini dibungkus dengan cerita yang menarik, yang tidak dapat ditemukan tanpa melihat masing-masing karakter dari tokoh-tokoh yang bermain di dalamnya. Teater ini berhasil membawakan tema secara apik dengan tokoh-tokoh yang bermain totalitas dengan catatan-catatan seperti yang disebutkan dalam bagian akting.

***

Demikianlah pembacaan saya terhadap pementasan teater dengan lakon “Polisi” Karya Slawamir Mrozek yang diterjemahan oleh Djam’an. Semoga bermanfaat.


Kamis, 12 Agustus 2010

Bau di Alas Sepatu


Catatan Hafi Zha

Di suatu sore yang indah, ramai oleh anak-anak muda yang bermain futsal. Ada juga yang sekedar jalan-jalan sore sembari menghirup udara sejuk tapi bekas siang. Ada juga yang nongkrong di pinggir lapangan, jadi penonton setia. Ternyata keindahan sore itu juga dinikmati oleh sekumpulan mahasiswa. Mereka berkumpul bukan sekedar kumpul nggak kumpul asal makan. Boro-boro ada makanan, uang saku saja sudah harus dihemat. Kebetulan sedang di ujung bulan. Tampak mahasiswa berkacamata yang suka membetulkan letak kacamatanya sedang bicara serius kepada kelima temannya.

“OK…koordinasi untuk kegiatan kita cukup sekian. Semoga bisa dijalankan dengan maksimal oleh teman-teman,” ucap Cakra, si pemiliki kacamata, dengan serius sambil membetulkan letak kacamatanya kembali.

“Alhamdulillah… akhirnya mulai bekerja sekarang,” kata Jingga dengan penuh kelegaan. Gadis berjilbab hijau itu lalu mengendorkan tubuhnya yang penat.

Kelima wajah, kecuali raut muka Cakra, tampak lega dan berbinar. Mereka menata semua peralatan tulis dan berlembar-lembar kertas di meja taman. Tiba-tiba di antara keenam mahasiswa itu, yang selama diskusi gelisah, angkat suara.

“Teman-teman, bau kotoran kucing tidak?” tanya Fajar, mahasiswa berambut keriting yang mengaku hobi naik gunung.

“Iya nih, sebenarnya dari tadi saya membauinya. Cuma saya tahan saja karena sungkan,” timpal Jingga yang sore itu berjilbab hijau.

“Sungkan dipelihara, jadinya ya seperti ini, baru ketahuan. Saya juga bau sih,” tambah Aura sambil menutup hidungnya dengan sapu tangan.

“Wah…semua jadi resah gara-gara bau kotoran kucing. Sumbernya baunya dari arah mana ya?” tanya Fajar sambil celingukan melihat kolong meja dan tempat sekitar mereka berkumpul.

“Bagaimana jika cek sepatu kita masing-masing,” ajak Fajar menawarkan solusi.

Akhirnya semua melihat ke sepatunya masing-masing. Semua tidak menemukan kotoran kucing di sana, kecuali Fajar. Hampir saja ia tertawa karena ternyata sepatunyalah yang terinjak kotoran kucing. Daripada malu ia pun kemudian tidak mengakui keberadaan kotoran kucing di sepatunya.

“Sudah deh… mungkin baunya dibawa angin, lalu sampai ke tempat kita. Lebih baik kita pulang saja,” ajak Fajar berusaha mengalihkan perhatian teman-temannya. Usul Fajar disambut positif oleh teman-temannya. Mereka pun pulang tepat adzan maghrib berkumandang.

***

Dari cuplikan kisah di atas, kita dapat memetik hikmah yang bisa menjadi renungan untuk perbaikan diri. Pertama, beranilah untuk mengakui kesalahan. Jangan seperti Fajar yang tahu bahwa dialah yang membawa kotoran kucing hingga membuat resah teman-temannya, tapi tidak mau mengakui. Ia malu untuk mengaku.

Kesalahan terbesar adalah tidak mengakui kesalahan, apalagi jika ia sudah mengetahui. Hal ini disebabkan karena kesombongannya juga karena malu. Padahal tidak susah untuk mengakui kesalahan, cukup dengan syarat berjiwa besar. Seseorang yang pengecut akan terus bersembunyi di balik kesalahannya dan selamanya ia akan terkurung di sana. Kedua, sesuatu yang kotor itu bau dan baunya akan mengikuti kemana pun kotoran itu melekat. Persis seperti kotoran kucing yang menempel di sepatu Fajar. Jika tidak dibersihkan, maka akan terus-menerus bau kemana pun Fajar pergi. Dosa dan maksiat adalah kekotoran bagi hati dan kekotoran itu membuat noda. Selama kekotoran itu tidak dihilangkan, selama itu pula nodanya tidak akan hilang. Cara membasuh kekotoran hati dan jiwa tersebut adalah membasuhnya dengan ampunan dan rahmat Ilahi.

Hikmah ketiga yang dapat menjadi pelajaran hidup adalah jauhi kebiasaan menuding orang lain dan mencari kesalahan di luar diri. Istilah kerennya adalah mencari kambing hitam. Jika saja Fajar mau langsung mencari akar permasalahannya dari dirinya dulu, tak perlu mencari-cari penyebab kesalahan kemana-mana, tentunya tidak akan menguras tenaga, energi, dan buang-buang waktu. Selain itu juga, terkadang kebiasaan menuding orang lain tidak jarang akan menimbulkan perpecahan karena tidak ada yang mau mengaku salah. Jadi, carilah penyebab masalah dari diri sendiri, dan berhenti menuding orang lain atua mencari kambing hitam.

Hikmah terakhir adalah selalu introspeksi diri. Amat nyata kerugian bagi yang tidak introspeksi diri. Contohnya, bau badan, bila disadari lebih dahulu oleh si empunya badan, tentu dia akan langsung memakai deodorant untuk menghilangkan bau. Jadi, dia tidak perlu ditegur oleh orang lain karena tidak terlanjur tercium baunya. Akan tetapi, bila dintrospeksi oleh orang lain, bukanlah sesuatu yang merugi. Kuncinya adalah menerima dan mengucapkan terima kasih karena telah dikoreksi.

Itulah beberapa hikmah dari cuplikan kehidupan kita di dunia. Setiap apa yang menimpa diri kita, hendaknya senantiasa disikapi dengan bijak dan ikhlas.


Shilah bin Asyam Al-‘Adawy: Silembut yang Bijak


Oleh Hafi Zha

Shilah bin Asyam termasuk salah seorang ‘abid (ahli ibadah) di waktu malam dan pendekar di waktu siang. Apabila malam telah menyelimuti alam semesta dan orang telah lelap dalam mimpi indahnya, ia bangun lalu berwudhu dengan sempurna kemudian masuk ke mihrab dan shalat dengan penuh rasa cita kepada Tuhannya. Oleh sebab itulah, cahaya ilahi memancar menerangi mata hatinya sehingga ia dapat melihat tanda-tanda kekuasaan Allah di semesta ini.

Di samping itu, ia pun gemar membaca Al-Quran di waktu fajar. Apabila malam tinggal sepertiganya, ia membungkukkan tubuhnya menghadap Al-Quran lalu mulai membaca ayat-ayat Allah dengan tartil dan suara merdu. Terkadang ia merasa betapa manisnya ayat-ayat Allah tersebut merasuk ke lubuk hatinya dan menimbulkan pengaruh rasa takut kepada Allah dalam pikirannya. Ada kalanya ia merasakan Al-Quran itu mempunyai daya kekuatan yang mampu membelah hatinya.

Belum pernah sekalipun Shilah bin Asyam meninggalkan ibadahnya, baik di waktu mukim maupun di dalam perjalanan; baik di kala sibuk maupun di kala senggang. Ja’far bin Zaid menceritakan:

“Aku berangkat bersama balatentara muslimin dalam suatu peperangan menuju kota Kabul dengan harapan dapat menaklukannya. Di antara pasukan dalam peperangan tersebut ada Shilah bin Asyam.

Ketika malam telah tiba, kami menghentikan perjalanan untuk makan malam dan menunaikan shalat isya kemudian masing-masing masuk ke kendaraannya untuk beristirahat. Aku melihat Shilah pun pergi ke kendaraannya dan membaringkan tubuhnya sebagaimana dilakukan oleh yang lain. Aku berkata dalam hati, mana yang diceritakan orang tentang shalat dan ibadah orang ini—yang digembor-gemborkan orang hingga kakinya bengkak! Demi Allah, akan kuperhatikan dia malam ini hingga aku tahu apa yang dilakukannya.

Setelah semua serdadu tertidur lelap, aku melihat Shilah bangun dari tempat tidurnya lalu menjauhkan diri dari pasukan sambil mengendap-ngendap. Dia masuk ke dalam hutan yang lebat—yang tampaknya belum pernah dimasuki orang sebelumnya. Aku mengikutinya secara sembunyi-sembunyi.

Setelah sampai di tempat yang lapang, ia mencari arah kiblat lalu menghadapkan dirinya ke sana. Kemudian, ia mengucapkan takbir untuk shalat dan tenggelam dalam shalatnya. Aku memperhatikannya dari jauh. Wajahnya tampak bersinar, anggota tubuhnya tak bergerak, dan jiwanya tenang. Seakan-akan di tempat sunyi itu ia mendapatkan ketentraman, di tempat yang jauh ia mendapatkan kerabat, dan di dalam gelap ia mendapatkan cahaya yang benderang.

Di luar dugaan muncul seekor singa dari arah timur hutan. Setelah aku yakin benar bahwa itu seekor singa, hatiku menjadi takut lalu aku memanjat ke atas sebuah pohonyang tinggi untuk menyelamatkan diriku. Singa itu mendekati Shilah sedikit demi sedikit sehingga jaraknya tidak begitu jauh. Demi Allah, dia sama sekali tidak menoleh dan tidak menaruh perhatian sedikit pun kepada singa itu. Ketika dia bangkit dari sujudnya lalu duduk, singa itu berdiri di hadapannya seolah-olah memperhatikannya. Setelah memberi salam, Shilah memandang singa itu dengan tenang lalu menggerakkan kedua bibirnya—mengatakan sesuatu yang tidak dapat kudengar. Tiba-tiba singa itu pergi ke tempatnya semula.

Setelah fajar menyingsing, ia bangkit lalu melaksanakan shalat subuh. Kemudian mengucapkan puji-pujian kepada Allah Azza wa Jalla dengan puji-pujian yang belum pernah kudengar sebelumnya. Kemudian ia berdoa, ”Ya Allah aku mohon kepada-Mu agar Engkau lepaskan diriku dari api neraka. Dan apakah pantas seorang hamba yang banyak dosa seperti aku ini pantas memohono surga kepada-Mu?”

Doa tersebut diulang-ulanginya hingga akhirnya ia menangis dan aku pun ikut menangis. Kemudian ia kembali ke pasukan tanpa seorang pun mengetahui apa yang telah dilakukannya dan dialaminya malam itu—kecuali Allah.”

Shilah tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memberikan petuah, menyeru ke jalan Allah dengan bijaksana dan nasihat yang baik. Di antaranya adalah pada suatu hari ia keluar ke tanah lapang yang luas di kota Bashrah untuk ber-khalwat dan beribadah. Lalu lewatlah di hadapannya anak-anak muda yang sedang bermain dan bersenda gurau, bercanda dan bersuka ria. Ia memberi salam kepada mereka dengan ramah dan mengajak mereka berbicara dengan lemah lembut.

”Bagaimana pendapat kalian terhadap suatu kaum yang hendak melakukan suatu perjalanan panjang yang sangat penting namun di waktu siang mereka menyimpang dari jalan yang dituju untuk bercanda dan bermain, sedangkan di waktu malam mereka beristirahat. Kapankah kiranya mereka akan berangkat dan sampai di tujuan?” tanyanya kepada anak-anak muda tersebut.

Ia mengulang kata-katanya itu berkali-kali hingga salah seorang anak muda itu sadar bahwa ucapan Shilah itu ditujukan kepada mereka. Lalu anak muda ini memisahkan diri dari kawan-kawannya dan sejak saat itu dia mengikuti Shilah hingga akhir hayatnya.

Pada kesempatan lain, seorang pemuda datang kepada Shilah dan memintanya mengajarkan ilmu yang telah diajarkan Allah kepadanya.

”Jadikanlah Al-Quran sebagai perisai dirimu dan penghibur hatimu serta ambillah petuah darinya. Lalu berikanlah petuah tersebut kepada kaum Muslimin dan perbanyaklah membaca doa kepada Allah sekuat kemampuanmu,” jawab Shilah. Jawaban itu pulalah yang diterimanya dulu ketika ia mendatangi para sahabat Rasulullah saw untuk maksud yang sama.

Kemudian pemuda itu berkata, ”Doakanlah aku, semoga Tuan dibalas dengan kebaikan.”

Shilah mendoakan, ”Semoga Allah Ta’ala membuatmu gemar pada segala yang abadi dan membuatmu benci kepada yang fana; memberikan keyakinan kepadamu sehingga jiwamu tenang karenanya.”

Pada tahun 78 Hijri, Shilah bin Asyam berangkat perang bersama sepasukan kaum Muslimin menuju ke Turkistan. Anaknya pun ikut serta.

Ketika kedua belah pihak telah saling berhadapan, Shilah berkata kepada anaknya, ”Wahai anakku, majulah dan berjuanglah memerangi musuh-musuh Allah sampai titik darah penghabisan!” Lalu si anak menyerbu ke tengah-tengah barisan musuh ibarat panah lepas dari busurnya. Dengan gagah berani ia menyerang ke kiri dan ke kanan hingga akhirnya ia gugur sebagai syuhada. Tidak lama kemudian ayahnya pun menyusulnya, gugur sebagai syuhada di sampingnya. Semoga Allah memasukkannya dalam golongan hamba-hamba-Nya yang bertakwa.

Disarikan dari buku ”Kisah Para Tabiin 2” karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya


Misteri Vila di Atas Bukit


Penulis: Denny Prabowo & Hafi Zha
Penerbit: Balai Pustaka
Cetakan: Pertama, 2010
Dimensi: 14,8 x 21 cm
Halaman: iv + 134
ISBN: 979–690–687–2

Fajar rindu pada ayahnya yang sudah lama tidak pulang ke rumah. Padahal ia berharap liburan kali ini bisa pergi dengan Ayah. Tanpa disadari olehnya, ia menuliskan kerinduannya itu di komputer milik Ayah. Senja menyarankan Fajar untuk menulis cerita.

Fajar menulis cerita tentang berlibur ke Teluk Penyu. Seharusnya liburan itu member kesan yang indah bagi Fajar dan Senja: bakar ikan, melihat matahari terbenam, pergi ke pelelangan, bermain bola di pantai dengan anak-anak nelayan, dll. Namun, hal-hal aneh terjadi. Ketika Fajar tersadar, mungkin saja semuanya sudah terlambat….

Ayah? Di mana Ayah?
Mungkinkah ada kaitannya dengan vila misterius dan makam keramat di atas bukit itu?
Fajar harus bantu Ayah!


Rahasia Rumah Kepompong Bab 1: Dua Puluh Soal Matematika


Novel Hafi Zha

Pagi itu, Bu Sekar memberikan soal matematika kepada murid-muridnya di papan
tulis. Setiap anak gelisah menunggu giliran maju ke depan kelas.

Dari tiga puluh murid yang duduk di kelas lima, ada satu anak laki-laki yang tidak resah. Wajahnya tenang. Bahkan menampakkan keceriaan. Ia masih sempat bersenandung kecil. Teman sebangkunya, seorang anak laki-laki berbadan gempal, menyikut perutnya.

"Aduh… sakit tau! Kenapa sih?”

Syafi memegangi perutnya sambil meringis kesakitan. Teman yang menyikutnya tadi ter­­tawa kecil. Mereka berdua duduk di barisan paling belakang, karenanya Bu Sekar tak mendengar kegaduhan mereka. Ia sedang memerhatikan salah seorang murid yang mengerjakan soal matematika di papan tulis.

"Hehe … maaf Syafi, aku nggak sengaja … nggak sengaja menyikut kamu keras. Heee ....” cengir Nabil sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Uh … aku balas sikut, mau?”

"Ups … jangan, dong. Kejahatan nggak boleh dibalas dengan kejahatan. Betul?”

"Terus, kamu mau dibalas dengan apa?”

"Ya dibalas dengan kebaikan, dong .... Peker­jaan­ku kan belum selesai dua nomor, aku pinjam punyamu, dong, Syaf.”

Wajah Nabil, bocah gendut berpipi bakpao itu memelas minta dikasihani. Syafi yang melihat­nya merasa kesal, karena ia tahu Nabil pandai ber­akting.

"Ah … nggak usah akting kayak gitu deh, Bil. Aku nggak bakalan minjemin pekerjaanku. Itu balasan yang setimpal buat anak pemalas seperti kamu,” balas Syafi sambil menjulurkan lidah­nya.

Bibir Nabil manyun. Ia kecewa dengan sikap Syafi. Ia kembali menekuni dua soal yang belum ia selesaikan. Berkali-kali ia menggaruk kepala­nya yang gatal gara-gara harus memikirkan angka-angka di lembar soalnya. Ia kebingungan.

Sementara itu, Tebing yang duduk di dekat jendela terus saja memandang keluar. Ia begitu asyiknya sehingga lupa pekerjaan matematikanya. Padahal, masih banyak soal yang belum ia
kerja­kan. Zavira yang duduk di belakangnya menegur Tebing.

"Tebing … Tebing … kamu ngeliatin apa? Tebing!!”

Zavira memanggil Tebing setengah mem­bentak. Tebing melihat Zavira sebentar. Kemudian ia kembali memandang keluar jendela kelas.

"Aku lagi memerhatikan rumah itu,” jawab Tebing sambil menunjuk ke arah rumah tua di seberang lapangan belakang sekolah mereka.

"Yang mana, Bing? Yang itu?” telunjuk Zavira mengarah ke sebuah rumah.

Tebing mengangguk. Matanya tetap tertuju ke rumah tua itu. Zavira lalu berdiri di samping Nabil. Sebelumnya, dia sudah waswas kalau-kalau Bu Sekar memergoki mereka. Ternyata Bu Sekar sedang serius, mengurus siswa lain.

Zavira ikut serius mengamati rumah tua itu. Dia mengeluarkan buku saku dan pulpennya. Sibuk mencatat sesuatu di dalam buku itu. Entah apa ....

"Rumah siapa ya, Bing?” gumam Zavira.

"Entahlah... yang jelas aku melihat ada cahaya dari salah satu jendelanya. Berarti rumah itu ada yang menghuni, Ra,” jawab Tebing dengan kening yang berkerut.

Zavira memandangi Tebing seperti berusaha meyakinkan dirinya kalau Tebing tidak sedang berimajinasi. Ia kemudian memandangi rumah tua itu lagi. Kali ini lebih teliti. Benar juga yang dikatakan Tebing, ada cahaya dari salah satu jendela­nya.

Rumah itu terlihat sangat tak terawat. Seperti tak berpenghuni. Warna cat temboknya sudah tidak jelas, apakah warna putih, kuning, atau bahkan tidak berwarna. Halaman rumahnya ditumbuhi semak yang menjalari pagar dan tembok rumah. Sekilas rumah tua itu tampak mengerikan.

Zavira kembali mencatat apa yang dilihatnya. Ia juga menulis komentar Tebing terhadap rumah itu. Melihat kebiasaan Zavira yang teliti, tak salah memang jika ia ditunjuk menjadi sekretaris kelas.

Zavira memasukkan buku kecilnya ke saku bajunya. Ia menoleh ke arah meja Bu Sekar untuk memeriksa. Terlambat, saat itu Bu Sekar telah memergoki kelakuan mereka.

Bu Sekar rupanya sengaja tak menegur ke­lakuan mereka. Murid-murid yang lain hanya diam. Tak berani buka suara. Mereka dapat merasakan kemarahan Bu Sekar dari raut wajahnya. Zavira pelan-pelan kembali ke bangkunya. Meninggalkan Tebing yang belum menyadari bahaya yang sedang mengintainya.

"Ra … aku ingin tahu, siapa yang tinggal di sana. Kamu juga kan, Ra?” tanya Tebing menoleh ke arah Zavira.

Ia melihat Zavira sudah kembali ke bangkunya. Zavira memberi isyarat agar Tebing kembali duduk. Namun, Tebing tak mengerti.

"Apa, Ra? Kamu juga ingin tahu pemiliknya, Ra? Apa sih, Ra?!” tanya Tebing kebingungan.

Zavira terus memberi isyarat kepada Tebing. Ia menunjuk-nunjuk Bu Sekar yang sudah berdiri di dekat meja Tebing. Zavira sudah kehabisan akal untuk menyadarkan Tebing.

Zavira memejamkan matanya, tanda ia me­nyerah. Wajah Bu Sekar di benak murid-muridnya seperti daging panggang yang baru masak. Ada asap mengepul, dan ada sisa-sisa bara api yang panas.

Semua sudah tahu sikap Bu Sekar kalau ada muridnya yang tidak disiplin. Guru cantik itu bisa bersikap lembut juga tegas. Tergantung sikap murid-muridnya. Saat itu di mata Zavira dan teman-temannya, Bu Sekar menjelma jadi seekor naga yang siap memuntahkan api dari mulutnya kepada Tebing.

"Tebing, kamu sedang apa di situ?!” tanya Bu Sekar dengan suara yang tegas.

Tebing seperti mendengar halilintar di siang bolong. Ia berbalik pelan. Bu Sekar telah berdiri di hadapannya.

"Anu… Bu. Iiii… itu, Bu Guru, ada … ada rumah tua di sana. Saya sedang mengamatinya, Bu Guru,” ucap Tebing gugup dengan senyum yang dipaksakan.

Tebing menudingkan tangannya keluar jendela. Bu Sekar melihat apa yang ditunjuk Tebing. Alisnya melengkung ke atas. Tebing melihat perubahan wajah Bu Sekar. Ia berharap Bu Sekar juga tertarik dengan penemuannya. Sebentar kemudian, Bu Sekar berbalik menghadap murid-muridnya.

"Apakah Bu Guru menugasi kalian untuk mengamati rumah itu, anak-anak?” tanya Bu Sekar kepada teman-teman Tebing.

"Tidak, Bu Guru!” jawab anak-anak serentak. Tebing merasa tersindir oleh pertanyaan Bu Sekar. Ia menunduk dalam-dalam. Merasa setengah bersalah.

"Bu Guru ingin tahu, apa pekerjaan mate­matikamu sudah selesai, Tebing?”

Bu Sekar mengambil buku tugas matematika Tebing. Buku itu ia periksa. Saat memeriksa pekerjaan Tebing, wajah Bu Sekar berubah-ubah. Kadang alisnya terangkat ke atas, kadang berkerut, bibirnya manyun, juga kadang tertarik ke bawah. Tebing tak berani memandang, ia terus menundukkan wajahnya.

"Tebing, tugas kamu belum selesai, tapi kamu sudah berulah aneh-aneh. Sekarang hukuman apa yang kamu inginkan? Hukuman karena kamu tidak mengerjakan tugasmu!”suara Bu Sekar lebih tinggi dibanding sebelumnya.

Tebing bingung mencari hu­kuman yang tidak berat baginya. Tapi di sisi lain, ia ingin hukuman yang bisa membuat senang hati Bu Sekar. Apa ya? Gumam Tebing dalam hati.

"Ayo, Tebing, hukuman apa yang kamu inginkan? Kamu sudah membuang waktumu dan teman-temanmu untuk belajar matematika.”

Bu Sekar terus mendesak Tebing. Sebenarnya dalam benak Tebing, ia ingin sekali menceritakan apa yang dilihatnya. Tetapi, itu bukanlah hukuman yang tepat.

"Bu Guru, saya akan mengerjakan sisa latihan soal matematika di buku sampai selesai. Besok saya akan serahkan kepada Bu Guru,” kata Tebing mantap tanpa sedikit keraguan. Dalam hatinya ia bangga karena bisa membuat Bu Sekar terpana. Buktinya, guru muda itu tersenyum tipis.

Murid-murid yang lain saling berpandangan. Mata Zavira melotot tidak percaya. Begitu juga dengan Syafi dan Nabil. Mereka tak menyangka Tebing memilih hukuman itu. Biasanya Tebing lebih rela disuruh lari mengitari lapangan dari­pada harus mengerjakan soal matematika.
Nabil memandangi Syafi. Menunggu komentar yang akan keluar dari mulut sang jagoan mate­matika di kelas mereka itu.

"Ck … ck …, Tebing sedang kemasukan ruh profesor kali, ya? Dua puluh soal mau di­kerjain dalam satu malam?! Bukan main!” kata Syafi, matanya tak lepas memandangi Tebing.

Nabil angguk-angguk mendengarkan komentar Syafi. Ia turut berdecak kagum. Mereka semua tahu, Tebing tidak akrab dengan angka-angka. Jangankan mengerjakan soal matematika, disuruh menghapal nomor telepon teman-teman­nya saja dia sudah pusing.

"Baik, Bu Guru setuju saja karena kamu sendiri yang memilih. Besok jangan lupa serahkan pekerjaanmu ke kantor guru.”

"Baik, Bu Guru.”

Sesaat setelah berkata, Tebing seperti tersadar dari mimpi. Tubuhnya lemas. Di atas kepalanya seperti ada bintang-bintang yang berputar.

Matanya memandang sayu ke arah temannya satu per satu, seolah bertanya, "Siapa yang bisa menolongku mengerjakan soal-soal sulit itu?”


Rabu, 04 Agustus 2010

Surat untuk Pinkan


Cerpen Hafi Zha

Teng … teng … teng ….

Lonceng tanda waktunya pulang berdentang. Dengan perasaan tak sabar Pinkan pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan Pinkan berlari. Walhasil, sesampainya di rumah ia tampak kelelahan. Keringat bercucuran di dahinya. Nafasnya ngos-ngosan. Hidungnya kembang-kempis. Namun, senyumnya tersungging di bibirnya. Ada apa gerangan?

Pinkan tak langsung masuk rumah. Ia kini sedang membuka kotak surat yang ada di halaman rumah. Diambilnya tumpukan surat dari dalam kotak. Diperiksanya satu per satu dengan tangan mungilnya. Ia melonjak-lonjak kegirangan ketika ada surat bersampul merah muda. Surat itu bertuliskan namanya di bagian penerima.

“Hore …! Ada surat buat aku!”

Dikembalikannya tumpukan surat tadi ke dalam kotak surat. Pinkan lalu masuk rumah. Dipandanginya surat itu sambil ia timang-timang. Ia terlalu gembira. Sampai-sampai hampir saja ia bertabrakan dengan Bunda.

“Aduh …!” serunya sambil memungut suratnya yang terjatuh.

“Pinkan, kalau jalan yang benar dong, Nak,” kata Bunda.

“Maaf, Bunda. Pinkan nggak sengaja. Soalnya Pinkan lagi senang, Bunda,” ujar Pinkan dengan mata berbinar.

Bunda melihat ada surat di tangan Pinkan. Bunda pun mengerti mengapa Pinkan sedang senang.

“Oh, Pinkan dapat surat lagi ya. Pantas anak Bunda jalannya sambil senyum-senyum. Sekarang dapat surat dari mana, Nak?” tanya Bunda sembari mengambil surat dari tangan Pinkan.

“Dari Banjarmasin, Bunda,” jawab Pinkan.

“Hm … kira-kira teman baru kamu ini akan cerita apa ya, Nak?” tanya Bunda seraya mengembalikan surat itu kepada Pinkan.

“Pinkan juga penasaran, Bunda. Makanya Pinkan sudah nggak sabar pengen baca.”

“Kalau begitu kenapa nggak dibuka saja suratnya? Kita baca sama-sama,” ajak Bunda.

Tanpa disuruh dua kali, Pinkan langsung menyobek amplop surat. Wah … kertas suratnya juga berwarna merah muda. Sama dengan warna amplopnya. Pinkan suka sekali melihatnya. Warna itu memang kesukaan Pinkan. Apalagi ketika melihat tulisan si pengirim surat. Rapi sekali!

“Nama pengirim suratnya Azizah, Bunda,” kata Pinkan sambil menarik tangan Bunda untuk duduk.

“Nama yang cantik. Apa isi suratnya, Nak? Coba kamu baca,” ujar Bunda.

Pinkan pun mulai membaca. Bunda mendengarkan dengan penuh perhatian. Surat dari Azizah ditulis sebanyak tiga halaman. Ia bercerita tentang pasar terapung yang ada di sungai Barito. Ada foto Azizah juga di dalamnya. Di foto itu, Azizah yang memakai baju sasirangan sedang duduk di atas kalutuk. Rambut Azizah keriting. Kulitnya kuning. Ia tampak seperti boneka.

“Azizah cantik ya, Bunda?” ujar Pinkan.

“Anak Bunda juga cantik. Malah tambah cantik kalau ganti baju terus makan,” rayu Bunda dengan senyumnya yang lembut.

Pinkan senang sekali dipuji Bunda. Dipeluk dan diciumnya Bunda. Surat Azizah ia masukkan ke dalam amplopnya. Pinkan pun bergegas masuk kamar sambil bersenandung riang. Bunda yang melihatnya turut bahagia. Sahabat pena anaknya kini bertambah lagi.

***

Tok … tok … tok …

“Pinkan …,” panggil Bunda lembut di depan pintu kamar Pinkan.

Tak ada sahutan dari dalam. Bunda pun membuka pintu kamar Pinkan. Dilihatnya Pinkan sedang tengkurap di atas ranjang yang spreinya berwarna merah muda. Ia bertopang dagu. Bunda berjalan mendekati Pinkan. Duduk di sisinya sambil membelai rambut Pinkan yang sebahu.

“Pinkan, jangan sedih terus dong. Bunda kan kangen dengan senyum Pinkan yang manis,” hibur Bunda.

“Tapi Pinkan sedih banget, Bunda. Pinkan kesal dengan Azizah. Dia kok nggak balas-balas surat Pinkan lagi, Bunda,” rajuk Pinkan yang lalu duduk sambil memeluk bantal pinknya. Pinkan mulai mengambek.

Memang Azizah lah yang sering berkirim-kiriman surat dengan Pinkan dibanding teman-teman pena lainnya. Setiap berkirim surat Azizah pasti tak lupa menyelipkan foto untuk Pinkan. Bahkan foto dirinya dengan keluarganya. Pinkan jadi sangat akrab dengan Azizah walau hanya lewat surat.

“Pasti Azizah punya alasan kenapa ia tak berkirim surat, Nak,” kata Bunda lembut.

“Tapi kok lama banget, Bunda. Pinkan sudah kirim surat berkali-kali, tetap saja nggak dibalas,” kata Pinkan dengan mata yang berkaca-kaca.

“Ya, kamu tunggu saja lagi, Nak. Mungkin orang tua Azizah menyuruhnya untuk belajar rajin. Kurangi surat-suratan dulu karena mau ujian. Kalian kan sebentar lagi akan ujian naik kelas lima. Iya nggak?”

“Nulis surat kan nggak lama, Bunda. Lagian kan ada waktunya istirahat. Nggak belajar melulu,” jawab Pinkan. Bunda geleng-geleng kepala mendengarnya.

“Mungkin dia sudah malas nulis surat,” gumam Pinkan.

“Hush … Pinkan nggak boleh berprasangka jelek seperti itu. Kalau Pinkan disangka buruk sama teman-teman, Pinkan sedih nggak?” tanya Bunda memberi nasihat.

Pinkan mengangguk. Kepalanya tertunduk. Matanya memandangi surat Azizah yang terakhir ia terima. Ingin sekali ia meremasnya dan membuangnya. Tapi ia sangat suka dengan isi surat itu. Pinkan mematung di tempatnya. Pikirannya melayang kepada Azizah. Ingin sekali ia pergi menemui Azizah. Supaya tahu penyebab Azizah tak membalas suratnya lagi.

“Mungkin Azizah sedang sakit. Sehingga nggak bisa balas surat kamu,” kata Bunda seraya beranjak dari duduknya. Pinkan terkejut mendengarnya. Matanya menatap Bunda yang sedang memegangi tangannya. Ia tidak percaya apa yang dikatakan Bunda.

“Pinkan harus berpikiran yang baik kepada Azizah. Kalau dia benar sakit, dan tahu Pinkan sedang kesal dengannya, pasti ia sedih,” ujar Bunda.

“Nah … sekarang kita makan dulu. Selesai makan, coba Pinkan tulis surat sekali lagi untuk Azizah,” ajak Bunda.

Pinkan pun menerima usul Bunda. Hatinya kini bertambah gelisah. Mungkinkah Azizah sedang sakit. Atau ia sudah malas menulis surat. Atau jangan-jangan Azizah sudah punya teman baru. Lalu ia dilupakan. Banyak tanda tanya berputar di kepala Pinkan. Sampai-sampai ia pusing.

***

Sudah hampir dua pekan sejak Pinkan menulis surat untuk Azizah. Akan tetapi, belum juga ada surat balasan yang datang. Pinkan mencoba menghibur hatinya. Ia mulai berkirim surat kepada teman penanya yang lain.

“Pinkan!” panggil Bunda mengagetkan Pinkan.

Pinkan segera keluar dari kamarnya. Setibanya di ruang tamu, ia melihat Bunda sedang mengacungkan sepucuk surat. Senyum Bunda membuatnya penasaran.

“Hayo … tebak, surat dari siapa ini,” ujar Bunda.

“Dari Azizah ya, Bunda?” tanya Pinkan tidak sabar.

Bunda mengangguk. Pinkan bergegas mengambilnya. Dilihatnya sebentar lalu disobeknya amplop itu. Ia pun mulai membaca surat tersebut. Usai membaca, Bunda bertanya kepadanya.

“Apa isinya, Nak?”

Pinkan terdiam sejenak. Kening Bunda berkerut menunggu jawaban Pinkan. Tak disangka-sangka, Pinkan melonjak-lonjak kegirangan.

“Hore … hore … Pinkan akan ketemu sama Azizah, Bunda!” seru Pinkan.

“Memangnya Azizah mau ke sini?” tanya Bunda heran.

“Iya, Bunda. Liburan ini! Pinkan sudah nggak sabar, Bunda,” kata Pinkan.

“Memangnya anak Bunda sudah nggak kesal lagi sama Azizah?” sindir Bunda.

“Ya nggak lah, Bunda. Kan dia cerita kenapa nggak balas-balas surat Pinkan.”

“Apa sebabnya sih?” tanya Bunda.

“Dia sengaja nggak balas. Karena pengen kasih kejutan buat Pinkan. Terus, dia juga harus giat belajar supaya nilainya bagus. Kalau nilainya bagus, abahnya akan setuju dia liburan di sini. Begitu Bunda,” jelas Pinkan panjang lebar.

“Oh … begitu ya. Kalau anak Bunda yang suka ngambek ini dapat nilai bagus nggak?” goda Bunda.

“Iya dong. Pinkan kan nggak lupa buat belajar yang rajin, Bunda,” kata Pinkan bersemangat.

Pinkan lalu memeluk Bunda. Hatinya kini dipenuhi perasaan bahagia. Ia sudah tak sabar bertemu dengan Azizah. Ia ingin meminta maaf karena sempat kesal dengannya. Adakah yang lebih indah dari sebuah persahabatan.


Kado Ulang Tahun Arin


Cerpen Hafi Zha

Seperti biasa, Putri pergi ke sekolah bersama Arin, sahabatnya. Mereka berdua sudah bersahabat sejak kelas 1 SD hingga sekarang, kelas 4 SD. Selain berangkat sekolah bersama-sama, Arin sering bermain dan belajar ke rumah Putri. Rumah Putri memang dekat dengan rumahnya. Arin senang bermain dan belajar di rumah Putri. Selain karena Putri punya banyak mainan dan buku, Arin betah di rumah Putri yang besar. Tidak seperti rumahnya yang kecil dan sempit.

“Rin, jangan lupa ya, pulang sekolah nanti ke rumahku,” kata Putri kepada Arin.

Mereka berjalan berdampingan sambil bergandeng tangan. Mereka pun sampai di halaman sekolah. Ternyata di sana sudah ramai dengan siswa-siswa.

“Memangnya ada apa, Put? Bukannya sore nanti aku ke rumahmu buat kerja kelompok?” tanya Arin keheranan.

Arin memandangi Putri. Pagi itu rambut Putri diikat dengan pita merah. Putri tampak semakin cantik, pikir Arin. Putri tersenyum manis kepadanya. Arin yang berambut keriting itu membalas senyuman Putri.

“Iya, nanti sore kita kerja kelompok. Tapi, pulang sekolah nanti kamu mampir sebentar ke rumahku buat ambil sesuatu,” jelas Putri.

Arin berhenti berjalan. Ia merasa penasaran setelah mendengar penjelasan Putri tadi. Keningnya berkerut. Ia kembali memandangi Putri.

“Sesuatu, Put? Apa?” tanya Arin. Putri berpaling ke arah Arin yang berada di belakangnya.

“Nanti kamu juga tahu. Pokoknya kamu bakalan senang deh. Yuk, masuk kelas, kita kan hari ini piket kebersihan,” ujar Putri sambil mengerdipkan matanya.

Lalu Putri menggandeng tangan sahabatnya itu. Keduanya berjalan dengan riang melewati para siswa yang asyik bermain. Dalam hatinya, Arin semakin penasaran dengan sesuatu yang dijanjikan Putri kepadanya.

***

Teeeet….
Bel pulang sekolah berbunyi. Arin merasa senang ketika mendengarnya. Sejak pagi tadi, ia terus memikirkan sesuatu yang dijanjikan oleh Putri. Perasaannya tidak karuan karena penasaran. Untunglah ia masih bisa mengikuti penjelasan dari guru waktu pelajaran berlangsung.

“Rin, yuk pulang. Kok bengong sih kayak sapi ompong. Hehehe …,” kata Putri mencandai Arin.

Arin tersentak kaget. Buru-buru ia mengambil tasnya dari rak meja. Menyampirkannya ke bahu. Lalu berlari kecil mengejar Putri yang sudah keluar kelas.

“Putri, tunggu!” teriak Arin. Yang dipanggil menghentikan langkahnya. Ia berbalik menunggu Arin.

Arin tiba di dekat Putri. Nafasnya ngos-ngosan. Walaupun larinya Cuma pelan, ternyata bisa membuat dia capai. Maklum, badan Arin padat berisi alias gemuk.

“Kok aku ditinggal sih, Put? Hosh … hosh …,” kata Arin dengan hidung yang kembang kempis.

“Habis kamu kelamaan bengong sih. Sudah aku ajak pulang, tapi diam aja,” sahut Putri.

“Maaf deh, Put. Aku tadi mikir yang kamu bilang tadi pagi. Aku penasaran, Put,” kata Arin sambil menyeka keringat di dahinya. Putri jadi kasihan melihat sahabatnya kecapaian.

“Ya sudah, kalau begitu kita cepat-cepat ke rumahku. Biar kamu nggak penasaran lagi. Yuk …,” ajak Putri sambil menggandeng tangan Arin.

Mereka pun sampai di rumah Putri. Putri langsung mengajak Arin ke kamarnya. Setelah memberikan es sirop kepada Arin, Putri mengambil sesuatu dari lemari.

“Ini buat kamu, Rin.”

Putri menyodorkan sebuah kotak. Kotak itu dibungkus dengan kertas kado warna coklat. Dengan ragu-ragu Arin menerimanya.

“Apa ini, Put?” tanya Arin.

Arin meletakkan kotak itu di pangkuannya. Lumayan berat.

“Buka aja, Rin. Mudah-mudahan kamu senang. Terus, semoga bermanfaat buat kamu,” kata Putri sambil duduk di sebelah Arin.

Arin perlahan-lahan membuka bungkusan coklat di pangkuannya itu. Wajahnya berseri-seri ketika melihat isi kotak tersebut. Ia langsung memeluk Putri dan menciumi pipi sahabatnya itu.

“Makasih ya, Put. Aku seneng banget menerimanya,” kata Arin.

Arin tersenyum. Ia merasa bahagia karena mendapat buku-buku bacaan dari Putri. Ia memang tidak mampu untuk membeli buku-buku yang sebenarnya ia inginkan. Ibunya hanya penjual nasi dan ayahnya sudah meninggal saat ia berumur lima tahun.

“Sama-sama, Rin. Ini sebagai kado ulang tahun buat kamu. Kemarin kan aku belum ngasih kado. Jadi, hanya ini yang bisa kuberi.”

Keduanya saling berpelukan. Arin semakin sayang dengan Putri. Putri juga begitu. Ia menganggap Arin seperti saudaranya sendiri karena ia tidak mempunyai kakak atau adik.

Arin lalu pamit untuk pulang. Nanti sore Arin akan kembali lagi ke rumah Putri karena mereka akan mengerjakan tugas kelompok. Arin tiba di rumahnya. Disambut ibunya dan kedua adiknya yang masih kecil.

“Kak Arin bawa apa?” tanya Dewi, adiknya yang duduk di bangku kelas 1 SD.

“Iya, apa itu, Rin? Darimana kamu dapatnya?” tanya ibunya yang sedang memangku Ari yang masih berusia empat tahun.

“Ini buku, Bu. Tadi diberi Putri sebagai kado ulang tahun Arin,” jawab Arin sambil memperlihatkannya kepada ibu dan Dewi.

“Baik sekali ya Putri. Walaupun anak orang kaya tapi tidak sombong. Kamu sudah berterimakasih kan, Rin?” tanya ibunya lembut. Arin mengangguk.

Ia kemudian berganti pakaian. Ditinggalkannya buku-buku dari Putri di meja tamu karena Dewi sedang asyik membuka-bukanya. Adiknya juga turut senang karena ada beberapa buku cerita bergambar di sana.

Setelah makan siang, Arin menuju meja di ruang tamu. Ia ingin merapikan buku-bukunya. Betapa terkejutnya ia ketika dilihatnya ada satu buku yang sobek halamannya. Ia lalu menjerit dan menangis. Dewi yang ada sedang asyik membuka-buka buku terkejut melihat kakaknya menangis.

“Dewi, kamu ya yang sobek buku kakak?!” kata Arin setengah berteriak. Arin menuduh Dewi yang tidak tahu apa-apa.

“Bukan, Kak. Dewi nggak sobek kok. Sejak tadi, Dewi cuma buka-buka aja,” jelas Dewi kepada kakaknya. Ia hampir saja menangis. Untunglah ibu segera datang karena mendengar suara Arin yang keras.

“Ada apa, Rin? Kok menangis,” tanya ibunya.

Arin yang masih menangis memegangi bukunya yang sobek. Halaman yang sobek itu tidak ada di tempatnya.

“Buku Arin sobek. Bu. Padahal Arin kan belum baca. Pasti Dewi yang menyobeknya, Bu,” kata Arin sambil terisak.

Dewi lalu menangis ketika ia dituduh menyobek buku kakaknya. Ibu berusaha mendiamkan Dewi yang menangis.

“Bukan Dewi, Bu. Dewi cuma liat-liat aja tadi,” kata Dewi membela dirinya.

“Iya, ibu percaya sama Dewi. Sudah jangan nangis lagi. Arin, jangan menuduh adikmu sembarangan. Ia sudah berkata jujur, tidak mungkin dia bohong,” nasihat Ibu dengan sabar.

“Lalu siapa, Bu, yang nyobek buku Arin?” tanya Arin sambil mengusap air matanya. Seketika itu juga, Ari masuk sambil memain-mainkan kertas yang ia jadikan seolah-olah layang-layang. Betapa terkejutnya Arin ketika melihat kertas yang dimainkan Ari. Itu adalah halaman yang hilang dari bukunya. Ia lalu tertunduk karena merasa bersalah.

“Kak liat, layang-layang Ari bagus kan, Kak?” Ari dengan polos memperlihatkan layang-layangnya kepada Arin. Arin semakin sedih dan malu kepada ibu dan Dewi. Ia telah menuduh adiknya sembarangan.
“Nanti ibu ganti buku yang sobek itu. Ari tidak tahu apa-apa, jangan dimarahi ya, Rin,” kata ibu khawatir.

Mendengar hal itu, hati Arin langsung terenyuh. Ia tahu ibunya tak punya uang untuk beli buku-buku sebagus itu. Karena pasti buku itu harganya mahal. Ia pun merasakan betapa ibunya sangat menyayanginya dan kedua adiknya. Arin langsung berlari menuju ibunya lalu memeluknya erat-erat.

“Arin minta maaf, Bu. Arin malu sama ibu, sama Dewi.” Arin menangis di pelukan ibunya. Ibunya membelai rambut Arin.

“Sudah … nggak usah nangis. Malu sama adik-adikmu,” kata ibu lembut. Arin mengusap air matanya. Ia berusaha tersenyum. Begitu juga dengan Dewi yang sudah berhenti menangis.

“Ibu nggak usah ganti buku sobek itu, Bu. Arin nggak apa-apa kok, Bu. Kan buku yang lain masih banyak,” ujar Arin.

“Iya, tapi nanti kalau ibu punya uang lebih, ibu belikan buku bacaan buat kamu dan adik-adikmu, insya’allah. Sekarang kamu minta maaf dulu sama Dewi.” Arin mendekati Dewi. Dewi tertunduk karena takut dibentak Arin.

“Maafin kakak, ya Dewi. Kakak sayang Dewi,” kata Arin sambil memeluk adiknya erat-erat. Dewi mengangguk dan membalas pelukan kakaknya. Lalu kedua bersaudara itu dipeluk ibu mereka dengan hangat.

Malang, 15 Maret 2007


 

Rumah Kata Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha